KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji kami panjatkan kepada Allah
Subhanahu Wa’Ta’ala yang telah memberikan kami nikmat sehat dan umur panjang,
serta memberikan kami kemudahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Pengertian
tafsir menurut parah tokoh” dengan baik dan tepat
waktu.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
baginda kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Yang telah membawa
kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti yang kita
rasakan hingga saat ini, dan beliaulah sebagai panutan dan suri tauladan bagi
kita.
Penyusun menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat
kesalahan dan berbagai kekurangan, hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki. Kritik dan saran diperlukan dalam hal ini sehingga
kedepannya penyusun dapat membuat makalah dengan lebih baik lagi.
Hanya kepada Allah kita berharap dan berdo’a, semoga
makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca.
Aamiin.
Kendari, Februari 2022
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Setiap individu yang sudah
berkomitmen di dalam hatinya untuk beriman kepada Allah, dan agama Islam pasti
sudah mengetahui bahwa sebagai hamba Allah SWT dia memiliki tanggung jawab atas
seluruh tindakannya, tidaklah punya pilihan lain kecuali menjalani kehidupannya
dalam segala hal sesuai dengan ketetapan/peraturan dan Hukum Islam.
Hukum Islam merupakan ketetapan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya. Dalam Islam, selain
Al-qur’an dan hadits, ada juga dasar/pokok hukum lain yang dijadikan sebagai
rujukan dalam menetapkan hukum dan keputusan, dasar hukum tersebut di kenal dengan
nama Ijma’ dan Qiyas.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan penulis bahas pada makalah yang berjudul “Ijma’ dan
Qiyas” adalah sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud ijma’ ?
2.
Apa
saja jenis-jenis ijma' ?
3.
Apa
yang dimaksud qiyas ?
4.
Apa
saja jenis-jenis qiyas ?
C.
Tujuan Penulis
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui apa
yang dimaksud ijma’.
2.
Untuk
mengetahui apa
saja jenis-jenis ijma'.
3.
Untuk
mengetahui apa
yang dimaksud qiyas.
4.
Untuk
mengetahui apa
saja jenis-jenis qiyas.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma'
Salah satu penetapan dalam hukum Islam
setelah Al-qur’an dan As-sunnah adalah Ijma' yang memiliki tingkatan
argumentatif dan menempati tempat ketiga dalam sumber hukum islam.
Secara umum, Ijma' menurut istilah ahli
ushul fiqh merupakan kesepakatan seluruh ahli ijtihad dari kaum muslimin dalam
suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum yang tidak ditemukan
dasar hukumnya dalam Al-qur’an dan Hadits.
Adapun ahli
ushul fiqh yang menyampaikan pengertian Ijma' adalah:
1) Imam Al Ghazali
Imam Al ghazali menyatakan bahwa Ijma' merupakan sebuah
kesepakatan dari umat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu perkara atau persoalan
yang berhubungan dengan persoalan agama.
2) Imam Al Subki
Imam Al Subki menyatakan bahwa Ijma' didefinisikan
sebagai suatu kesepakatan dari para mujtahid setelah Nabi Muhammad SAW wafat
dan berkenaan dengan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’.
Sedangkan
dari para ulama yang mencoba menyampaikan pengertian Ijma' adalah:
1. Ali Abdul Razak
Melalui buku yang disusun oleh Ali Abdul Razak yang
bertajuk al Ijma' Fi al Syari’at al Islamiyat. Beliau menerangkan bahwa Ijma'
merupakan kesepakatan dari para mujtahid Islam yang terjadi pada suatu masa dan
atas perkara hukum syara’.
2. Abdul Karim Zaidah
Dalam bukunya yang berjudul al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidah
menjelaskan bahwa Ijma' merupakan kesepakatan dari para mujtahid umat Islam
pada suatu masa mengenai hukum syara’ setelah Rasulullah SAW wafat.
Masih banyak pendapat lain yang
mengemukakan mengenai pengertian dari Ijma', namun yang pasti Ijma' merupakan
kesepakatan para ahli atau para ulama dalam menyelesaikan suatu perkara atau
persoalan yang berkaitan dengan agama Islam.
Menurut Az
Zuhaili dalam Ushul Fiqih Islami, Ijma' baru dianggap sah jika memenuhi
rukun-rukunnya, yaitu:
·
Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.
·
Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.
·
Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syara’ tanpa memandang
negeri, kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika terdapat kesepakatan ulama
Mekkah saja, Irak saja, atau yang lainnya, itu tidak bisa disebut Ijma'.
·
Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pendapatnya secara jelas dan transparan.
·
Sandaran hukum Ijma' adalah Alquran dan hadits Rasulullah SAW.
Dalil
Kehujjahan Ijma'
Hujjah artinya argumentasi yang
kokoh. Terdapat berbagai dalil yang menjadi dasar Ijma'. Salah satunya dalam Q.S
An Nisa : 59
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا
الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ
فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Mengutip dari jurnal Kedudukan Ijma
Sebagai Dalil Hukum Terhadap Fatwa Ekonomi Islam Kontemporer karya Agil Bahsoan,
perintah mentaati ulil amri setelah Allah dan Rasul berarti sama artinya dengan
mematuhi Ijma'. Sebab ulil amri adalah orang-orang yang mengurus kehidupan
umat, yaitu ulama.
Selain Alquran, hadits Rasulullah
SAW juga dijadikan landasan kehujjahan Ijma'. Dari Umar bin Al-Khattab,
Rasulullah bersabda:
“Siapa saja
yang ingin mendapatkan pertengahan Surga, maka ikutilah Jamaah (ummat Islam).
Karena syaithan itu lebih suka bersama orang yang sendiri, dan dia lebih jauh
ketika bersama dua orang.”
Dari
keterangan di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
·
Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW
·
Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin
Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman, dan setelah enam tahun kedua pemerintahan
Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi Ijma' sesuai dengan rukun-rukun
yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu
serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
B.
Jenis-jenis Ijma'
Kemudian untuk jenis Ijma' sendiri,
berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh para ulama ushul fiqh baik klasik
maupun kontemporer. Sepakat bahwa Ijma' terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Al-Ijma' al-Sarih
yaitu suatu Ijma' dimana para ahli ijtihad mengeluarkan
pendapatnya baik dalam lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya
atas pendapat mujtahid lain.
Dimasanya. Ijma’ ini juga disebut Ijma' bayani atau Ijma'
qath’i.
Imam Hafizuddin al-Nasafi menyebut Ijma' sarih ini dengan
Ijma' Qauli. Sedangkan Abdul Wahab Khalaf kadang menyebutnya dengan Ijma'
Hakiki.
2) Ijma' Al Sukuti
Adalah Ijma' yang terjadi ketika para ulama memutuskan untuk diam dimana
diamnya para ulama atau ahli ijtihad ini adalah karena setuju dengan pendapat
yang dikemukakan oleh ahli ijtihad lainnya.
Selain pembagian ijma’ di atas masih
ada ijma’ lain seperti:
1)
Ijma’ salaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu
masalah pada masa tertentu.
2)
Ijma’ ulama
Madinah, yaitu
kesepakatan para ulama Madinah pada masa tertentu.
3)
Ijma’ ulama
Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kuffah tentang suatu
masalah
4)
Ijma’
Khulafaur Rasyidin, yaitu
kesepakan khalifah empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) pada suatu masalah
5)
Ijma’ Ahlu
Bait, yaitu kesepakatan keluarga nabi dalam
suatu masalah.
Adapun Contoh
Ijma'
·
Diadakannya adzan dan iqomah dua kali di sholat Jumat, dan mulai diterapkan
pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan.
·
Diputuskannya untuk membukukan Al Quran dan dilakukan pada masa
kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq.
·
Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi.
·
Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah
Al-Qur’an.
C. Pengertian Qiyas
Pengertian qiyas secara bahasa
merupakan tindakan mengukur sesuatu atas sesuatu lainnya dan kemudian
disamakan. Sedangkan Qiyas menurut istilah ushul fiqih, ialah menyamakan suatu
masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan
Sunnah), karena adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua
masalah itu.
Pada masa sahabat Qiyas itu diartikan
dengan mengembalikan sesuatu kepada tujuan syara’ kepada kaedah-kaedah yang
umum dan kepada illat-illat yang cepat dipahami sehingga tidak diperselisihkan
lagi.
Sedangkan pengertian qiyas menurut
beberapa ahli memang cukup beragam, tidak heran karena antara Ijma' dan qiyas
memang cukup erat atau berdekatan. Sehingga Ijma' yang didefinisikan banyak
ahli juga terjadi pada qiyas.
Berikut
pendapat para ahli dan ulama mengenai definisi qiyas:
1) Abdul Wahab Al
Khallaf
Dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ushul Fiqih, dijelaskan
bahwa qiyas ialah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan
kasus lain yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua itu dalam illat
hukumnya.
2) Menurut Romli
dalam buku Muqaranah Mazahib Fil Ushul menjelaskan bahwa Qiyas secara etimologi (lughawi) diartikan dengan mengukur sesuatu dengan sesuatu yang
lainnya, dan dalam buku Ushul Fiqh yang lain diartikan dengan mengukur dan
mengamalkannya.
3) Muhammad Abdul
Ghani Al Baiqani
Menjelaskan qiyas merupakan hubungan suatu persoalan yang
tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah
disebutkan oleh nash, karena keduanya terdapat pertautan atau hubungan dan
hukumnya adalah illat.
4) Syaikh Muhammad al
Khudari Beik
Disebutkan bahwa qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada
pokok (asal) kepada cabang atau persoalan baru yang tidak disebutkan nashnya
karena adanya pertautan illat pada keduanya.
Imam Syafi’i diketahui menjadi
sebagai mujtahid pertama yang mengemukakan dan menerapkan qiyas. Imam Syafi’i
menjelaskan mengenai sejumlah patokan kaidah dan asas-asasnya. Hanya saja,
mujtahid sebelumnya juga diketahui pernah menggunakan qiyas namun belum membuat
rumusan patokan dan asas.
Sehingga masih banyak proses
penerapan qiyas yang cenderung keliru, karena memang belum ada patokan yang
jelas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i kemudian hadir memberi solusi dengan
merumuskan sejumlah patokan dan asas, supaya penerapannya jelas dan menghindari
terjadinya kesalahan.
Adapun Menurut para ulama ushul,
qiyas itu memerlukan empat unsur utama. Empat unsur ini sering juga disebut
dengan rukun. Berikut ini penjelasan dari masing-masing rukun qiyas dan
contohnya, yaitu:
·
Al-Ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu (األصل)
sebagai hukum yang sudah jelas dengan didasarkan pada nash yang jelas. Dalam
contoh diatas, Air perasan buah kurma dan anggur termasuk contoh al-ashlu.
Sebab pada waktu turunnya ayat haramnya khamar, keduanya adalah khamar yang
dikenal di masa itu.
·
Al-Far'u
Makna al-far'u adalah cabang, sebagai lawan kata dari
al-ashlu di atas. Yang dimaksud dengan al-far'u adalah suatu masalah yang tidak
ditemukan nash hukumnya di dalam Al-Quran atau As-Sunnah secara eksplisit. Dalam contoh kasus khamar di atas, yang
menjadi al-far'u adalah an-nabidz, yaitu perasan dari selain kurma dan anggur,
yang diproses menjadi khamar dengan pengaruh memabukkan.
·
Al-Hukmu
Yang dimaksud dengan al-hukmu adalah hukum syar'i yang
ada dalam nash, dimana hukum itu tersemat pada al-ashlu di atas. Maksudnya
adalah perasan.
·
Al-'Illat
Yang dimaksud dengan al-'illat adalah kesamaan sifat hukum yang terdapat
dalam al-ashlu dan juga pada al-far'u. Dalam contoh di atas, 'illat adalah
benang merah yang menjadi penghubung antara hukum air perasan buah anggur dan
buah kurma dengan air perasan dari semua buah-buahan lainnya, dimana keduanya
sama-sama memabukkan.
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat
bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik
dengan nash ataupun Ijma' dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara
analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi
hukum syar’i.
D. Jenis-jenis Qiyas
Setelah mengetahui pengertian qiyas
yang telah dijelaskan di atas, berikut ini ada beberapa jenis-jenis qiyas yang
perlu anda pahami, yaitu:
1) Qiyas Illat
Yaitu jenis qiyas yang sudah jelas illat dari kedua persoalan yang
dibandingkan atau diukur. Sehingga baik masalah pokok maupun cabang sudah jelas
illatnya, sehingga para ulama secara mutlak akan sepakat mengenai hukum dari
sesuatu yang sedang dibandingkan dan diukur tadi. Misalnya saja hukum mengenai minuman anggur, buah anggur memang
halal namun ketika dibuat menjadi minuman maka akan mengandung alkohol. Alkohol
memberi efek memabukkan sehingga hukum meminumnya sama dengan minuman jenis
lain yang beralkohol, yakni haram atau tidak boleh diminum.
Qiyas Illat kemudian terbagi lagi
menjadi beberapa jenis, misalnya:
1)
Qiyas Jali
Yakni
jenis qiyas yang illat suatu persoalan bisa ditemukan nashnya dan bisa ditarik
kesimpulan nashnya namun bisa juga sebaliknya. Misalnya adalah pada persoalan
larangan untuk menyakiti kedua orang tua dengan perkataan kasar. Hukumnya tidak diperbolehkan sebagaimana
hukum haram (tidak diperbolehkan) untuk menyakiti fisik kedua orang tua tadi
(memukul atau menyakiti secara fisik). Sehingga setiap anak diharuskan untuk
menjaga lisan maupun perbuatan di hadapan orang tua agar tiada menyakiti hati
mereka.
2)
Qiyas Khafi
Yaitu
jenis qiyas yang illat suatu persoalan diambil dari illat masalah pokok. Jadi,
jika hukum asal atau persoalan utamanya adalah haram maka persoalan yang
menjadi cabang pokok tersebut juga haram, demikian jika sebaliknya. Salah satu
contoh jenis qiyas satu ini adalah hukum membunuh manusia, baik dengan benda
yang ringan maupun berat. Dimana hukum keduanya adalah haram atau dilarang,
sebab membunuh adalah kejahatan sekaligus dosa karena mendahului kehendak Allah
SWT dalam menentukan umur makhluk hidup di dunia.
2) Qiyas Dalalah
Yaitu jenis qiyas yang menunjukkan kepada hukum
berdasarkan dalil illat. Bisa juga diartikan sebagai qiyas yang diterapkan
dengan cara mempertemukan pokok dengan cabang berdasarkan dalil illat tadi. Contoh
dari qiyas jenis ini adalah ketika mengqiyaskan nabiz dengan arak, dimana
dasarnya adalah sama-sama mengeluarkan bau yang terdapat pada minuman memabukkan.
3) Qiyas Shabah
Yakni qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok
persoalan hanya untuk penyerupaan. Contohnya sendiri bisa diambil dari yang anak berulang-ulang. Tindakan tersebut
kemudian dibandingkan dengan menyapu lantai memakai sapu. Sehingga didapat
kesamaan yaitu sapu.
Hanya saja untuk qiyas shabah sendiri oleh beberapa
muhaqqiqin mendapat penolakan. Sehingga menjadi jenis qiyas yang terbilang
jarang diterapkan.
A.
Kesimpulan
Ijma' menurut istilah ahli ushul
merupakan kesepakatan seluruh ahli ijtihad dari kaum muslimin dalam suatu masa
sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum yang tidak ditemukan dasar
hukumnya dalam Al-qur’an dan Hadits.
Berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh para ulama ushul fiqh baik klasik
maupun kontemporer. Sepakat bahwa Ijma' terbagi menjadi dua jenis, yaitu Al-Ijma' al-Sarih dan Ijma' Al Sukuti
Qiyas adalah mengukurkan sesuatu
atas lainnya dan mempersamakannya, sedangkan Qiyas menurut istilah adalah
menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
Jenis-jenis qiyas ada 3 yaitu: Qiyas Illat yaitu jenis qiyas yang sudah jelas illat dari kedua
persoalan yang dibandingkan atau diukur,
Qiyas Dalalah
yaitu jenis qiyas yang menunjukkan
kepada hukum berdasarkan dalil illat. dan juga Qiyas Shabah yakni qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok
persoalan hanya untuk penyerupaan.
B. Saran
Mengingat akan hal ini, sangatlah
penting bahwa dalam kehidupan manusia harus mengetahui jelas apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak. Karena itu, jika semua aturan hukum Islam
benar-benar diketahui maka tidak akan ada keraguan sedikit pun mengenai sikap
yang mesti diambil seseorang untuk melaksanakan hukum Islam dalam situasi
tertentu.
Abdul Wahab Al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama).
Ahmad Abdullah Madjid, Mata Kuliah Ushul
Fiqih, (Pasuruan: Garoeda Buana Indah)
Etta Mamang Sangadji, Metodologi
Penelitian (Yogyakarta: Andi, 2010), Cet. Ke-1.
Khudhary Bey, Ushul Fiqih (Jakarta:
Widjaya, 1981), Cet. Ke-8.
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian
Kualitatif Dalam Pendidikan dan
Bimbingan Konseling, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), Cet. Ke-3.
Murtadha Muthahhari, M. Baqir AshShadr,
Pengantar Ushul
Fiqih & Ushul Fiqh Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), Cet. Ke-1.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Cet. Ke-1.
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam
Pembaharuan Hukum Islam Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. Ke-1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar