Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Selasa, 11 Oktober 2022

MAKALAH IJMA’ DAN QIYAS

aldhy purwanto

KATA PENGANTAR

 

 

Alhamdulillah segala puji kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa’Ta’ala yang telah memberikan kami nikmat sehat dan umur panjang, serta memberikan kami kemudahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pengertian tafsir menurut parah tokoh” dengan baik dan tepat waktu.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan hingga saat ini, dan beliaulah sebagai panutan dan suri tauladan bagi kita.

Penyusun menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat kesalahan dan berbagai kekurangan, hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kritik dan saran diperlukan dalam hal ini sehingga kedepannya penyusun dapat membuat makalah dengan lebih baik lagi.

Hanya kepada Allah kita berharap dan berdo’a, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca. Aamiin.

Kendari, Februari 2022

 

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

            Setiap individu yang sudah berkomitmen di dalam hatinya untuk beriman kepada Allah, dan agama Islam pasti sudah mengetahui bahwa sebagai hamba Allah SWT dia memiliki tanggung jawab atas seluruh tindakannya, tidaklah punya pilihan lain kecuali menjalani kehidupannya dalam segala hal sesuai dengan ketetapan/peraturan dan Hukum Islam.

            Hukum Islam merupakan ketetapan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya. Dalam Islam, selain Al-qur’an dan hadits, ada juga dasar/pokok hukum lain yang dijadikan sebagai rujukan dalam menetapkan hukum dan keputusan, dasar hukum tersebut di kenal dengan nama Ijma’ dan Qiyas.

B. Rumusan Masalah

            Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas pada makalah yang berjudul “Ijma’ dan Qiyas” adalah sebagai berikut :

1.      Apa yang dimaksud ijma’ ?

2.      Apa saja jenis-jenis ijma' ?

3.      Apa yang dimaksud qiyas ?

4.      Apa saja jenis-jenis qiyas ?

 

 

C. Tujuan Penulis

            Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud ijma’.

2.      Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis ijma'.

3.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud qiyas.

4.      Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis qiyas.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijma'

            Salah satu penetapan dalam hukum Islam setelah Al-qur’an dan As-sunnah adalah Ijma' yang memiliki tingkatan argumentatif dan menempati tempat ketiga dalam sumber hukum islam.

            Secara umum, Ijma' menurut istilah ahli ushul fiqh merupakan kesepakatan seluruh ahli ijtihad dari kaum muslimin dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum yang tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al-qur’an dan Hadits.

Adapun ahli ushul fiqh yang menyampaikan pengertian Ijma' adalah:

1)      Imam Al Ghazali

Imam Al ghazali menyatakan bahwa Ijma' merupakan sebuah kesepakatan dari umat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu perkara atau persoalan yang berhubungan dengan persoalan agama.

2)      Imam Al Subki

Imam Al Subki menyatakan bahwa Ijma' didefinisikan sebagai suatu kesepakatan dari para mujtahid setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan berkenaan dengan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’.

 

 

 

Sedangkan dari para ulama yang mencoba menyampaikan pengertian Ijma' adalah:

1.      Ali Abdul Razak

Melalui buku yang disusun oleh Ali Abdul Razak yang bertajuk al Ijma' Fi al Syari’at al Islamiyat. Beliau menerangkan bahwa Ijma' merupakan kesepakatan dari para mujtahid Islam yang terjadi pada suatu masa dan atas perkara hukum syara’.

2.      Abdul Karim Zaidah

Dalam bukunya yang berjudul al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidah menjelaskan bahwa Ijma' merupakan kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada suatu masa mengenai hukum syara’ setelah Rasulullah SAW wafat.

            Masih banyak pendapat lain yang mengemukakan mengenai pengertian dari Ijma', namun yang pasti Ijma' merupakan kesepakatan para ahli atau para ulama dalam menyelesaikan suatu perkara atau persoalan yang berkaitan dengan agama Islam.

Menurut Az Zuhaili dalam Ushul Fiqih Islami, Ijma' baru dianggap sah jika memenuhi rukun-rukunnya, yaitu:

·         Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.

·         Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.

·         Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syara’ tanpa memandang negeri, kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika terdapat kesepakatan ulama Mekkah saja, Irak saja, atau yang lainnya, itu tidak bisa disebut Ijma'.

·         Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya secara jelas dan transparan.

·         Sandaran hukum Ijma' adalah Alquran dan hadits Rasulullah SAW.

 

Dalil Kehujjahan Ijma'

            Hujjah artinya argumentasi yang kokoh. Terdapat berbagai dalil yang menjadi dasar Ijma'. Salah satunya dalam Q.S An Nisa : 59

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

 Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

            Mengutip dari jurnal Kedudukan Ijma Sebagai Dalil Hukum Terhadap Fatwa Ekonomi Islam Kontemporer karya Agil Bahsoan, perintah mentaati ulil amri setelah Allah dan Rasul berarti sama artinya dengan mematuhi Ijma'. Sebab ulil amri adalah orang-orang yang mengurus kehidupan umat, yaitu ulama.

            Selain Alquran, hadits Rasulullah SAW juga dijadikan landasan kehujjahan Ijma'. Dari Umar bin Al-Khattab, Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang ingin mendapatkan pertengahan Surga, maka ikutilah Jamaah (ummat Islam). Karena syaithan itu lebih suka bersama orang yang sendiri, dan dia lebih jauh ketika bersama dua orang.”

            Dari keterangan di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut: 

·         Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW

·         Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman, dan  setelah enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi Ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

B. Jenis-jenis Ijma'

            Kemudian untuk jenis Ijma' sendiri, berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh para ulama ushul fiqh baik klasik maupun kontemporer. Sepakat bahwa Ijma' terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1)      Al-Ijma' al-Sarih

yaitu suatu Ijma' dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik dalam lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain.

Dimasanya. Ijma’ ini juga disebut Ijma' bayani atau Ijma' qath’i.

Imam Hafizuddin al-Nasafi menyebut Ijma' sarih ini dengan Ijma' Qauli. Sedangkan Abdul Wahab Khalaf kadang menyebutnya dengan Ijma' Hakiki.

2)      Ijma' Al Sukuti

Adalah Ijma' yang terjadi ketika para ulama memutuskan untuk diam dimana diamnya para ulama atau ahli ijtihad ini adalah karena setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh ahli ijtihad lainnya.

            Selain pembagian ijma’ di atas masih ada ijma’ lain seperti:

1)   Ijma’ salaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada masa tertentu.

2)   Ijma’ ulama Madinah, yaitu kesepakatan para ulama Madinah pada masa tertentu.

3)   Ijma’ ulama Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kuffah tentang suatu masalah

4)   Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu kesepakan khalifah empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) pada suatu  masalah

5)   Ijma’ Ahlu Bait, yaitu kesepakatan keluarga nabi dalam suatu masalah.

Adapun Contoh Ijma' 

·         Diadakannya adzan dan iqomah dua kali di sholat Jumat, dan mulai diterapkan pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan.

·         Diputuskannya untuk membukukan Al Quran dan dilakukan pada masa kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq.

·         Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi.

·         Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.

C.  Pengertian Qiyas

            Pengertian qiyas secara bahasa merupakan tindakan mengukur sesuatu atas sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Sedangkan Qiyas menurut istilah ushul fiqih, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan Sunnah), karena adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu.       

            Pada masa sahabat Qiyas itu diartikan dengan mengembalikan sesuatu kepada tujuan syara’ kepada kaedah-kaedah yang umum dan kepada illat-illat yang cepat dipahami sehingga tidak diperselisihkan lagi.

            Sedangkan pengertian qiyas menurut beberapa ahli memang cukup beragam, tidak heran karena antara Ijma' dan qiyas memang cukup erat atau berdekatan. Sehingga Ijma' yang didefinisikan banyak ahli juga terjadi pada qiyas.

Berikut pendapat para ahli dan ulama mengenai definisi qiyas:

1)      Abdul Wahab Al Khallaf

Dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ushul Fiqih, dijelaskan bahwa qiyas ialah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan kasus lain yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.

2)      Menurut Romli

dalam buku  Muqaranah Mazahib Fil Ushul menjelaskan bahwa Qiyas secara etimologi (lughawi) diartikan dengan mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dan dalam buku Ushul Fiqh yang lain diartikan dengan mengukur dan mengamalkannya.

3)      Muhammad Abdul Ghani Al Baiqani

Menjelaskan qiyas merupakan hubungan suatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena keduanya terdapat pertautan atau hubungan dan hukumnya adalah illat.

4)      Syaikh Muhammad al Khudari Beik

Disebutkan bahwa qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang atau persoalan baru yang tidak disebutkan nashnya karena adanya pertautan illat pada keduanya.

            Imam Syafi’i diketahui menjadi sebagai mujtahid pertama yang mengemukakan dan menerapkan qiyas. Imam Syafi’i menjelaskan mengenai sejumlah patokan kaidah dan asas-asasnya. Hanya saja, mujtahid sebelumnya juga diketahui pernah menggunakan qiyas namun belum membuat rumusan patokan dan asas.

            Sehingga masih banyak proses penerapan qiyas yang cenderung keliru, karena memang belum ada patokan yang jelas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i kemudian hadir memberi solusi dengan merumuskan sejumlah patokan dan asas, supaya penerapannya jelas dan menghindari terjadinya kesalahan.

            Adapun Menurut para ulama ushul, qiyas itu memerlukan empat unsur utama. Empat unsur ini sering juga disebut dengan rukun. Berikut ini penjelasan dari masing-masing rukun qiyas dan contohnya, yaitu:

·         Al-Ashlu

Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu (األصل) sebagai hukum yang sudah jelas dengan didasarkan pada nash yang jelas. Dalam contoh diatas, Air perasan buah kurma dan anggur termasuk contoh al-ashlu. Sebab pada waktu turunnya ayat haramnya khamar, keduanya adalah khamar yang dikenal di masa itu.

·         Al-Far'u

Makna al-far'u adalah cabang, sebagai lawan kata dari al-ashlu di atas. Yang dimaksud dengan al-far'u adalah suatu masalah yang tidak ditemukan nash hukumnya di dalam Al-Quran atau As-Sunnah secara eksplisit.  Dalam contoh kasus khamar di atas, yang menjadi al-far'u adalah an-nabidz, yaitu perasan dari selain kurma dan anggur, yang diproses menjadi khamar dengan pengaruh memabukkan.

·         Al-Hukmu

Yang dimaksud dengan al-hukmu adalah hukum syar'i yang ada dalam nash, dimana hukum itu tersemat pada al-ashlu di atas. Maksudnya adalah perasan.

·         Al-'Illat

Yang dimaksud dengan al-'illat adalah kesamaan sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu dan juga pada al-far'u. Dalam contoh di atas, 'illat adalah benang merah yang menjadi penghubung antara hukum air perasan buah anggur dan buah kurma dengan air perasan dari semua buah-buahan lainnya, dimana keduanya sama-sama memabukkan.

            Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun Ijma' dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.

 

D. Jenis-jenis Qiyas

            Setelah mengetahui pengertian qiyas yang telah dijelaskan di atas, berikut ini ada beberapa jenis-jenis qiyas yang perlu anda pahami, yaitu:

1)      Qiyas Illat

Yaitu jenis qiyas yang sudah jelas illat dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur. Sehingga baik masalah pokok maupun cabang sudah jelas illatnya, sehingga para ulama secara mutlak akan sepakat mengenai hukum dari sesuatu yang sedang dibandingkan dan diukur tadi. Misalnya saja hukum mengenai minuman anggur, buah anggur memang halal namun ketika dibuat menjadi minuman maka akan mengandung alkohol. Alkohol memberi efek memabukkan sehingga hukum meminumnya sama dengan minuman jenis lain yang beralkohol, yakni haram atau tidak boleh diminum.

            Qiyas Illat kemudian terbagi lagi menjadi beberapa jenis, misalnya:

1)      Qiyas Jali

Yakni jenis qiyas yang illat suatu persoalan bisa ditemukan nashnya dan bisa ditarik kesimpulan nashnya namun bisa juga sebaliknya. Misalnya adalah pada persoalan larangan untuk menyakiti kedua orang tua dengan perkataan kasar.  Hukumnya tidak diperbolehkan sebagaimana hukum haram (tidak diperbolehkan) untuk menyakiti fisik kedua orang tua tadi (memukul atau menyakiti secara fisik). Sehingga setiap anak diharuskan untuk menjaga lisan maupun perbuatan di hadapan orang tua agar tiada menyakiti hati mereka.

2)      Qiyas Khafi

Yaitu jenis qiyas yang illat suatu persoalan diambil dari illat masalah pokok. Jadi, jika hukum asal atau persoalan utamanya adalah haram maka persoalan yang menjadi cabang pokok tersebut juga haram, demikian jika sebaliknya. Salah satu contoh jenis qiyas satu ini adalah hukum membunuh manusia, baik dengan benda yang ringan maupun berat. Dimana hukum keduanya adalah haram atau dilarang, sebab membunuh adalah kejahatan sekaligus dosa karena mendahului kehendak Allah SWT dalam menentukan umur makhluk hidup di dunia.

 

 

2)      Qiyas Dalalah

Yaitu jenis qiyas yang menunjukkan kepada hukum berdasarkan dalil illat. Bisa juga diartikan sebagai qiyas yang diterapkan dengan cara mempertemukan pokok dengan cabang berdasarkan dalil illat tadi. Contoh dari qiyas jenis ini adalah ketika mengqiyaskan nabiz dengan arak, dimana dasarnya adalah sama-sama mengeluarkan bau yang terdapat pada minuman memabukkan.

3)      Qiyas Shabah

Yakni qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok persoalan hanya untuk penyerupaan. Contohnya sendiri bisa diambil dari yang   anak berulang-ulang. Tindakan tersebut kemudian dibandingkan dengan menyapu lantai memakai sapu. Sehingga didapat kesamaan yaitu sapu.

Hanya saja untuk qiyas shabah sendiri oleh beberapa muhaqqiqin mendapat penolakan. Sehingga menjadi jenis qiyas yang terbilang jarang diterapkan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Ijma' menurut istilah ahli ushul merupakan kesepakatan seluruh ahli ijtihad dari kaum muslimin dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum yang tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al-qur’an dan Hadits.

Berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh para ulama ushul fiqh baik klasik maupun kontemporer. Sepakat bahwa Ijma' terbagi menjadi dua jenis, yaitu Al-Ijma' al-Sarih dan Ijma' Al Sukuti

            Qiyas adalah mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya, sedangkan Qiyas menurut istilah adalah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.

            Jenis-jenis qiyas ada 3 yaitu: Qiyas Illat yaitu jenis qiyas yang sudah jelas illat dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur, Qiyas Dalalah yaitu jenis qiyas yang menunjukkan kepada hukum berdasarkan dalil illat. dan juga Qiyas Shabah yakni qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok persoalan hanya untuk penyerupaan.

 

B. Saran

            Mengingat akan hal ini, sangatlah penting bahwa dalam kehidupan manusia harus mengetahui jelas apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Karena itu, jika semua aturan hukum Islam benar-benar diketahui maka tidak akan ada keraguan sedikit pun mengenai sikap yang mesti diambil seseorang untuk melaksanakan hukum Islam dalam situasi tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Wahab Al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama).

 

Ahmad Abdullah Madjid, Mata Kuliah Ushul Fiqih, (Pasuruan: Garoeda Buana Indah)

 

Etta Mamang Sangadji, Metodologi Penelitian (Yogyakarta:            Andi, 2010), Cet. Ke-1.

 

Khudhary Bey, Ushul Fiqih (Jakarta: Widjaya, 1981), Cet. Ke-8.

 

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif  Dalam Pendidikan dan Bimbingan Konseling, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet. Ke-3.

 

Murtadha Muthahhari, M. Baqir AshShadr, Pengantar Ushul Fiqih & Ushul        Fiqh    Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), Cet. Ke-1.

 

Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Cet. Ke-1.

 

Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. Ke-1.

 

 


Tidak ada komentar: