Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Senin, 05 Juni 2023

“METODE FILSAFAT”

aldhy purwanto

Abstrak

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang metode filsafat. Filsafat adalah ilmu yang tak terbatas karena tidak hanya menyelidiki suatu bidang tertentu dari realitas yang tertentu saja. Filsafat senantiasa mengajukan pertanyaan tentang seluruh kenyataan yang ada. Filsafat pun selalu mempersoalkan hakikat, prinsip, dan asas mengenai seluruh realitas yang ada, bahkan apa saja yang dapat dipertanyakan, termasuk filsafat itu sendiri. Filsafat dikatakan menjadi kebijaksanaan karena metode dasar mempelajari filsafat dengan bertanya. Para filsuf mempelajari sesuatu dengan bertanya. Contohnya pertanyaan dari manakah alam semesta berasal. Filsafat memang abstrak, namun tidak berarti filsafat sama sekali tidak bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari yang kongkret.

Filsafat membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak seperti apa adanya serta membantu kita mengerti tentang diri kita sendiri dan dunia kita, karena filsafat mengajarkan bagaimana kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Membuat kita lebih kritis, mengembangkan kemampuan kita dalam menalar secara jelas adanya. Maka dari itu ada perlu ada cara, prosedur, pola, pendekatan, alat bantu dan langkah-langkah yang dilakukan secara sistematis, logis dan objektif dalam mencapai kebenaran yang bersifat ilmiah atau yang di sebut dengan metode. Metode menjamin kongkretnya suatu ilmu pengetahuan menjadi pengetahuan yang sistematis-metodis. Metode ini bukan hanya merumuskan rumusan pertanyaan, observasi, hipotesa, perbandingan, asas, teori dan aksioma. Metode ini meliputi seluruh perjalanan dan perkembangan pengetahuan, seluruh urut-urutan dari permulaan sampai kepada kesimpulan ilmiah, Baik untuk bagian khusus maupun untuk seluruh bidang atau obyek penelitian.

Sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan dengan sejumlah metode filsafat yang berbeda. Adapun yang paling menonjol di antaranya : (1) Metode Kritis (2) Metode Intuitif (3) Metode Skolastik (4) Metode Matematis (5) Metode Empiris-Eksperimental.

 

 

 

A.      PENDAHULUAN

1.      Latar belakang

Berbicara tentang filsafat umum tidakterlepas dari pikiran pokok atau gagasan suatu wacana.[1] Perkara umum adalah pintu masuk sebelum menuju ke pintu yang lebih khusus terlepas apapun itu bidangnya. Ibarat dokter umum dan spesialis, keduanya berbeda, namun memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Secara kualitas, dokter umum mengetahui pengobatan dasar dari banyak penyakit. Sementara dokter spesialis mengetahui lebih mendalam pengobatan dari bidang tertentu saja. Seseorang yang ingin memasuki wilayah khusus dalam bidang ilmu, standarisasinya harus melalui bidang umumnya terlebih dahulu.

Seperti halnya dalam pengetahuan ilmiah, metode dan obyek formal bidang filsafat tidak dapat dipisahkan. Setiap cabang filsafat menentukan obyek, memiliki metode dam logikanya sendiri, sesuai dengan obyek tersebut dan uraian teorinya.[2] Filsafat sebagai upaya mengembangkan kemampuan kita dalam menalar secara jelas dengan metode-metode umum seperti yang berlaku bagi semua penalaran dan pemahaman manusia, yang juga dipakai oleh disiplin keilmuan. Setelah membicarakan cukup lama, kita masih kembali lagi ke pertanyaan semula, yakni kekhasan metode filsafat.

Tetapi, seperti diakui oleh Anton Bakker dalam bukunya Metode-metode Filsafat, itu pula soal yang paling sulit dijawab. Beliau mengatakan bahwa tidak ada metode filsafat secara umum. Tiap-tiap filsafat memajukan hak dan klaimnya bahwa dialah yang mempunyai metode umum. Barangkali, metode umum pertama filsafat yang utama adalah bahwa upaya berfilsafat tidak terikat oleh adanya metode yang berlaku universal. Berfilsafat berarti bebas dari teori, hipotesa, dan definisi yang ada. Maka dalam usahanya untuk menggambarkan metode filsafat yang umum, banyak ahli metodologi lari kembali ke unsur-unsur metodis umum. Misalnya dengan berkata bahwa bagi filsafat berlaku metode induktif-deduktif.[3] Tetapi, ini tidak banyak menjelaskan apa metode filsafat itu. Sebab itu, barangkali jalan terbaik adalah dengan melihat secara konkrit tentang metode yang digunakan setiap atau seorang filosof dan penjelajahan filosofisnya. Sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan sejumlah metode filsafat yang berbeda.

Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang metode filsafat, sebenarnya masih sulit untuk menetapkan metode paling umum dalam filsafat karena itulah mengapa filsafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan.

2.      Rumusan Masalah

1.      Apa Metode Filsafat ?

 

B.     PEMBAHASAN

Sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan dengan sejumlah metode filsafat yang berbeda. Adapun yang paling menonjol di antaranya : (1) Metode Kritis (2) Metode Intuitif (3) Metode Skolastik (4) Metode Matematis (5) Metode Empiris-Eksperimental.

1.      Metode Kritis

Awalnya, metode ini digunakan oleh Sokrates dan Plato. Para filosof sebelum Sokrates lebih tertarik meneliti dan memikirkan kosmos. Sokrateslah yang mengarahkannya kepada manusia, terutama tentang aspek etis. Metode ini bertitik tolak atas kenyataan bahwa betapa banyak pengetahuan dan pendapat manusia bersifat semu. Ternyata, banyak kekaburan dan pertentangan dalam pengetahuan mereka dan kebanyakan mereka hanya pura-pura tahu.[4] Sokrates sendiri sadar bahwa ia kurang mengetahui hal-hal asasi itu (apologia). Tetapi, ia tahu bahwa ia tidak tahu, hingga ia ingin tahu. Untuk bisa mengetahui bahwa pengetahuan mana yang paling kuat di antara pengetahuan–pengetahuan yang banyak itu, maka ia harus bersikap kritis. Caranya bagaimana? Jawabnya adalah seperti pekerjaan seorang bidan. Kenapa bidan? Ini tidak mengherankan, karena ibu Sokrates itu seorang bidan. Pada beberapa kesempatan, Sokrates mengatakan bahwa ia adalah seorang bidan, tetapi bidan pengetahuan dan pemikiran. Ia percaya bahwa setiap orang mempunyai potensi pemahaman sejati yang tersembunyi dalam jiwanya. Sebenarnya, jiwa manusia mampu mengetahui intisari benda-benda, namun karena tertimbun oleh pengetahuan semu, pemahaman itu harus dibuka, dibongkar, dibersihkan, dan dilahirkan kembali. Semua ini bisa dibantu oleh seorang ‘bidan’. Meski ‘bidan’ itu penting, tetapi bukan berarti kata ‘bidan’ itu benar. Sokrates bahkan sangat kritis sekali pada kekuasaan dan kewibawaan.

Banyak pengetahuan ini timbul dari kekuasaan yang memonopoli kebenaran atau kolusi dengan pihak lain untuk memproduksi ‘pengetahuan’ yang harus dikonsumsi masyarakat awam. Sokrates tidak mengetahui jawaban semuanya, tetapi ia mengajak orang berbicara, berdiskusi, tukar pikiran dan berdialog. Dia memiliki keyakinan bahwa dengan dialog, maka semua pihak dapat menyadari kekurangan pengetahuannya dan makin menyempurnakannya. Maka, kerangka metodenya disebut dialektike tehknik atau seni berdialog.[5] Yang paling awal harus disepakati dalam suatu dialog adalah rumusan tentang topik yang diperbincangkan. Metode ini bersifat analisa istilah dan pendapat, kemudian disistematiskan dalam hermeneutika (metode penafsiran) yang menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (dialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak, pada akhirnya akan ditemukan yang terbaik di antaranya. Yang pasti adalah bahwa metode ini berakibat kepada fakta bahwa banyak orang bersikap kritis.

Metode ini bersifat praktis dan dijalankan dalam percakapan–percakapan. Penggunaan metode ini, dengan tidak menyelidiki fakta-fakat melainkan menganalisa berbagai pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang. Setiap orang mempunyai pendapat tertentu.[6] Dengan jalan bertanya (dialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak, pada akhirnya akan ditemukan yang terbaik diantaranya. Yang terbaik inilah dikatakan hakikat sesuatu, tentu sampai timbul ‘hakikat’ baru melalui metode kritis lagi. Metode Sokrates ini biasanya tidak mencapai hasil yang definitif.

2.      Metode Intuitif

Metode ini dengan jalan introspeksi intiutif dan dengan pemakaian simbol-simbol diusahakan pembersihan intelektual (bersama dengan pencucian moral) sehingg tercapai penerangan pikiran. Bergson dengan jalan pembauran antara kesadaran dan prosess perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.[7]

Plotinus dan Bergson biasanya dicatat sebagai filosof yang mengamalkan dan menganjurkan metode ini. Plotinus dikenal mengembangkan lebih lanjut pokok-pikiran Plato, hingga dikenal sebagai pendiri Neo Platonisme dan sekaligus tokoh terkemuka. Plotinus bukan hanya mengambil dari Plato, tetapi menguasai berbagai aliran filsafat, bahkan juga kelompok keagamaan. Metode intuitif Plotinus memang sangat dipengaruhi aliran agama yang memakai cara mistik dan kontemplatif.[8]

Sikap kontemplatif ini meresapi seluruh metode berpikir Plotinus, hingga filsafat bukan hanya sekedar cara berpikir, tetapi lebih merupakan way of life. Bagi Plotinus, metode lebih terkait dengan eksplisitasi intuisinya. Sesuai dengan pemikiran Sokrates bahwa pada diri manusia sudah ada potensi untuk mencapai kebenaran yang hakiki dan intisari permasalahan.[9] Dengan pensucian diri dan perenungan, maka hal ini akan tercapai. Intuisi seseorang akan memandunya mengungkapkan kembali kebenaran itu. Jika semua bahan yang dihimpunnya dari berbagai filosof dan agama itu, walaupun pada penglihatan kelihatan saling bertentangan, tetapi melalui proses kontemplasi akan terpilah, tertapis dan tersusun secara harmonis. Ini akhirnya akan menciptakan visi kosmos yang harmonis pula. Jika sudah tercapai visi ini, maka aspek apa saja yang cocok dengan kerangka menyeluruh visi, maka ia akan menjadi benar pula. Keseluruhan visi sintesis itu menjadi ‘apriori’ metodis bagi Plotinus.

Konsep ini sering dikritik banyak pihak bahwa Plotinus bersifat terlalu dogmatis dan single-minded, serta tidak begitu tentatif. Lagi pula, Plotinus sering memakai perlambang dan andaian yang tidak terkawal ketat dan maksudnya terlalu diserahkan kepada intuisi masing-masing. Dari segi pemuasan kejiwaan, barangkali Plotinus telah berhasil, tetapi untuk suatu pemastian dan pengembangan, ia dianggap kurang berhasil. Akhirnya, metode ini disempurnakan oleh penganjur metode intuitif pada abad Modern. Hendri Bergson, guru besar di sebuah universitas Paris, sangat tertarik dengan Plotinus. Menurut Bergson bahwa dalam diri manusia ada vitalitas naluri, spiritualisasi, dan vitalitas biologis. Vitalitas spiritualitas ini melawan segala materialisme dan mekanisme, mendobrak segala hukum kausalitas hingga membawa manusia menuju penghayatan yang makin meningkat terhadap ilmu, seni, susila dan agama.[10] Bergson lebih berpikir dalam bentuk riak gelombang intuitif, ketimbang dalam konsep-konsep. Ia tidak menjabarkan gagasan dan konsep dengan sistematis yang dikonstruksikan secara logis, tetapi lebih dengan membiarkan pikiran menyelam dan menjelajah dalam arus kesadaran asli manusiawi. Pengalaman batiniah inilah, menurut Bergson, jalan untuk menghasilkan pengertian mutlak. Sama dengan Plotinus, Bergson banyak memakai simbol untuk mencairkan konsep-konsep dan untuk mengarahkan visi dan intuisi. Simbol-simbol itu, kata Bergson, tidak mematikan gerak, malah turut bergerak, dengan intuisi manusia.[11]

Bagi Bergson bahwa simbol itu mempunyai dua peranan. Dari satu pihak, simbol itu menampakkan realitas tersembunyi. Dari sisi lain, simbol-simbol itu membantu orang mencapai intuisi. Metode Bergson dan Plotinus sering dikatakan tidak bertumpu pada intelek dan rasio manusia, tetapi bukan bersifat anti-intelektual. Metode keduanya lebih bersifat supra intelektual. Manusia terkadang harus mengambil jarak dan berjauhan dengan logika, serta menyerahkan diri pada kemurnian kenyataan dan keaslian fitrah manusia. Ini bukan berarti logika harus dibungkam dan rasio diceraikan, tetapi untuk bisa menganalisis dan jangan terjerat olehnya.

 

3.    Metode Skolastik

Metode ini bersifat metode sintetis deduktif. Dengan bertitik tolak definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendiriya, di tarik kesimpulan-kesimpulan.[12] Metode ini banyak berkembang pada Abad Pertengahan. Thomas Aquinas (1225-1247) merupakan salah satu penganjurnya. Pada masa Klasik, Aristoteles juga dikatakan sebagai pengguna metode sintetisdeduktif ini.

Pada Abad Pertengahan, filsafat dikuasai oleh pemikiran teologi dan suasana keagamaan Kristen. Filsafat skolastik dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Para pastor dan biarawan merangkap jadi filosof, hingga filsafat dan teologi (Kristiani) tidak terpisahkan. Menurut de Wulf (Scholastic Philosophy), pada periode ini filsafat menjadi bagian integral dari teologi. Meskipun begitu, Thomas menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap filsafat yang dikatakannya ‘puncak kemampuan akal-budi manusia’. menurut Thomas sendiri, dalam filsafat itu argumen yang paling lemah ialah argumen kewibawaan (yang merupakan ciri berpikir keagamaan).[13]

Thomas menyerap banyak sumber pemikiran dan berhasil meramunya dalam keseimbangan yang cukup harmonis, malah atas berbagai paham yang ekstrim. Dari satu sisi ia menguasai karya-karya Neo-Platonis, Agustinus, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan Maimonides. Dari sisi lain, ia juga mempelajari Aristotelisme. Pendekatan Neo-Platonis yang intuitifkontemplatif diramunya dengan gaya Aristoteles yang logis deduktif untuk menghindari emosi dan fantasi.

Metode skolastik kerap disebut metode sintesis-deduktif. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan yang lebih kompleks dan khusus.[14] Dengan bertitik tolak dari definisi atau prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik penjelasan dan kesimpulan tentang hal kurang / tidak jelas.

Thomas memakai konsep Aristoteles tentang ilmu. Semua hal diterangkan menurut sebabnya (causa). Dicari jawaban atas pertanyaan: apakah ada (an sit), apa hakikatnya (quid sit), sifat-sifatnya (quia sit), dan apa yang menyebabkannya (propter quid sit). Prinsip ini memandu Thomas membicarakan soal demi soal, dan setiap soal dibagi dalam tahap-tahap yang jelas. Ia memberikan bukti, dan memilah apa yang pasti secara teliti, mana yang mungkin dan mana yang sekedar hipotesis. Hal-hal lain yang tidak relevan akan disisihkan. Menurut Thomas, untuk menemukan kebenaran dalam suatu persoalan, perlu dipahami dengan baik apa yang disumbangkan oleh pemikir-pemikir sebelumnya dengan semangat dialektik dan jalan disputasio.[15] Walaupun demikian, ada beberapa kritik penting terhadap metode skolastik ini. Pertama, prinsip bahwa suatu perbincangan keilmuan harus diawali dengan menghimpun pendapat yang ada, kewibawaan kelihatannya menjadi kriteria utama hingga timbul kecenderungan bahwa filsafat hanya memberikan rasionalisasi kepada kesimpulan-kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya oleh tokoh atau aliran tertentu.

Prinsip ini memandu Thomas membicarakan soal demi soal, dan setiap soal dibagi dalam tahap-tahap yang jelas. Ia memberikan bukti, dan memilah apa yang pasti secara teliti, mana yang mungkin dan mana yang sekedar hipotesis. Hal-hal lain yang tidak relevan akan disisihkan.[16]

4.    Metode Matematis

Descartes (1596-1650) Filosof, ilmuwan dan matematikawan ini menjadi tokoh utama metode matematis. Bidang ilmu yang dikuasainya memang sangat luas. Ia menguasai ilmu pasti, ilmu alam, astronomi dan arsitektur, dan metafisika. Disiplin ilmu eksakta ini membawanya ke alam filsafat. [17]

Dibekali berbagai bidang ilmu, Descartes merasa tidak puas dengan filsafat yang diterimanya. Ia menyadari jurang antara filsafat dan ilmu (eksakta). Menurutnya, ilmu alam tidak dapat dibangun dan dikembangkan tanpa menyusun terlebih dahulu satu kerangka metafisika dan epistemologi, yang akan memberinya fondamen yang kokoh dan dasar prinsipil yang kuat. Logika Aristoteles dikritiknya sebagai tidak membawa kepada pengertian baru. Sebab, dalam bentuk silogisme itu, kesimpulan bukanlah penemuan baru, tetapi sudah termuat dalam premis umum.[18]

Descartes menyebut metodenya ‘metode analistis’. Menurut Descartes bahwa ada keteraturan dan ketersusunan alami dalam kenyataan yang berhubungan dengan pengertian manusia. Ketersusunan alam ini dapat diungkapkan dengan cara penemuan (via inventionis). Penemuan itu dengan melakukan empiris rasional. Metode ini mengintegrasikan segala kelebihan logika, analisa geometris dan aljabar dan menghindari kelemahannya.

Descartes menolak metode kerjasama dan diskusi, seperti lazim pada tradisi skolastik. Penolakan ini menunjuk kepada keragu-raguan prinsipil. Descartes menyangsikan segala-galanya. Kesangsian ini bersifat metodis dan dipakai melulu sebagai alat. Ia mau menemukan apa ada yang tahan, yang menjadi kepastian niscaya dan dapat mendasari keputusan lain. Kebenaran pada umumnya, dan terutama kepastian pertama itu, harus ditemukan dalam kepastian dan keyakinan yang bersifat personal dan subyektif. Kebenaran itu harus dialami tidak tersangsikan. Dengan kata lain, pengertian benar harus menjamin dirinya sendiri.[19]

Bagi Descartes, hanya tinggal satu kepastian yang bertahan dan tidak dapat disangsikan, dan hal ini terrangkumnya dalam kalimat Cogito, ergo sum bahwa saya berpikir, maka saya ada. Pengertian mutlak itu menyajikan kriterium definitif bagi pengertian lain yang harus jelas dan tegas. Kriterium lain adalah evidensi (pembuktian) hanya ditemukan dalam kegiatan akal yang langsung, bukan sekedar tangkapan inderawi yang penuh kontradiksi. Bukan juga berupa intuisi dan imajinasi yang tidak menawarkan kepastian.

Untuk mencapai tingkat kepastian tertinggi, maka ‘setiap persoalan yang diteliti mesti dibagi-bagi menjadi beberapa bagian sebanyak mungkin, sejauh diperlukan untuk pemecahan yang memadai. Ini aturan kedua Descartes yang disebutnya resolution (pelarutan). Dalam aturan ketiga, bagian-bagian yang paling sederhana ini yang lebih mudah membuktikannya, secara bertahap beranjak ke pengertian yang lebih kompleks. Melalui analisa mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan hakikat-hakikat ‘sederhana’: dari hakikat yang sederhana kemudian dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya. Setelah melakukan deduksi bertingkat ini, pengertian yang tercapai diuji dengan pembuktian induktif, yang disebutnya enumeration (penguraian). Induksi nyata ini membutuhkan observasi empiris. Bagian terakhir ini menimbulkan kesukaran serius bagi metode Descartes dan pengikutnya. Kesukaran inilah yang kemudian dijawab oleh pendekatan empirisme yang tidak harus mengekang induksi hanya pada pembuktian hasil deduksi, tetapi melepaskannya untuk mencari dan mengungkap kebenaran sendiri.

 

5.      Metode Empiris-Eksperimental

Para penganut empiris sangat dipengaruhi oleh sistem dan metode Descartes, terutama dalam menekankan data kesadaran individual yang tidak dapat diragukan lagi. Bagi mereka, pengalaman (empeiria) adalah sumber pengetahuan yang lebih dipercaya ketimbang rasio. David Hume (1711-1776) adalah penyusun filsafat Empirisme ini dan menjadi antitesa terhadap Rasionalisme. [20]

Menurut Hume bahwa semua ilmu berhubungan dengan hakikat manusia. Ilmu tentang manusia merupakan satu-satunya dasar kokoh bagi ilmu-ilmu lain. Karenanya, ilmu tentang manusia perlu disusun paling awal. Inilah yang dilakukan dalam karyanya Treatise yang setelah menerangkan hakikat manusia, ia menyusun sistem keilmuan yang lengkap. [21]

Hume memakai metode eksperimental, metode yang membawa kepada kesuksesan yang luar biasa dalam ilmu alam. Menurut Hume, mustahil mengungkapkan hakikat manusia melalui intuisi, hingga perlu diambil jalan yang lebih induktif ketimbang deduktif. Semua pengertian dan kepastian berasal dari pengamatan terhadap tingkah laku dan introspeksi tentang proses-proses psikologis.

Berbeda dari Descartes yang kerap menekankan skeptisisme sebagai dasar pokok pemahaman yang benar, Hume berpendapat bahwa sikap obyektif dan tanpa prasangkayang menjadi syarat mutlaknya. Satusatunya sumber segala pemahaman filosofis ialah pengalaman inderawi (empiris). Metode Hume bergerak dari yang sederhana ke yang kompleks.[22] Dengan kata lain, pemahaman bertolak dari pengalaman nyata menuju ke pengertian abstraksi. Ini tentu semacam pemikiran induktif. Sejalan dengan ini, maka langkah pertama adalah menghimpun hasil observasi inderawi atau introspeksi psikologis. Pengalaman dan pencerapan ini menghasilkan suatu impressi (kesan) yang kuat. Dari impressi itu dibentuk ide yang sederhana. Selalu ada korespondensi antara impressi dan ide itu. Ide bertempat dalam imajinasi dan dirumuskan dalam definisi. Dengan metode ini, Hume menguraikan bermacam-macam impressi dan ide.[23]

Dari ide-ide yang berasal dari impressi diwujudkan dan dikombinasikan ide-ide yang lebih kompleks oleh imajinasi sejalan dengan hukum asosiasi. Hubungan asosiatif ini bisa berupa kesamaan, kedekatan dan kausalitas. Ketiga sifat itu, menurut Hume, merupakan relasi alami. Kecuali itu, ada tujuan relasi ‘filosofis’, yang memungkinkan merelasikan berbagai ide, yaitu keserupaan, identitas, waktu dan tempat, proporsi kuantitas, derajat kualitas, pertentangan dan penyebaban. Semua hal ini berjalan sebagai proses yang progressif. Proses ini harus bisa juga dibalik (reduktif) untuk menyisihkan ide-ide hayalan atau konsep kosong. Ini berarti bahwa harus diuji apakah ide-ide kompleks dapat dikembalikan kepada ide-ide kompleks dapat dikembalikan kepada ide-ide prima yang mendasarinya.

Seluruh proses ini merupakan eksperimen untuk mendapatkan pemahaman yang kuat dan pengetahuan yang benar. Jika suatu istilah tidak terbukti menyajikan ide yang dapat dianalisa menjadi komponen-komponen sederhana, atau jika ide-ide simple itu tidak terbukti sesuai dengan suatu impressi yang dapat dialami, maka istilah, ide dan konsep itu tidak mempunyai arti yang dapat dipegangi. Jadi, harus disisihkan dan dipotong, seperti dipotongnya bagian-bagian yang tidak perlu dengan pisau cukur. Ini sebabnya, pengujian ini disebut juga “Hume’s Razor” (pisau cukurnya Hume).[24]

Dengan metode tersebut, dapat disusun suatu filsafat yang dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi, karena ketatnya pengujian, maka yang bisa diterima hanya sangat sedikit. Itu sebabnya Hume mengatakan bahwa filsafat moral bisa dan biasa didasarkan atas kepercayaan (belief) dan perasaaan (feeling). Metode Hume ini didukung oleh Thomas Hobbes, John Locke dan Berkeley.

 

C.   KESIMPULAN

Metode filsafat yang ada sekarang tidak terlepas dari para tokoh filsuf yang telah melakukan berbagai penelitian serta evaluasi terhadap berbagai pertanyaan mengenai banyak hal. Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang metode filsafat, sebenarnya masih sulit untuk menetapkan metode paling umum dalam filsafat. Beberapa yang dapat penulis paparkan yaitu: (1) Metode Kritis (2) Metode Intuitif (3) Metode Skolastik (4) Metode Matematis, dan (5) Metode Empiris-Eksperimental.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 2008.

 

Lubis, Nur A. Fadhil. Pengantar Filsafat Umum. Medan : Perdana Publishing, 2015.

 

Surajiyo. Filsafat Ilmu Perkembagannya di Indonesia Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. 2013.

 

Sumanto, Edi. Filsafat. Bengkulu : Penerbit Vanda. 2015.

 

Zacharias, Tehubijuluw. Filsafat Administrasi. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. 2021.



[1] Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2008, hlm. 1588.

[2] Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum. Medan : Perdana Publishing, 2015. hlm. 21.

[3] Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum………..hlm. 22.

[4] Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum…… hlm. 22

[5] Edi Sumanto, Filsafat. Bengkulu : Penerbit Vanda. 2015. hlm. 22-23

[6] Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembagannya di Indonesia Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara 2013, hlm. 11.

[7] Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembagannya di Indonesia Suatu Pengantar….. hlm. 10.

[8] Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum…… hlm. 24.

[9] Tehubijuluw Zacharias, Filsafat Administrasi. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. 2021. hlm.232

[10] Tehubijuluw Zacharias, Filsafat Administrasi………hlm. 233.

[11] Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum…… hlm. 25-26.

[12] Suraiyo, Filsafat Ilmu…………….hlm. 50.

[13] Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum…… hlm. 26.

[14]  Tehubijuluw Zacharias, Filsafat Administrasi………hlm. 235.

[15] Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum…… hlm. 28.

[16] Edi Sumanto, Filsafat………hlm. 35.

[17] Nur A. Fadhil P Lubis, Pengantar Filsafat...h. 29

[18] Tehubijuluw Zacharias, Filsafat Administrasi………hlm. 239.

[19] Nur A. Fadhil P Lubis, Pengantar Filsafat...h. 29

[20] Nur A. Fadhil P Lubis, Pengantar Filsafat...h. 30

[21] Edi Sumanto, Filsafat………hlm. 36-37.

[22] Nur A. Fadhil P Lubis, Pengantar Filsafat...h. 31.

[23] Edi Sumanto, Filsafat………hlm. 38.

[24] Nur A. Fadhil P Lubis, Pengantar Filsafat...h. 31