Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Rabu, 19 Oktober 2022

GADAI DALAM TINJAUAN FIKIH

aldhy purwanto

KATA PENGANTAR

 

Alhamdulillahi robbil'alamin,segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah menganugerahkan keimanan, keislaman,kesehatan,dan kesempatan sehingga penulis dapat menyusun makalah dengan judul “Gadai dalam Tinjauan Fikih” ini dengan baik.

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.Karena Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah berkontribusi secara maksimal.

 Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa memberikan tambahan wawasan ilmu tentang apa yang dibahas dalam makalah ini.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik  dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolongmenolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman- Dalam pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memlwrikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan- Oleh sebab itu, pihak kreditur meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah kepadanya.

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berutang atas suatu barang bergerak atau tidak bergerak ( motor,mobil,tanah sawah, rumah ) yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut. Dimana seseorang itu harus menggadaikan barangnya untuk mendapatkan uang.

Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.

Definisi gadai dalam Islam disebut dengan Rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan suatu barang yang digunakan sebagai jaminan atau tanggungan utang. Rahn juga merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai ekonomis menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, shingga pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Dan Rasulullah pun telah mempraktikkannya.Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam itu seperti Pegadaian dan muncul pula Pegadaian Syariâh- Di dalam Islam, itu tidak dilarang, namun harus dengan Syariât Islam, tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa itu Gadai?

2.      Bagaimana Hukum Gadai ?

3.      Berapa Lama Jangka Waktu dalam Akad Gadai?

4.      Apa Rukun Gadai?

5.      Apa Syarat Gadai?

6.      Apa Manfaat Akad Gadai?

7.      Bagaimana Menjaga Barang Gadai?

8.      Bagaimana Hukum Memanfaatkan Barang Gadai?

9.      Bagaimana Penyelesaian dalam Akad Gadai?

10.  Apa Perbedaan Penggadaian Syariah VS Penggadaian Konvensional?

 

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk Mengetahui Definisi Gadai

2.      Mengetahui Bagaimana itu Hukum Gadai

3.      Untuk Mengetahui Berapa Lama Jangka Waktu dalam Akad Gadai

4.      Untuk Mengetahui Apa Saja Rukun Gadai

5.      Untuk Mengetahui Apa Saja Syarat Gadai

6.      Mengetahui Apa Manfaat Akad Gadai

7.      Mengetahui Bagaimana Menjaga Barang Gadai

8.      Mengetahui Bagaimana Hukum Memanfaatkan Barang Gadai

9.      Mengetahui Bagaimana Penyelesaian dalam Akad Gadai

10.  Untuk Mengetahui Perbedaan Penggadaian Syariah VS Penggadaian Konvensional


1.       

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Gadai

Gadai dikenal dalam Fiqih- Fiqih Klasik disebut rahn, dalam bahasa mempunyai arti menggadaikan atau jaminan”.,[1] Secara etimologi rahn berarti tetap atau lestari, Rahn dapat disamakan dengan al-habsu mempunyai arti penahanan”.[2] dalam menyerahkan pinjaman uang, dengan diberi beban kewajiban “tambahan” pada waktu mengembalikan sebagai pengganti “waktu” yang telah diserahkan memberatkan pihak peminjam”.[3]

Berdasarkan pendapat Wahbah Zuhaili, beberapa imam madzhab memberi Definisi terkait gadai, dan hampir sama dari berbagai pendapat mereka, diantaranya, ialah:

a.       Berdasarkan pendapat Imam Syafi’i: gadai yang menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang, dimana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan)

b.      Berdasarkan pendapat Imam Hambali: harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya, bilamana terjadi kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang berutang.

c.       Berdasarkan pendapat Imam Maliki: harta yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap”.[4]

 

Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa: rahn ialah mejadikan barang yang memiliki nilai harta sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu”.[5]

Sedangkan akad utang piutang yang disertai dengan jaminan Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin. Sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahim.

Dalam fiqh sunnah Gadai ialah : “Menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara” sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil (manfaat) barang itu”.[6]

Berdasarkan pendapat al-Imam Abu Zakaria al-Anshari, ialah: “Menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayar sebagai kepercayaandari suatu utang yang dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar”.[7]

Dari berbagai Definisi gadai diatas dapat disimpulkan bahwa: gadai ialah menahan barang yang lembaga, sehingga murtahin mendapatkan jaminan untuk diambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai tersebut, bilamana pihak rahin tidak bisa membayar utang saat waktu yang sudah disepakati oleh kedua pihak.

 

B.     Dasar Hukum Gadai

Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Al-Qur’an,Hadist Nabi Muhammad SAW,Ijma’,Ulama dan Fatwa MUI.

1.      Al-Qur’an

 

Q.S Al-Baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar membangun konsep gadai adalah sebagai berikut.

 

 

وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

 

 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

 

Syek Muhammad Ali As-Sayis berpendapat bahwa al-qur’an diatas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang melakukan transaksi utang piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara meminjamkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (Rahn).

2.      Hadis Nabi Muhammad SAW.

Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai/syariah adalah hadis Nabi Muhammad SAW. Yang antara lain diungkapkan sebagai berikut.

 

a)      Hadis Aisyah Ra. Yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيٍ

Dari Aisyah berkata : Rasulullah saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.

 

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ

“Dari Anas ra bahwasan ya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR. Anas r.a)

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرّيُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

 

            Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.” (HR. Bukhari).

 

وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَالُه

 

            “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu’anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya.” (Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal).

 

3.      Ijma’ Ulama

      Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad, SAW. Yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makakanan dari seorang yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh nabi tersebut. Ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang yahudi, bahwa itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad SAW. Yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ataupun harga yang diberikan Nabi Muhammad SAW peda mereka.Fatwa Dewan Syariah Nasional

 

4.      Fatwa dewan syariah nasional majelis ulama indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah,diantaranya dikemukakan sebagai berikut:

a.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:25/DSN-MUI/III/2002,tentang rahn;

b.      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:26/DSN-MUI/III/2002,tentang Rahn Emas;

c.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:09/DSN-MUI/Iv/2000,tentang Pembiayaan Ijarah;

d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:10/DSN-MUI/IV/2000,tentang wakalah;

e.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:43/DSN-MUI/VIII/2004,tentang Ganti rugi.

 

C.    Jangka Waktu Dalam Akad Gadai (Berakhirnya Akad Gadai)

            Menurut ketentuan syariah bahwa apabila masa yang telah untuk membayar utang telah terlewati masa dia yang berhutang tidak punya kemampuan untuk mengembalikan pinjaman hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian.[8]

Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh penggadai tersebut, maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada penggadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian tersebut telah dijual dan ternyata belum melunasi hutang penggadai, maka penggadai tersebut masi punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.

 

D.    Rukun Gadai

Rukun akad rahn terdiri atas rahin (orang yang menyerahkan barang), murtahin (penerima barang), marhun/rahn (barang yang di gadaikan) dan marhun bih (hutang) serta ijab qabul, adapun rukun merepukan tindak lanjut dari ijab dan qabul”.[9] Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, diantaranya, Ialah :

a)      Orang yang berakad (Aqid) ada dua macam, diantaranya ialah:

1)      Yang menggadai (Rahin)

2)      Orang yang menerima gadai (Murtahin).

b)      Ma qud ‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal :

1)      Barang pegadaian atau yang digadaikan (Marhun)

2)      Hutang yang karenanya diadakan gadai (Dain Marhun biih,)

c)      Akad gadai (Sighat).

 

E.     Syarat Gadai

Syarat- syarat Gadai diantaranya ialah:

a.       Pemberi ( Rahin ) dan penerima ( murtahin ) gadai, keduanya melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam yakni baligh dan berakal.

b.      Sighat, diantaranya ialah:

1)      Sighat tidak boleh terikat dengan syarat-syarat tertentu.

2)      Pemberian utang misalnya: hal ini dapat dismakan dengan akad jual beli.

3)      Marhun bih (utang) utang yang tidak boleh bertambah atau yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam”.[10]

Berdasarkan konsensus ulama’ fiqh menjelaskan syarat-syarat ar-rahn disesuaikan dengan rukun ar-rahn. Sedangkan syarat-syarat ar-rahn diantaranya, ialah:

a.       Pemberi ( Rahin ) dan penerima ( murtahin ) gadai baligh dan berakal, Hanafiyah kontradiksi persepsi dengan menyatakan: kedua belah pihak yang berakal tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad rahn yang di lakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan walinya.

b.      Syarat marhun bih (utang): wajib dikembalikan oleh penerima ( murtahin ) kepada pemberi

( Rahin ), utang itu dapat di lunasi dengan Kredit tersebut, dan utang itu harus jelas dan tertentu (spesifik)

c.       Syarat marhun (agunan) berdasarkan konsensus mayoritas Fuqoha’ harus bisa di jual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang, barang pegadaian harus bernilai dan dapat di manfaatkan sesuai ketentuan hukum islam, agunan harus jelas dan dapat di tunjukkan, agunan milik sah debitor, barang pegadaian tidak terkait dengan pihak lain, barang pegadaian harus merupakan harta yang utuh dan barang pegadaian dapat diserah terimakan kepada pihak lain, baik materi maupun manfaatnya”.[11]

d.      Berdasarkan pendapat Hanafiah menjelaskan dalam akad menjadi sah akadnya bilamana penerima ( murtahin ) mensyaratkan tenggang waktu utang telah habis dan utang belum di bayar, maka ar-rahn itu di perpanjang satu bulan. Atau pemberi ( Rahin ) mensyaratkan harta benda pegadaian itu boleh di manfaatkan.

e.       Berdasarkan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbilah: syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu di bolehkan, tetapi bilamana syarat itu bertolak belakang dengan sifat akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan ar-rahn satu bulan dan agunan boleh di manfaatkan), termasuk syarat yang ti dak sesuai dengan ar-rahn sebab syarat itu di hukumi batal. Syarat yang di bolehkan itu misalnya pemberi ( Rahin ) minta agar akad itu di saksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal misalnya disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh di jual ketika ar- rahn itu jatuh tempo, dan orang yang berhutang tidak mampu membayarnya”.[12]

 

F.     Manfaat Akad Gadai

Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai berikut :

a.       Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai dan bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.

b.      Menberikab keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito,bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.

c.       Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme penggadaian,sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana,terutama yang berada di daerah-daerah.

 

Adapun manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya kongkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan aset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.

 

 

G.    Menjaga Barang Gadai

Dalam menjaga barang gadai siapakah yang menanggung risiko bila terjadi kerusakan barang yang digadaikan? Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqh Muamalah menyatakan, bahwa menurut Syafi’iyah bila barang gadai atau almarhun hilang dibawah penguasaan al-murtahin, maka al-murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian al-murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya, al-murtahin bermain-main api lalu barang gadai itu terbakar, atau gudangnya tidak dikunci lalu barang gadai itu dicuri orang. Konkretnya al-murtahin diwajibkan memelihara al-marhun secara layak dan wajar. Sebab bila tidak demikian, ketika adacacatatau kerusakan apalagi hilang menjadi tanggung jawabal-murtahin.

            Dengan mengutip pendapat Hanafi dan Ahmad Azhar Basyir,Hendi Suhendi wmenyatakan bahwa al-murtahin yang memegang al- marhun menanggung risiko kerusakan atau kehilangan al-marhun, bila al-marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian maupun tidak.

Perbedaan dua pendapat tersebut ialah jika menurut Hanafi al-murtahin harus menanggung risiko kerusakan atau kehilangan al-marhun yang dipegangnya, baik al-marhun itu hilang karena disiasiakan atau dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi'iyah almurttahin menanggung risiko kehilangan atau kerusakan al-marhun bila al-marhun itu rusak atau hilang karena tidak diurus atau disia-siakan oleh al-murtahin.

Yang jelas lepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, menurut penulis demi tertibnya akad ar-rahn dan tetap terjalinnya silaturahmi dari kedua belah pihak, sudah selayaknya al-marhun atau barang gadai itu dijaga dengan sebaik-baiknya oleh al-murtahin.

 

H.    Hukum Memanfaatkan Barang Gadai

Para ulama mampunyai perbedaan pendapat berkenaan pemanfaatan barang gadai,yaitu sebagai berikut.

1)      Pendapat Ulama Syafi’iyah

Menurut ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai(marhun)adalah pemberi gadai(rahin).Walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).[13]Dasar hukum hal dimakdud adalah hadis Nabi Muhammad SAW.sebagai berikut.

Pertama,Hadis Nabi Muhammad SAW,sebagai berikut. Yang artinya:

“Dari Abu Huraira ra.Berkata bahwasanya rasulullah saw.Bersabda:Barang jaminan itu dapat air susunya dan ditunggangi/dinaiki.”

Kedua,Hadis Nabi Muhammad SAW,yang artinya:

“Dari Abu Huraira nabi muhammad saw.Bersabda:gadaian itu tidak menutup hak yang punya dari manfaat barang itu,faedahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segalanya(kerusakan dan biaya) .(HR. Asy-syafi’I dan Ad-Daruqutni).

2)       Pendapat Ulama Malikiyah   

Ulama Malikiyah berpendapat seperti yang dikutip oleh Muhammad dan Sholikhul Hadi bahwa penerima harta benda gadai(murtahin)hanya dapat memanfaatkan harta benda barang gadaian atsa izin dari pemberi gadai dengan persyaratan berikut.

a)      Utang disebabkan dari jual-beli,bukan karna mengutangkan. Hal itu terjadi seperti orang yang menjual barang dengan harta tangguh,kemudian orang itu meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal ini diperbolehkan.

b)      Pihan murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadaian di peruntuhkan pada dirinya.

c)      Jika waktu menggambil manfaat yang telah disyaratkan harus di tentukan,apabila tidak di tentukan batas waktunya maka menjadi batal.[14]

Pendapat di atas,berdasarkan hadis Rasulullah SAW.Sebagai berikut.

Hadis nabi muhammad saw yang artinya:

“Dari Umar bahwasanya rasulullah bersabda:hewan seseorang tidak boleh diperas tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari)

3)      Pendapat Ulama Hanabilah

Menurut pendapat Hanabilah, persyaratan dari murtahin untuk menggambil manfaat harta benda gadai yang bukan berupa hewan adalah:

a)      Ada izin dari pemilik barang,dan

b)      Adanya gadai bukan karena mengutangkan.

Hal ini berdarkan dalil hukum sebagai berikut.Yang artinya:

“Barang gadai (marhun dikendarai)oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya.” (HR. Al-Bukhari)

4)      Pendapat Ulama Hanafiyah

Menurut pendapat Ulama Hanafiyah,tidak ada berpedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak.Alasnya adalah hadis muhammad saw. Sebagai berikut. Yang artinya:

”Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra.Berkata,bahwasanya rasulullah saw.Bersabda:Barang jaminan utang(gadai) dapat ditunggangi dan si peras susunya,wajib menafkahi.”(HR. Al-Bukhari).

 

I.       Penyelesaian Akad Gadai

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”,sebab kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar,yang akibatnya merugikan pihak rahin.

Apabila syarat seperti diatas diadakan dalam akad gadai,akad gadai itu sah,tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.

Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan pada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

 

J.      Penggadaian syariah VS Penggadaian Konvesional

Apabila membandingkan produk gadai syariah versi Bank Syariah Mandiri dengan pegadaian konvensional , maka pegadaian syariah dapat menjadi alternatif bagi orang yang membutuhkan dana murah , cepat , dan sesuai hukum Islam . Biaya gadai dimaksud , hanya 4 % selama dua bulan , jauh lebih kecil dari bunga di Perum Pegadaian yang mencapai 14 % per empat bulan . Keabsahan prinsip syariahnya dapat dilihat pada keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ( DSN – MUI ) No : 09 / DSN – MUI / IV / 2000 tentang Pembiayaan Ijarah dan Fatwa lainnya yang berkaitan gadai .[15]

Sebagai ilustrasi mengenai pembiayaan ijarah , penulis mengemukakan bahwa menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri 1428 H / 2007 M , bagi umat Islam Indonesia termasuk yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah , ditemukan beberapa orang kepepet butuh uang . Bila orang dimaksud , ke bank untuk meminjam uang maka pihak bank mempunyai persyaratan berdasarkan aturan yang dianggap oleh calon peminjam susah untuk dipenuhinya . Selain itu , mempunyai proses yang lama dan bunganya mencekik leher . Sudah begitu , belum tentu ada bank yang mau memberi kredit . Akhirnya , warga masyarakat Islam berbondong – bondong pergi berurusan ke kantor pegadaian yang selama ini “ dimonopoli “ Perum Pegadaian . Hanya , menggadaikan barang di pegadaian konvensional pelat merah itu biayanya cukup besar dan antriannya pun panjang . Karena itu , saat ini ada alternatif lain , yaitu ke Bank Syariah Mandiri ( BSM ) yang mempunyai program gadai emas syariah . Lewat produk berlabel agama ini , “ warga masyarakat bisa mendapatkan dana murah , cepat , dan berdasarkan prinsip syariah , “ kata Sunarto Zulkifli , Kepala Pengembangan Produk BSM .12

Selain perbandingan di atas , perlu diungkapkan jasa perbandingan antara gadai syariah dengan jasa gadai konvensional sebagai berikut .

1.      Jasa Gadai Syariah

Pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan gadai syariah . Gadai syariah dimaksud , dalam istilah bahasa Arab disebut rahn . Rahn tersebut , beroperasional berdasarkan prinsip syariah sehingga tidak mengenakan bunga tetapi menggunakan pendekatan bagi hasil yang dikenal dengan istilah mudharabah atau Fee Based Income . Pegadaian syariah sebagai penerima gadai disebut murtahim dan pemberi gadai disebut rahin . Rahin akan mendapatkan surat bukti gadai ( rahn ) berikut dengan akad pinjam – meminjam yang disebut akad gadai syariah dan akad sewa tempat ( ijarah ) . Dalam akad gadai syariah disebutkan bahwa jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan ( marhun ) miliknya dijual oleh pegadaian( murtahin ) guna melunasi pinjaman . Sedangkan akad sewa tempat ( ijarah ) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai dalam menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan .

Pegadaian memiliki banyak produk yang mungkin cocok buat seseorang yang membutuhkan dana dalam jangka pendek . “ tak kenal maka tak sayang “ demikian kata pepatah , sehingga ada baiknya sebelum seseorang membutuhkan dang yang mendesak , seseorang benar – benar “ kepepet “ membutuhkan modal maka tidak ada salahnya untuk meluangkan waktu sebentar ke kantor pegadaian terdekat dari tempat tinggal seseorang untuk menanyakan syarat – syarat dan prosedur yang ada serta daftar barang yang diterima sebagai jaminan gadai . Tujuannya adalah suatu waktu ketika membutuhkan dana maka alternatif pegadaian dapat menjadi sarana yang efektif dan efisien dalam memperoleh pendanaan jangka pendek . Prinsipnya , jangan terkungkung dengan alternatif pendanaan yang biasa digunakan . Ada baiknya “ buka mata dan buka telinga “ sehingga akan semakin banyak informasi yang didapat serta semakin mengetahui beberapa alternatif sumber pendanaan yang diperlukan . Prinsip “ sedia payung sebelum hujan “ dan “ malu bertanya sesat di jalan “ sungguh sangat relevan dalam kehidupan sosial seseorang sehari – hari .

Selain itu , ditemukan bahwa pegadaian konvensional menarik bunga 10 % 14 % untuk jangka waktu empat bulan , plus asuransi sebesar 0,5 % dari jumlah pinjaman . Jangka waktu empat bulan itu dapat terus diperpanjang , selama nasabah mampu membayar bunga . Lain halnya pegadaian syariah , hanya memungut biaya ( termasuk asuransi barang ) sebesar 4 % untuk jangka waktu dua bulan . Apabila lewat dua bulan nasabah tidak mampu menebus barangnya , masa gadai bisa diperpanjang dua periode . Jadi , total waktu maksimalnya enam bulan . “ Tidak ada tambahan pungutan biaya untuk perpanjangan waktu , “ terang Sunarto . Tapi , jika melewati masa enam bulan , BSM akan langsung mengeksekusi barang gadai .

Perbedaan lain , di pegadaian konvensional nasabah bisa menggadaikan berbagai macam barang , mulai dari emas , barang elektronik , sampai kain Sementara itu , gadai emas syariah hanya menerima barang jaminan berupa emas ( minimal 16 karat ) . Penghitungan nilai gadainya juga berbeda . Nasabah gadai syariah mendapat pinjaman sebesar 75 % dari nilai pasar emas yang digadaikan . Di pegadaian konvensional nasabah bisa mendapat 90 % dari harga taksiran barang . Padahal , menurut Sunarto , nilai taksiran itu paling banter 80 % dari harga pasar , “ Jadi , sebenarnya nasabah hanya mendapat 72 % dari harga pasar .”

Dalam jaringan pemasaran , gadai emas syariah memang jauh tertinggal dari Perum Pegadaian . Perusahaan milik pemerintah itu telah memiliki 721 cabang yang tersebar di berbagai pelosok nusantara ; sementara gadai emas syariah baru bisa dilayani di satu tempat : BSM Cabang Majestik , Jakarta Rencananya , di akhir tahun 2002 jumlah cabang yang melayani gadai syariah ini akan ditambah menjadi sembilan gerai .

Berdasarkan hal di atas , merasa tersaingikah Perum Pegadaian ? “ , tentu tidak . Mereka itu mitra yang membidik segmen tersendiri , “ kata Bagus Aprianto Kasi Investasi dan Permodalan Perum Pegadaian . Bahkan , melihat lebarnya peluang , Perum Pegadaian akan ikut bermain dalam produk syariah . “ Pada Desember 2001 telah dilakukan uji coba di Medan dan Aceh” .

Gadai emas syariah versi Bank Syariah Mandiri ( selanjutnya disebut BSM ) dalam hal ini , merupakan hal baru . Prinsip kesyariahan yang diterapkan dalam produk ini pun masih dipertanyakan banyak orang . BSM sendiri mendasari produk ini atas prinsip ar – rahn yang tercantum dalam QS . Al – Baqarah ( 2 ) ayat 283 .

Selain ayat Alquran dimaksud , Istilah ar – rahnu juga dikenal lewat sebuah hadis yang artinya : Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau .

Pengamat produk syariah , Ahmad Baraja , menilai prinsip dan dasar syariah yang diterapkan BSM tidak tepat . “ Ar – rahnu itu jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial , bukan kepentingan bisnis , jual beli atau bermitra ,” tandasnya . Jadi , menurutnya , uang hasil gadai syariah ini tidak boleh dipakai berinvestasi . Berbeda dengan produk pegadaian konvensional seperti koin emas yang selain untuk biaya haji , bisa pula dipakai sebagai alat berinvestasi . Ahmad Baraja menyorot kebijakan BSM yang mematok biaya gadai 4 % . Sebab , menurutnya , kalau memakai prinsip penitipan barang , mestinya biaya yang dikenakan harus real cost . Artinya , biayanya haruslah yang benar – benar dikeluarkan , jadi bisa dipatok di awal . Karena itu , tidak melakukan manipulasi pengenaan biaya yang bisa dikategorikan bunga , dalam hukum Islam disebut haram .

 

2.      Jasa Gadai Konvensional

Pegadaian konvensional memberikan pinjaman kepada warga masyarakat mulai dari Rp10.000,00 sampai Rp20 juta per surat gadai . Namun demikian , pegadaian juga memiliki produk untuk pinjaman di atas Rp20 juta . Perhitungan bunga dilakukan setiap 15 hari . Sebagai contoh , bila seseorang menggadaikan suatu barang dan kemudian menerima kredit gadai sebesar Rp1.000.000,00 maka setiap 15 hari ke depan , bila bunga yang dikenakan 1,5 % per 15 hari , orang dimaksud mesti membayar bunga sebesar Rp15 ribu per lima belas hari. Yang unik dan mungkin sedikit merugikan bagi nasabah pegadaian adalah bila seseorang ingin melunasi misalnya dalam jangka waktu 17 hari maka orang itu akan dikenakan bunga untuk 30 hari . Mengapa ? Karena pegadaian menghitung bunga setiap 15 hari dan untuk setiap kelebihannya akan dibulatkan menjadi 15 hari sehingga nasabah harus benar – benar menaati jadwal pembayaran bunga sesuai dengan waktunya . Juga bila nasabah ingin menebus kembali barang yang digadaikan , sebaiknya sesuai dengan pola waktu 15 harian . Jangka waktu pinjaman diberikan oleh pegadaian selama 4 ( empat ) bulan . Apabila telah thelewati batas pinjaman , nasabah dapat memperpanjang dengan membayar lewa modal

( bunga ) atau dapat menebus barang jaminannya . Apabila kedua hal tersebut tidak dilaksanakan maka pegadaian berhak untuk melelang barang jaminan . Nasabah masih diberi hak mendapatkan uang lelang jika hasil lelang yang diterima melebihi nilai utang pokok ditambah sewa modal dan biaya lelang . Sebaliknya , jika hasil lelang lebih kecil dibandingkan kewajiban nasabah , kekurangan itu menjadi risiko yang ditanggung oleh pegadaian .

 

Perbedaan mendasar antara pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional adalah dalam pengenaan biayanya . Menurut Sunarto , pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda ; lain halnya biaya di pegadaian syariah tidak berbentuk bunga , tetapi berupa biaya penitipan , pemeliharaan , penjagaan , dan penaksiran . Singkatnya , biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali dikenakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Gadai dalam Islam disebut (Rahn), penggadaian Islam akan memperoleh keuntungan hanya dari biaya sewa yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa atas modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.

Menurut ekonomi syari’ah bahwa penyimpanan barang gadaibmenjadi kewajiban murtahin. Kewajiban secara otomatis dilakukan oleh murtahin. Namun tujuan ekonomi syariah yaitub untuk mencapai fallah di dunia dan di akhirat. Prinsip syariah ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang.

Barang jaminan sama halnya dengan amanat. Pengadaian akan memberikan ganti rugi jika barang jaminan milik nasabah rusak. Maka dari itu pegadaian akan berusaha semaksimal mungkin agar barang jaminan milik nasabah tidak rusak. Dalam menunjang kegiatan tersdebut pegadaian mengenakan biaya penimpanan dan pemeliharaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Mahnud Yunus,Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsiran al-Qur’an,1989)

 

Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,( Jakarta: Sinar Grafika, 1996)

 

Muhammad Solikul Hadi, Penggadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2000)

 

Wahbah Zuhaili, Al-fighu Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1985)

 

Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, alih bahasa. Terj: Kamaludin A. Marjuki, (Bandung : PT. AlMaarif,1996)

 

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), Sabiq, Fikih Sunah, alih bahasa.

 

Abi Zakariyah al-Anshari, Fathul Wahab, Terj: Sulaiman Mariy,(Singapura,t.th)

 

Abdul Ghofur Anshori, PERBANKAN SYARIAH INDONESIA, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018)

 

Dimyauddin,. Fiqh Menurut Madzhab Syafi’I, ( Jakarta: Wijaya, 1996)

 

Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)

 

Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Safiria Insania. Press. 2009)

 

Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017)

 

Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi ke-3, (Jakarta: LSIK, 1997)

 

Muhammad dan Sholikhul Hadi,  penggadaian Syariah: Suatu Alternatif Konstruksi Penggadaian Nasional, edisi 1, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003)

 

Bandingkan uraian Mesti Sinaga, Kun Wahyu, Ariyanto Widhinugroho, dan Cipta W., Dana Murah dari Bank Syariah Menyorot Produk Gadai Syariah Versi Bank Syariah Mandiri, Dikutip dari internet, www.yahoo.com, 25 juni 2006



[1] Mahnud Yunus,Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsiran al-Qur’an,1989), hlm. 148

[2] Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1996) cet 2, hlm. 139

[3] Muhammad Solikul Hadi, Penggadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2000), hlm. 49-50

[4] Wahbah Zuhaili, Al-fighu Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1985) cet -2, hlm. 180-181

[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, alih bahasa. Terj: Kamaludin A. Marjuki, (Bandung : PT. AlMaarif,1996), hlm. 139

[6] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), hlm. 175-211 Sabiq, Fikih Sunah, alih bahasa. Hlm. 189

[7] Abi Zakariyah al-Anshari, Fathul Wahab, Terj: Sulaiman Mariy, (Singapura, t.th ), hlm. 192

[8] Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit. h. 96.

[9] Dimyauddin,. Fiqh Menurut Madzhab Syafi’I, ( Jakarta: Wijaya, 1996), hlm. 38

[10] Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,……. Hlm. 142

[11] Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Safiria Insania. Press. 2009), hlm. 109

 

[12] Horoen, Fiqh Muamalah,……. Hlm. 254-255

[13] Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi ke-3, (Jakarta: LSIK, 1997, hlm. 333

[14] Muhammad dan Sholikhul Hadi, penggadaian Syariah: Suatu Alternatif Konstruksi Penggadaian Nasional, edisi 1, (Jakarta:Salemba Diniyah, 2003), hlm. 70

[15] Bandingkan uraian Mesti Sinaga, Kun Wahyu, Ariyanto Widhinugroho, dan Cipta W., Dana Murah dari Bank Syariah Menyorot Produk Gadai Syariah Versi Bank Syariah Mandiri, Dikutip dari internet, www.yahoo.com, 25 juni 2006