SEJARAH PERADABAN ISLAM
PERADABAN ISLAM INDONESIA PRA KEMERDEKAAN
I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada pertengahan abad ke-19, Belanda dan Inggris telah
mengukuhkan imperium mereka di wilayah Indonesia. Umat Islam di wilayah
ini belum merupakan bagian dari kesatuan imperium dan budaya, melainkan mereka
terbagi-bagi dalam banyak etnik dan bahasa. Dominasi Belanda dan Inggris
mengantarkan bangsa Indonesia pada transformasi besar-besaran dalam kehidupan
politik dan ekonomi dan memancing reaksi kelompok nasionalis dan muslim untuk
menentang campur tangan bangsa Asing.
Kenyataan bahwa bangsa Asing telah menguasai negara
Indonesia, telah menimbulkan respon yang bukan hanya datang dari institusi
pemerintahan, tetapi juga datang dari kalangan masyarakat baik secara individu, kelompok maupun kelembagaan.Para ulama tradisional, sufi, elit politik, kelompok administrator,intelektual,
reformis muslim, dan pemuka militer bangkit menentang dan melawan penjajah
Inggris dan Belanda dan menuntut kemerdekaan demi masa depan Indonesia.
Islam di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari budaya Indonesia, karena Islam paling banyak dianut oleh mayoritas
penduduk Indonesia. Signifikansi yang begitu erat antara Islam dan Indonesia
sebagai suatu daerah teritorial, menyebabkan penjajahan lebih dari tiga abad
oleh Belanda dan Jepang gagal dalam upaya deislamisasi agar akidah Islam
tercabut dari umat Islam.
Umat Islam Indonesia hidup dalam aneka ragam situasi dan
kondisi dari sejak Islam masuk ke Indonesia. Karena agama Islam merupakan agama
yang membuka alam pikiran manusia serta mengatur hubungan antara manusia dengan
sesamanya. Ajaran Islam dapatmengisi kekosongan hati dan dapat memberikan
harapan pada manusia untuk hidup rukun dan damai dengan harapan gemilang serta
dapat membimbing manusia kepada kehidupan bahagia dunia akhirat. Agama Islam
agama yang memberikan sikap kepribadian dan mengajarkan norma-norma hidup,
sehingga setiap penganut agama Islam mempunyai kesadaran yang tinggi dan
kepribadian kokoh yang sukar untuk diubah. Pada saat Belanda memasuki Nusantara
(1596) sudah mulai terasa akan kesulitan dalam menghadapi masyarakat Islam.
Kolonialisme Belanda selalu menghadapi perlawanan gencar dari masyarakat yang
menganut agama Islam seperti pertempuran di Banten, Hasanuddin di Makassar,
perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh dan sebagainya.
Mengakarnya Islam di Indonesia sebenarnya tidak terlepas
dari sebuah proses panjang program sosialisasi Islam yang dilakukan oleh para
pemuka Islam melalui aktifitas dakwah dan pendidikan. Dalam pada itu Islam di
Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan idiologi, budaya dan kekuatan
politik penguasa terutama penguasa Belanda dan Jepang. Hal ini memaksa Islam
harus tampil dalam berbagai bentuk gerakan. Seperti gerakan Islam melawan
kolonialisme, sebagai Islam politik, Islam sebagai kekuatan moral, cultural,
dan intelektual.Bentuk-bentuk gerakan di atas sebagai akibat dari upaya umat
Islam untuk menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis melalui pola-pola
sosialisasi, akomodasi, dan modifikasi, sehingga Islam tersosialisasi dalam
berbagai bentuk kehidupan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas dapatlah dirumuskan fokuskajian makalah ini yakniperkembangan
Islam di Indonesia sebelum masa kolonial Belanda danpada masa kolonial Belanda
dan Jepang.Dinamika perkembangan Islam pada ketiga masa tersebut selanjutnya
dikaji melalui kajian pustaka dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
analisis kritis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peradaban Islam Indonesia Pra
Kemerdekaan ?
2. Bagaimana peradaban Islam zaman penjajahan
Kololnial Belanda ?
3. Bagaimana peradaban Islam zaman pendudukan
Jepang ?
4. Bagaimana Agama dan kekuatan politik masa
kolonialisme ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui
peradaban Islam Indonesia Pra Kemerdekaan ?
2. Untuk mengetahui
peradaban Islam zaman penjajahan Kololnial Belanda ?
3. Untuk mengetahui
peradaban Islam zaman pendudukan Jepang ?
4. Untuk mengetahui
keadaan agama dan kekuatan politik masa
kolonialisme ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Peradaban Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan
1. Permulaan Islam di Indonesia
Pertanyaan tentang kapan tepatnya agama Islam
masuk dan siapa orang yang pertama kali membawa misi dakwah agama ini ke
kepulauan Nusantara merupakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Terdapat
berbagai pendapat yang berbeda tentang permasalahan ini. Satu hal yang lazim
diakui bahwa Islam masuk dan tersebar di kepulauan Nusantara melalui rute
perdagangan.5 Istilah masuknya Islam yang oleh beberapa kalangan terkadang
disebut “Islamisasi”, apabila kita mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh
Noorduyn seperti yang dikutip oleh Ahmad M. Sewang bahwa proses masuknya Islam
ke Indonesia pada umumnya meliputi tiga tahapan: (a) tahap kedatangan Islam,
(b) tahap penerimaan Islam dan (c) tahap penyebaran Islam lebih lanjut.6
Sementara itu menurut Mukti Ali seperti yang dikutip oleh Kamaruddin Hidayat
bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara meliputi aspek-aspek: (a) kontak
pertama Islam dengan berbagai wilayah Nusantara, (b) Penerimaan Islam oleh
penduduk atau raja-raja setempat, (c) penyebaran Islam secara meluas, dan (d)
pertumbuhan kerajaankerajaan Islam.
Fuad Amsyary menjelaskan bahwa pada
awal Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang muslim dari luar negeri yang
memasukkan Islam melalui komunikasi verbal/lisan dan tingkah laku/akhlak Islam
yang dibawanya. Mereka mengajarkan akidah, ibadah dan perilaku sosial Islam
sebagai yang mereka pahami dari negri asalnya yang pertama. Masuknya Islam ke
Indonesia diperkirakan sudah terjadi pada masa kekhalifaan Umar bin Khattab,
walau ada pula yang berpendapat bahwa Islam masuk pada masa Daulah Abbasyiah.
Oleh karena itu pemahaman Islam pada masa itu diperkirakan sebagai pemahaman
yang relatif utuh, yakni Islam sebagai acuan aktifitas ritual, sosial bahkan
kenegaraan. Itulah sebabnya Islam pada masa itu mengilhami terbentuknya negara
Islam Demak yang secara gradual menggeser dominasi kekuasaan Majapahit sebagai
kekuatan sosial kemasyarakatan.
Dari Seminar Sejarah Masuknya Islam
ke Indonesia di Medan pada tahun 1963, disimpulkan bahwa :
a
Menurut
sumber-sumber yang kita ketahui bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada
abad pertama hijriah (abad 7/8 M) dan langsung dari Arab.
b
Daerah
yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera, dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja
Islam yang pertama berada di Aceh.
c
Dalam
proses pengislaman selanjutnya orang-orang Indonesia ikut aktif ambil bagian.
d
Mubaligh-mubaligh
Islam selain sebagai penyiar agama juga sebagai saudagar.
e
Penyiaran
Islam di Indonesia dilakukan dengan damai.
f
Kedatangan
Islam ke Indonesia itu, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam
membentuk kepribadian bangsa Indonesia.
Menurut Hasan Muarif Ambary bahwa
bukti-bukti arkeologi yang menunjuk pada bekas-bekas kehadiran komunitas muslim
tertua Nusantara antara lain adalah di Troloyo (1281- 1611 M), Barus (1206 M),
Pasai (1297 M), Leran (1082 M) dan sebagainya. Teori mengenai sosialisasi Islam
ke Indonesia terdapat banyak pendapat, khusunya dalam cara masuk dan
pembawanya. Pendapat lama mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad
ke 13 M (J.J Krom dan Van Den Berg).Pendapat yang lain menyebutkan antara abad
ke-7-8 M. (T.W. Arnold, Hamka, Tyndrasasmita dan Ambary). Sementara itu tentang
asal kedatangan Islam ke Indonesia disebutkan dari India (C. Snouck Hurgronye,
H. Kraemer dan Van Den Berg), Persia (Husein Djadjadiningrat) atau langsung
dari Arab (Hamka).11 Sementara itu menurut Uka Candrasasmita seperti yang
dikutip pendapatnya oleh Badri Yatim bahwa Islamisasi di Indonesia melalui
beberapa jalur, antara lain melalui jalur perdagangan, jalur perkawinan, jalur
tasawuf, jalur pendidikan, jalur kesenian, dan jalur politik.
Mengenai kondisi pendidikan Islam di
Indonesia pada mulanya didasarkan pada sistem kedaerahan dan tidak terkordinir
atau terpusat, karena tiap daerah berusaha menjalankan pendidikan didaerahnya
sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Keberhasilan Islam menyebar dan
menyusup ketengah-tengah masyarakat juga belum didukung oleh metode dakwah atau
pun organisasi yang solid seperti sekarang ini, malahan Islam disiarkan secara
sembunyi-sembunyi dan dari rumah ke rumah agar tidak dicurigai atau dianggap
menentang norma-norma yang sudah kuat dipegang oleh penguasa dan masyarakat.
Proses Islamisasi di daerah pantai
berjalan dengan damai sesuai dengan prinsip dakwah dalam Islam yaitu tidak ada
paksaan untuk memeluk agama. Sehingga dengan pelan tapi pasti Islam dipeluk dan
diamalkan oleh penduduk pantai, mulai dari rakyat kecil sampai penguasa.
Berbeda dengan daerah pantai di pedalaman Islamisasi berjalan agak lamban dan
memakan waktu agak lama karena orang pedalaman masih kuat berpegang pada agama
leluhurnya yaitu agama Hindu dan Budha. Meskipun demikian antara kedua penduduk
pantai dan pedalaman tidak ada pertentangan bahkan mereka hidup damai.
Demikianlah keadaan proses Islamisasi
yang berjalan dengan damai tanpa kendala yang berarti sampai datangnya penjajah
ke Nusantara di mana misi kedatangannya disamping berdagang juga membawa misi
lain yaitu Kristenisasi. Inilah pangkal masalah di Nusantara yaitu adanya
pertentanganpertentangan baik antara penduduk pribumi akibat adu domba dari
penjajah maupun antara penduduk dengan penjajah karena apa yang dilakukan oleh
penjajah sangat merugikan penduduk baik dari segi kehidupan beragama maupun
dari segi kegidupan sosial budaya masyarakat yang sudah mapan. Berdasarkan
uraian di atas dapat dipahami bahwa awal masuknya Islam ke Indonesia belum
diketahui dengan pasti. Yang jelas bahwa Islamisasi di Nusantara telah
berlangsung sejak abad-abad pertama hijriah dan berlangsung terus hingga masa
kini dan juga masa yang akan datang. Dalam proses Islamisasi terjadi interaksi
antara budaya lokal sehingga corak Islam dibeberapa tempat berjalan sesuai
dengan tradisi dan budaya setempat tanpa mengurangi nilai Islam yang sesungguhnya.
2. Masa Kejayaan Islam
Masa Kejayaan Islam Periode kerajaan
Islam Demak tahun 1523 M. sampai dengan kerajaan Mataram (Sultan Agung tahun
1645), merupakan pengulangan model pengembangan Islam di jazirah Arab paska
Hijriah. Sistem politik diaktifkan untuk melakukan dakwah Islamiah secara
profesional melalui kegiatan para pengemban, aparat pemerintahan, mujahid,
termasuk wali dibawa naungan kekuasaan formal (kesultanan Islam). Dengan
demikian terjadilah perkembangan Islam yang luar biasa dimana hampir semua
penduduknya masuk Islam dalam waktu yang relatif singkat. Pada masa keemasan
Islam di Indonesia inilah para mujahid memperoleh dukungan penuh baik secara
materil maupun moril. Karena penguasa negara memiliki persepsi (keimanan) bahwa
Islam itulah cara mengelola masyarakat yang terbaik dan mampu menyelamatkan
masyarakat dan dunia dari eksploitasi orang-orang kafir yang serakah. Ada tiga
tahap proses Islamisasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran para pedagang
Muslim (abad 1-4 H). Sejak permulaan abad ke 1 hijriah kapal-kapal dagang Arab
sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Namun data tentang apakah sudah
ada penduduk yang masuk Islam menurut Ambary, masih dalam dugaan, belum ada
data yang otentik. 14 Selanjutnya Islam tersebar ke Sulawesi, ketika raja
pertama yaitu Raja Tallo yang menjadi mangkubumi di kerajaan Goa yang bernama I
Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka masuk Islam pada 22 September 1605
M. I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka kemudian bergelar Sultan
Abdullah Awalul Islam. Penyebar Islam ke daerah ini Kedua, fase terbentuknya
kerajaan Islam (13- 16 M). Pada fase ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat
kerajaan Islam.Ketiga, fase pelembagaan Islam. Agama Islam yang berpusat di
Pasai, meluas ke Aceh di pesisir Sumatra, semenanjung Malaka, Demak, Gresik,
Banjarmasin dan Lombok. Bukti penyebaran ditemukan cukup banyak seperti adanya
kesamaan batu nisan yang terdapat dibeberapa tempat seperti di Semenanjung
Melayu, Aceh, Kuwin Banjarmasin, Demak dan Gresik.
Selanjutnya Islam tersebar ke
Sulawesi, ketika raja pertama yaitu Raja Tallo yang menjadi mangkubumi di
kerajaan Goa yang bernama I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka masuk
Islam pada 22 September 1605 M. I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka
kemudian bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Penyebar Islam ke daerah ini
adalah Abdul Makmur Khatib Tunggal yang terkenal dengan nama Datuk Ribandang,
seorang ulama yangberasal dari Minangkabau.15 Para penyebar Islam dapat
menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan dan diantara
mereka ada yang kawin dengan penduduk setempat. Kemudian mereka mendirikan
Mesjid, mengadopsi kebudayaan lokal menjadi bermuatan Islam, mendidik kader
ulama, mengislamkan raja dan keluarganya dan pendekatan-pendekatan sosial
lainnya sesuai dengan kondisi dan situasi setempat. Dengan kata lain bahwa
Islam menjadi kokoh di pusatpusat kekuasaan Nusantara melalui jalur
perdagangan, perkawinan dengan elit birokrasi dan ekonomi, diskusi keagamaan,
dan sosialisasi langsung dengan masyarakat bawah.
Sayangnya proses perkembangan Islam
di Indonesia masa itu tidak didukung oleh kondisi umat Islam di pusat Islam
sendiri yang sudah porak poranda oleh serangan Kristen dalam perang Salib,
demikian pula serangan bangsa Mongol dan juga oleh penyelewengan kekuasaan oleh
Dinasti Ottoman di Turki. Indonesia pada masa itu praktis juga ikut terjebak
pada kemelut kekuasaan kesultanan di Jawa dan pulau lain dan mementahkan proses
pemantapan kualitas umat Islam. Penjajah secara licik mengadu domba pewaris
kesultanan Banten, Mataram dan berbagai kesultanan di Kalimantan, Sulawesi,
Aceh dan lainnya. Maka praktis pada masa itu kekuasaan kesultanan praktis
luntur dari misi dakwah Islamiah, karena penjajah itupun secara bertahap
memisahkan kekuasaan formal (kenegaraan) dari misi dakwah agama Islam sebagai
salah satu persyaratan bantuan pada pihak pewaris kerajaan yang dibantunya
B.
Peradaban
Islam Di Indonesia Pada Masa Kolonial Belanda
1.
. Masa
Kemunduran Islam
Masa
penjajahan pada dasarnya adalah masa deislamisasi umat oleh kekuasaan
pemerintahan. Pada awalnya penjajah mengenalkan agama mereka (Kristen) melalui
pejabat Belanda, lalu pada orang Cina yang sengaja diimpor oleh Belanda ke Jawa
mendukung mereka membangun loji dan kekuasaan mereka seperti di Batavia dan
lainnya. Kemudian pada para priyai dan penduduk secara umum. Mereka mendirikan
gereja, sekolah dan tempat hiburan untuk sosialisasi agama Kristen. Pada saat
yang sama penjajah juga mengharuskan kesultanan yang berada di bawah kendali
mereka untuk tidak lagi membawa misi dakwah Islam dalam proses pemerintahannya
dan membatasi fungsi kekuasaan hanya untuk pengelolaan urusan ekonomi dan
politik
Dengan
kenyataan yang dialami umat Islam seperti itu, maka para aktifis Islam yang
sudah ditinggalkan oleh sultan mereka, yang hanya sibuk mengurus kekayaan dan
kekuasaan yang semakin diperlemah oleh penjajah mengambili inisiatif untuk
mendirikan pondokpondok pesantren pada beberapa tempat khususnya di pulau Jawa.
Selanjutnya situasi umatIslam pada akhir abad pertengahan, baik secara
sosio-politik maupun secara keagamaan (sosio-religius), telah mengalami
kemunduran. Secara politis hampir seluruh wilayah yang dikuasai umat Islam,
satu persatu jatuh ke tangan kaum kolonialis dan imperialis Barat. Mesir
misalnya sebagai pusat pengkajian dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman
jatuh ketangan kolonial Perancis, kemudian ke tangan kolonial Inggris.
Kejatuhan Mesir ini menimbulkan
kesadaran umat Islam, bahwa sebenarnya mereka telah tertinggal jauh dalam
bidang kekuatan politik, militer, ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula
dalam aspek religius, tampak bahwa situasi religius umat Islam pada saat itu
telah mengalami gelombang kelemahan dan kekeruhan, di mana antara kaum ortodok
dan kaum sufi berhadap-hadapan secara konfrontatif. Kondisi ini terus berlanjut
sampai bangkitnya kesadaran keagamaan yang dimiliki oleh segelintir umat Islam.
2.
Masa
Bangkitnya Kesadaran Nasional
Penyebaran dan pengaruh pembaruan
Islam modern ke kepulauan Melayu-Indonesia sejak awal abad ke 20 telah
membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia khususnya umat Islam bangkit dengan
berbagai gerakan-gerakan, baik gerakan politik, maupun gerakan sosial
keagamaan. Sebagaimana yang disinyalir oleh Azyumardi Azra bahwa terdapat
pengaruh kaum sarjana pembaru atau aktifis seperti Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha terhadap berbagai organisasi pembaru atau
modernis Islam Indonesia seperti Sarikat Islam (SI), Muhammadiyah, Persatuan
Islam atau Yong Islamieten Bond.
Masuknya pemikiran pembaharuan baik
yang dibawa oleh ulama yang bermukim di Timur Tengah khususnya yang belajar di
Mekah dan Medinah,maupun melalui media cetak berbahasa Arab seperti al-Urwah,
dan al-Manar yang berasal dari Qairo, al-Imamdari Singapura dan al-Munir di Padang,
Sumatra Barattelah membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia khususnya umat
Islam untuk bangkit melawan kolonialis Belanda yang telah merampas kemerdekaan
bangsa Indonesia dalam berbagai hal selama beratus tahun. Baik kemerdekaan
beragama, berserikat, mengeluarkan pendapat bahkan kemerdekaan dalam mencari
penghidupan (ekonomi) dengan sistem monopoli dagangnya yang dikenal dengan VOC.
Azyumardi Azra
mengatakan bahwa, tidak diragukan lagi media cetak merupakan instrument dalam
penyebaran ide-ide kaum pembaru atau modernis di dunia MelayuIndonesia. Dalam
konteks ini, al-Manar secara signifikan mempengaruhi wacana pembaruan Islam
dikawasan ini. Juga merangsang penerbitan jurnal dengan semangat yang sama di
kepulauan Melayu-Indonesia.
Bermula dari pembaruan
pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul oleh pembaruan
pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam
semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti
Sarikat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persyarikatan
Muhammadiyah di Yogyakarta (1912) Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920),
Nahdatul Ulama (NU) di Surabaya (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di
Bukittinggi (1930); dan parta-partai politik seperti Sarikat Islam (SI) yang
merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang
Panjang (1932) dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.
Memang diakui bahwa
Belanda cukup banyak mewarnai perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Cukup
banyak peristiwa dan pengalaman yang dicatat Belanda sejak awal kedatangannya
di Indonesia, baik sebagai pedagang perorangan kemudian diorganisasi dalam
bentuk kongsi dagang yang bernama VOC, maupun sebagai aparat pemerintah yang
berkuasa dan menjajah. Oleh karena itu wajar kalau kehadiran mereka di bumi
Nusantara selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk pribumi
terutama raja-raja dan tokoh- tokoh agama khususnya agama Islam. Mereka
menyadari bahwa mereka harus berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk
penduduk pribumi yang dikuasainya sebagai penduduk yang mayoritas beragama
Islam.
Diakui bahwa
kedatangan Belanda di satu pihak memang telah membawa kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut tujuannya semata-mata untuk dapat memberi kemudahan bagi politik
kekuasaan dan perdagangannya agar dapat meraup keuntungan tanpa mendatangkan
tenaga-tenaga terampil dari negaranya yang harus memakan biaya yang banyak.
Pada kenyatannya penduduk pribumi tetap tidak menikmati kemajuan teknologi
tersebut bahkan penduduk pribumi benar-benar diperas tenaganya, sumber alamnya
dan lain-lain.
Dengan demikian
pantaslah kalau pemerintah kolonial Belanda berusaha menjalankan politik etis
atau politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah terutama untuk
kalangan bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata bagi kaum
terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia yang berada dalam kemiskinan,
penindasan, kebodohan dan keterbelakangan. Keadaan yang disaksikan oleh bangsa
Indonesia ini menggugah semangat bangsa Indonesia untuk bangun dari tidurnya
untuk menyongsong masa depan yang gemilang yang dikenal dengan Kebangkitan
Nasional.
Perubahan sosial
yang terjadi di Nusantara ialah bahwa perjuangan yang dilaksanakan secara
kedaerahan selama ini, seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Aceh,
pertempuran Hasanuddin dan lainlain, dianggap tidak efektif dalam mengusir
penjajah Belanda. Karena itu perlu disusun suatu kekuatan yang mengikat potensi
yang ada diseluruh tanah air. Kesadaran seperti ini dikenal sebagai kasadaran
nasional, yaitu kesadaran yang menggalang semangat kebangsaan yang meliputi
daerah yang pernah digalang pada zaman Majapahit. Ide seperti ini terkenal
dengan Indonesia Irredenta yaitu semua daerah yang berbahasa Melayu.
Hal ini mendorong
lahirnya organisasiorganisasi sosial seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong
Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes dan lain sebagainya.
Kesadaran umat Islam bahwa mereka tidak mungkin berkompetisi dengan
kekuatankekuatan yang menantang dari pihak kolonial Belanda, Penetrasi Kristen
dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus
melanjutkan kegiatan-kegiatan dengan cara tradisional dalam menegakkan Islam.
Mereka mulai menyadari perlunya Organisasi-organisasi tersebut baik organisasi
Islam maupun organisasi sosial yang didirikan oleh kaum terpelajar menandakan
tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Kedua tipe
organisasi itu bahu membahu dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air meskipun
terjadi persaingan ketat antara keduanya.
Kesadaran umat Islam
bahwa mereka tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatankekuatan yang menantang
dari pihak kolonial Belanda, Penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di
bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan-kegiatan
dengan cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya
perubahan-perubahan pendekatan terhadap perjuangan Islam. Dalam konteks perjuangan
di Indonesia menurut Deliar Noer, pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar
yaitug pendidikan dan sosial di satu pihak dan gerakan politik dipihak lain.
Sekarang yang perlu
mendapat sorotan adalah semangat Islam yang mendorong serta mendasari
perjuangan umat Islam Indonesia. Patut diketahui bahwa perjuangan untuk meretas
belenggu penjajahan disebahagian besar daratan Eropa dan Asia diilhami oleh
revolusi Perancis atas pengaruh dari tulisan-tulisan Montesquieu (1689-1755),
Voltaire (1694-1778) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1788). Dari tulisantulisan
mereka inilah perjuangan di kalangan lapisan masyarakat Perancis mencapai
puncaknya pada tanggal 4 Juli 1789 yang dikenal denganRevolusi Perancis.
Revolusi ini berakibat pada seluruh negeri Eropa seperti Jerman, Inggris
Belanda, Roma, Cekoslawakia dan sebagainya. Diantara Negara-negara tersebut ada
yang berhasil dan ada pula yang gagal.
C.
Peradaban
Islam di Indonesia pada Zaman Pendudukan
Jepang
Masa peralihan kekuasaan Jepang (1942- 1945) memberikan
kepada Islam tempat langsung dalam politik kemerdekaan dan Islam tetap berada
di pusat politik Indonesia selama setengah abad yang lalu. Namun demikian,
dalam hal konstitusi formal, kedudukan Islam selalu berada di pinggiran
ketimbang di pusat.
Menurut John L. Ekssposito, dalam
dekade-dekade sebelum perang dunia ke II, dan selama pendudukan Jepang, peran
Islam dalam politik dalam negeri melemah, pertama akibat tantangan nasionalisme
sekular dan penindasan Belanda;kedua akibat kecurigaan Jepang atas loyalitas
politik muslim.
Akibat melemahnya peran politik
Islam, maka SI mulai bubar pada tahun 1920 M. karena buruknya adminitrasi
internal dan diperparah dengan adanya pertentangan-pertentangan antara kubu
Islam dan komunis, akhirnya SI tergeser oleh partai-partai sekuler. Sepenjang
tahun-tahun ini, kekuatan politik Islam retak akibat pertentangan religius
diantara mereka dan akhirnya membentuk partai-partai yang saling bersaing. Pada
tahun 1926, lahirlah NU sebagai partai tradisionalis untuk menandingi partai
reformis SI dan terhadap hal-hal yang dipandang merusak kekuatan ulama.
Selanjutnya pada era pasca perang partai-partai semakin dibatasi sehingga dalam
kevakuman ini yang berperan adalah kelompok-kelompok organisasi non politik
seperti Muhammadiyah.
Di sisi lain nampaknya Jepang
mengambil posisi ambivalen terhadap Islam. Disatu pihak Jepang menggalang
dukungan publik dengan memperjuangkan Islam terhadap Belanda Kristen, namun
begitu berkuasa, fokus utama Jepang adalah mengalihkan loyalitas orang Islam
dari Timur Tengah ke Asia Timur. Konsep persatuan Islam tidak selaras dengan
upaya Jepang mempromosikan kepadamasyarakat Makmur Asia Timur Raya, akhirnya
ketika memasuki masa-masa kemerdekaan pemimpin gerakan nasionalis terjerumus
dalam kekuatan sekuler dan bukan sebagai kekuatan Islam yang bersatu.
John L Esposito, Badri Yatim
menjelaskan bahwa ketika Jepang datang menduduki Indonesia, partai yang tadinya
sudah mulai melemah pada pemerintahan kolonial Belanda, kembali diakomodasi
oleh Jepang. Jepang lebih mengakomodasi partai Islam dan Nasionalis “sekular”
ketimbang kalangan tradisionalis (raja dan bangsawan). Hal ini dilakukan Jepang
karena meyakini bahwa dengan mengakomodasi kalangan Islam, maka kekuatan massa
akan diperoleh dan hanya dengan pendekatan agama penduduk Indonesia dapat
dimobilisasi. Hal ini dilakukan Jepang dengan maksud menunjang tujuan perang.
Sekalipun Jepang tidak suka berhubungan dengan pemimpin parpol Islam,namun
Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah organisasi baru untuk
membina ulama dan umat Islam.Untuk mewujudkan maksud tersebut, maka dibentuklah
Kantor Urusan agama. Selain itu dibentuk pula semboyan tiga A (Nippon pemimpin,
pelindung dan cahaya Asia) yang dipimpin oleh Shimizu dari Jepang dan Samsuddin
dari Indonesia.
Menurut Ira L. Lapidus, pendudukan
Jepang yang dimulai pada tahun 1942-1945 memberikan dukungan yang sangat besar
kepada kaum muslim. Jepang menghancurkan kelompok aristokrasi lama dan secara
cepat membawa pergerakan muslim ke dalam penguasaan mereka. Meskipun mereka
membubarkan beberapa partai politik, namun mereka membiarkan organisasi
kemasyarakatan seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama mengelola pendididikan
Muslim setingkat SMP. Mereka juga membentuk Milisi Muslim dengan lambang bulan
sabit dan matahari terbit yang melambangkan perjuanagn jihad bersama Jepang
dalam menghadapi kekuatan Barat. Sejumlah kursus pelatihan tertentu yang
diperuntukkan bagi kyai dan intelektual didirikan. Pada tahun 1943 Jepang
mendirikan Masyumi untuk menyatukan dan mengkoordinir seluruh pergerakan
muslimin.
Selanjutnya di bawah naungan masyumi,
Jepang membangun birokrasi keagamaan yang dikelola oleh pihak muslim untuk
menghubungkan pemerintahan pusat dengan daerah pedalaman. Sebuah koalisi muslim
yang terdiri atas kelas pedagang menengah, petani yang kaya raya dan ulama
kampung dimaksudkan untuk memobilisasi kerjasama dengan pihak Jepang. Tindakan
yang dilakukan Jepang untuk mendekati kaum muslimin menurut Ahmad Mansur
Suryanegara sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, hanya menginginkan
kerjasama untuk mencapai maksudnya yaitu (a)menanamkan semangat Nippon, (b)
menumbuhkan loyalitas ulama kepada Jepang, (c)meyakinkan kebencian ulama
terhadap sekutu, (d) perang Asia Timur Raya adalah perang suci, dan (e)
menanamkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan
satu ras.
D. Keadaan Agama Dan Kekuatan Politik Masa
Kolonialisme
Islam
di Indonesia, sejak kedatangannya sudah memainkan peranan politik dan ideologis
yang sangat penting dan menentukan bagi jalannya sejarah Indonesia. Pentingnya
arti politik Islam di Indonesia, sebagian besar berakar pada kenyataan bahwa di
dalam Islam batas antara agama dan politik sangatlah tipis. Islam adalah
sebagai Way of Life dan agama; dan meskipun di Indonesia proses pengislaman
merupakan suatu proses setahap demi setahap, namun kandungan politik yang ada
di dalamnya sudah terasa sejak awal perkembangannya.
Berkembangnya
agama Islam di kepulauan Nusantara berlangsung selama beberapa abad, hal ini
merupakan suatu proses yang terus-menerus hingga sekarang belum selesai.
Rupanya sudah sejak awal abad ke-13 berdiri suatu kerajaan Islam di pintu gerbang
Indonesia utara pulau Sumatera. Lalu menyusul dinasti-dinasti yang memerintah
pulau tersebut memeluk agama Islam, di antaranya Aceh yang memainkan peranan
penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Sekitar permulaan abad ke-15, Islam
telah memperkuat kedudukannya di Malaka yang merupakan pusat rute perdagangan
Asia Tenggara. Dari sini Islam melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah Indonesia
lainnya, sehingga sampai permulaan abad ke-17, secara geografis Islam telah
menguasai sebagian besar kepulauan Indonesia.
Oleh
H.J. Benda dianggap bahwa kemenangan Islam ini luar biasa, sebab pembawa agama
Islam ke Indonesia bukanlah para penakluk yang menyebarkan Islam dengan
kekerasan seperti di bagian dunia lainnya, melainkan para pedagang muslim dari
India yang bersemangat damai. Mereka datang ke Indonesia karena tertarik oleh
perdagangan rempah-rempah di Indonesia yang banyak memberikan keuntungan.
Dimulai dengan membentuk koloni-koloni dagang Islam di daerah hulu sungai dan
kota-kota pesisir kepulauan Indonesia, lalu berkembang menjadi vassal-vasal
Islam yang seringkali terkenal karena kekayaan dan semangat dakwahnya yang
tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong para aristokrat Indonesia tertarik
kepada Islam. Bagi golongan ini, memeluk agama Islam menjadi menarik secara
ekonomis dan menguntungkan secara politis. Ini berarti bahwamenganut Islam
merupakan senjata bagi mereka untuk menghadapi musuh baik dari luar maupun dari
dalam.
Dengan
demikian, gelombang pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, bukan saja
mampu memasuki pola sosial Indonesia, namun lebih dari itu Islam mampu
memainkan peranan politik yang penting dan menentukan di Indonesia. Gelombang
itu datangnya terutama dari pusat-pusat Islam yang secara cepat dan potensial
menjadi basis anti penjajah
Masuknya
bangsa-bangsa Barat ke Indonesia, menghadapi kenyataan bahwa Islam telah
menjadi kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Meskipun masuknya Islam
tidak dengan sendirinya mempersatukan perlawanan orang Indonesia terhadap
bangsa-bangsa Barat, kebanyakan perlawanan yang dijumpai menggumpal sekitar
umat Islam. Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, ideologi Islam memang
merupakan kekuatan sosial yang besar sekali dalam mengadakan perlawanan
terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar seperti Perang Paderi dan Perang
Aceh, maupun pemberontakanpemberontakan petani seperti peristiwa Cilegon dan
Cimareme, kesemuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan dijiwai oleh ideologi
Islam.
Walaupun
orang Islam Indonesia kepercayaannya masih banyak bercampur dengan kepercayaan
Animisme, Hindu dan Budha, mereka tetap menganggap bahwa agamanya merupakan
alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain. Dalam kenyataannya
memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik pusat identitas yang
melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing. Maka dari itu
tidak mengherankan apabila seorang Belanda yang simpati terhadap perjuangan
bangsa Indonesia, yaitu Dr. Dowes Dekker pernah berkata: “Kalau tidak ada
semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari
bumi Indonesia.”
v Mengenal Snouck Hurgronye sebagai Peletak
Dasar Politik Kolonial Belanda
Sampai akhir
abad ke-19 Belanda telah kaya dengan pengalaman pahit dalam menghadapi kekuatan
Islam di Indonesia. Sejak kedatangannya pada akhir abad ke-16 di Indonesia,
Belanda senantiasa menghadapi kenyataan bahwa Islam selalu menjadi penghalang
cita-citanya. Hal ini tidak mengherankan, sebab sebagian besar penduduk daerah
yang dijajahnya di kepulauan Indonesia ini beragama Islam, motif aneka
perlawanan terhadapnya, bagaimana pun jarang terlepas dari kaitan ajaran agama
ini. Sejarah telah membuktikan selama abad ke-19 saja, Kolonial Belanda cukup
sibuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan
sebagai “perang sabil” atas nama Islam. Tercatat pemberontakan-pemberontakan
yang terkenal pada abad ini antara lain, Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera
Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan yang terlama adalah
Perang Aceh dari tahun 1871-1912.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut
cukup membahayakan dan sempat mengancam kelangsungan hidup penjajahan Belanda
di Indonesia, di samping tidak kecil kerugian-kerugian yang diderita Belanda
karenanya. Maka dari itu wajarlah apabila Belanda yang menginginkan kelestarian
penjajahannya berusaha sekuat tenaga menjinakkan dan sekaligus melumpuhkan
Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia yang dapat membahayakan
penjajahannya di negara tersebut.
Sejalan dengan usahanya untuk menguasai
medan jajahan itulah, Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Hal ini
terbukti dengan diselenggarakannya pendidikan “Indologie” untuk mengenal lebih
jauh seluk-beluk pribumi Indonesia. Melalui usaha tersebut diharapkan bisa
dihasilkan pegawai-pegawai yang cakap dalam mengurus dan mengendalikan
administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia. Kebijaksanaan Kolonial Belanda
dalam menangani masalah Islam ini, sering disebut dengan istilah “Islam
Politiek”, yakni kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola
masalah-masalah Islam di Indonesia. Untuk ini Christian Snouck Hurgronje
dipandang sebagai peletak dasarnya.
C.S. Hurgronje adalah anak seorang Pastur
Gereja Gereformeerd (Calvinist), ia lahir pada tanggal 8 Februari 1857. Pada
usia 18 tahun ia masuk Fakultas Theologi Leiden. Setelah lulus kandidat examen,
kemudian ia pindah ke Fakultas Sastra jurusan Arab. Setelah berhasil meraih
gelar Doktor dalam bidang Sastra Semit (1880) ia menjadi dosen di Leiden, dalam
Institut yang mempersiapkan pegawaipegawai Belanda untuk Indonesia (Indologie).
Jabatan tersebut dipegangnya sampai tahun 1887. Selama itu pula ia menyelidiki
Fiqih (Hukum Islam), biografi Nabi Muhammad SAW dan Sejarah Islam.
Pada
tahun 1889, Snouck pergi ke Indonesia dengan tugas meneliti suku Aceh, bahkan
terus menetap di Jakarta untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Kemudian pada
tanggal 15 Maret 1891 ia diangkat menjadi penasehat bahasa-bahasa Timur dan
Hukum Islam, hingga tanggal 11 Januari 1899 ia menjabat sebagai penasehat
urusan Arab dan pribumi.
Sebelum kedatangan Snouck di Indonesia,
kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia tidaklah memiliki
arah yang jelas. Hal ini disebabkan miskinnya pengetahuan Kolonial Belanda
tentang Islam dan Indonesia, atau mungkin “buta” sama sekali. Pada masa itu
kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia, secara tradisional
dibentuk oleh kombinasi yang kontradiktif antara ketakutan dan pengharapan yang
berlebih-lebihan.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perkembangan
Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan secara garis besar dapat dibagi dalam
dua periode yaitu perkembangan Islam sebelum masa kolonialisme Barat dan Jepang
serta perkembangan Islam pada masa kolonialisme Barat dan Jepang. Mengenai awal
masuknya Islam ke Indonesia belum diketahui dengan pasti. Yang jelas bahwa
Islamisasi di Nusantara telah berlangsung sejak abad-abad pertama hijriah lewat
jalur perdagangan dan selanjutnya Islam berkembang melalui beberapa jalur
seperti jalur perkawinan, tasawuf politik dan lain-lain. Dalam proses
Islamisasi terjadi interaksi antara budaya lokal sehingga corak Islam
dibeberapa tempat berjalan sesuai dengan tradisi dan budaya setempat tanpa
mengurangi nilai Islam yang sesungguhnya
2.
Perkembangan
Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan secara garis besar dapat dibagi dalam
dua periode yaitu perkembangan Islam sebelum masa kolonialisme Barat dan Jepang
serta perkembangan Islam pada masa kolonialisme Barat dan Jepang. Mengenai awal
masuknya Islam ke Indonesia belum diketahui dengan pasti. Yang jelas bahwa
Islamisasi di Nusantara telah berlangsung sejak abad-abad pertama hijriah lewat
jalur perdagangan dan selanjutnya Islam berkembang melalui beberapa jalur
seperti jalur perkawinan, tasawuf politik dan lain-lain. Dalam proses
Islamisasi terjadi interaksi antara budaya lokal sehingga corak Islam
dibeberapa tempat berjalan sesuai dengan tradisi dan budaya setempat tanpa
mengurangi nilai Islam yang sesungguhnyaselama berabad-abad dan akhirnya
Belanda mengangkat kaki dari bumi Nusantara tanpa berhasil mengkristenkan
bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia yang cenderung mengakomodasi
umat Islam, melapangkan jalan bagi bangkitnya kembali semangat
pergerakan-pergerakan Islam dan nasionalis baik pergerakan politik ataupun
pergerakan kemasyarakatan. Lewat para tokoh pergerakan inilah ide tentang dasar
negara terbentuk dan akhirnya Indonesia berhasil memproklamirkan kemedekaannya
dengan dasar Pancasila walaupun keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar
Negara tidak tercapai.
3.
Politik
Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia sejak semula diarahkan untuk
melenyapkan pengaruh Islam dari bumi Indonesia, namun terhalang oleh Islam yang
sejak awal perkembangannya sudah menjadi penghalang paling militant bagi
kekuatan-kekuatan asing yang ingin menjajah dan menguasai Indonesia. Untuk itu,
Belanda perlu menguasai seluk-beluk mengenai Islam (khususnya di Indonesia)
agar dapat dengan mudah merumuskan politik yang tepat dalam menghadapi kekuatan
Islam di Indonesia; maka dicetaklah sarjana-sarjana politikus yang ahli tentang
Islam; di antaranya adalah Dr. C. Snouck Hurgronje.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif. Menemukan
Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cet. I, Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, 1998.
Amsyary, Fuad. Islam Kaafah
Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. Cet. I, Jakarta: Gema Insani
Press, 1995.
Azra,Azyumardi. Islam Nusantara:
Jaringan Global dan Lokal. Cet. I, Bandung: Mizan, 2002.
Esposito, John L. Ensiklopedia
Oxpord Dunia Islam Modern, Edisi terjemahan Indonesia. Cet. II, Bandung: Mizan,
2002.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia. Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Hasymy,A. Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia. Cet. III, Bandung: alMa’arif, 1993.
Hidayat, Kamaruddin dan Ahmad Gaus
Af. Menjadi Indonesia, 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Cet. I,
Jakarta: Mizan, 2006.
Abdullah, Taufik (ed.). Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1974.
Ali, A. Mukti. Alam Fikiran Islam
Moderen di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan NIDA, 1971.
Amin, M. Masyhur. HOS Cokroaminoto
dan Kebangunan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Kelompok Studi Batas Kota, 1978.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan
Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Darban, A. Adaby (ed.). Snouck Hurgronje dan
Islam di Indonesia. Yogyakarta: tp., tt. Geert, Clifford. Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya,
1983.
Gottschalk, Louis. Mengerti
Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar