KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil'alamin,segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah menganugerahkan keimanan,
keislaman,kesehatan,dan kesempatan sehingga penulis dapat menyusun makalah
dengan judul “Gadai dalam Tinjauan Fikih” ini dengan baik.
Puji syukur diucapkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.Karena Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai
pihak yang telah berkontribusi secara maksimal.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa memberikan tambahan wawasan ilmu tentang
apa yang dibahas dalam makalah ini.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Syari’at Islam memerintahkan umatnya
agar saling tolongmenolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan
dengan cara pemberian atau pinjaman- Dalam pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan
kreditur atau orang yang memlwrikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan-
Oleh sebab itu, pihak kreditur meminta barang kepada debitur sebagai jaminan
atas pinjaman yang telah kepadanya.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang berutang atas suatu
barang bergerak atau tidak bergerak ( motor,mobil,tanah sawah, rumah ) yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas
namanya, dan memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada
orang-orang yang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang
barang tersebut. Dimana seseorang itu harus menggadaikan barangnya untuk
mendapatkan uang.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan
barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan
barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara
nasabah dengan lembaga gadai.
Definisi gadai dalam Islam disebut dengan Rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan suatu barang
yang digunakan sebagai jaminan atau tanggungan utang. Rahn juga merupakan suatu akad utang piutang
dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai ekonomis menurut pandangan syara’
sebagai jaminan, shingga pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Gadai-menggadai
sudah merupakan kebiasaan zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat
kebiasaan. Gadai telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Dan Rasulullah pun telah
mempraktikkannya.Tidak hanya
ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih hingga sekarang. Terbukti
dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam itu seperti
Pegadaian dan muncul pula Pegadaian Syariâh- Di dalam Islam, itu tidak
dilarang, namun harus dengan Syariât Islam, tidak memungut bunga dalam praktik
yang dijalankan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa itu Gadai?
2.
Bagaimana Hukum Gadai ?
3.
Berapa Lama Jangka Waktu dalam Akad Gadai?
4.
Apa Rukun Gadai?
5.
Apa Syarat Gadai?
6.
Apa Manfaat Akad Gadai?
7.
Bagaimana Menjaga Barang Gadai?
8.
Bagaimana Hukum Memanfaatkan Barang Gadai?
9.
Bagaimana Penyelesaian dalam Akad Gadai?
10.
Apa Perbedaan Penggadaian Syariah VS Penggadaian Konvensional?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Definisi Gadai
2.
Mengetahui Bagaimana itu Hukum Gadai
3.
Untuk Mengetahui Berapa Lama Jangka Waktu dalam Akad Gadai
4.
Untuk Mengetahui Apa Saja Rukun Gadai
5.
Untuk Mengetahui Apa Saja Syarat Gadai
6.
Mengetahui Apa Manfaat Akad Gadai
7.
Mengetahui Bagaimana Menjaga Barang Gadai
8.
Mengetahui Bagaimana Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
9.
Mengetahui Bagaimana Penyelesaian dalam Akad Gadai
10.
Untuk Mengetahui Perbedaan Penggadaian Syariah VS Penggadaian
Konvensional
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Gadai
Gadai dikenal dalam Fiqih- Fiqih
Klasik disebut rahn, dalam bahasa mempunyai arti menggadaikan atau
jaminan”.,[1] Secara etimologi rahn
berarti tetap atau lestari, Rahn dapat disamakan dengan al-habsu mempunyai arti
penahanan”.[2]
dalam menyerahkan pinjaman uang, dengan diberi beban kewajiban “tambahan” pada
waktu mengembalikan sebagai pengganti “waktu” yang telah diserahkan memberatkan
pihak peminjam”.[3]
Berdasarkan pendapat Wahbah Zuhaili, beberapa imam madzhab memberi
Definisi terkait gadai, dan hampir sama dari berbagai pendapat mereka,
diantaranya, ialah:
a.
Berdasarkan pendapat Imam Syafi’i: gadai yang menjadikan suatu
benda sebagai jaminan untuk utang, dimana utang tersebut bisa dilunasi
(dibayar) dari benda (jaminan)
b.
Berdasarkan pendapat Imam Hambali: harta yang dijadikan sebagai
jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya, bilamana terjadi
kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang berutang.
c.
Berdasarkan pendapat Imam Maliki: harta yang diambil dari
pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi
tetap”.[4]
Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa: rahn ialah
mejadikan barang yang memiliki nilai harta sebagai jaminan utang, sehingga
orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau bisa mengambil sebagian
(manfaat) barangnya itu”.[5]
Sedangkan akad utang piutang yang disertai dengan jaminan Sesuatu
yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan
disebut rahin. Sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahim.
Dalam fiqh sunnah Gadai ialah : “Menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara” sebagai jaminan hutang, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil (manfaat) barang
itu”.[6]
Berdasarkan pendapat al-Imam Abu Zakaria al-Anshari, ialah:
“Menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari
suatu utang yang dapat dibayar sebagai kepercayaandari suatu utang yang
dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar”.[7]
Dari berbagai Definisi gadai diatas dapat disimpulkan bahwa: gadai
ialah menahan barang yang lembaga, sehingga murtahin mendapatkan jaminan untuk
diambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai tersebut,
bilamana pihak rahin tidak bisa membayar utang saat waktu yang sudah disepakati
oleh kedua pihak.
B.
Dasar Hukum Gadai
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat
Al-Qur’an,Hadist Nabi Muhammad SAW,Ijma’,Ulama dan Fatwa MUI.
1.
Al-Qur’an
Q.S Al-Baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar membangun
konsep gadai adalah sebagai berikut.
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ
ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا
فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya;dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Syek Muhammad Ali As-Sayis
berpendapat bahwa al-qur’an diatas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian bila seseorang melakukan transaksi utang piutang yang memakai
jangka waktu dengan orang lain, dengan cara meminjamkan sebuah barang kepada
orang yang berpiutang (Rahn).
2.
Hadis Nabi Muhammad SAW.
Dasar hukum yang kedua untuk
dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai/syariah adalah hadis Nabi
Muhammad SAW. Yang antara lain diungkapkan sebagai berikut.
a)
Hadis Aisyah Ra. Yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيٍ
“Dari
Aisyah berkata : Rasulullah saw membeli makanan
dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ
يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
“Dari
Anas ra bahwasan ya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh
Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah
ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR. Anas r.a)
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ
اَلدَّرّيُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
“Dari Abu Hurairah ra.
Rasulullah saw. bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya
boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan
biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum
oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada
orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.” (HR.
Bukhari).
وَعَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا
يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ
غُرْمُهُ رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا
أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَالُه
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu’anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda
Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya
dan kerugiannya menjadi tanggungannya.”
(Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang
dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu
mursal).
3. Ijma’ Ulama
Jumhur ulama
menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud berdasarkan pada kisah
Nabi Muhammad, SAW. Yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makakanan
dari seorang yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh nabi
tersebut. Ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para
sahabat yang kaya kepada seorang yahudi, bahwa itu tidak lebih sebagai sikap
Nabi Muhammad SAW. Yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan
mengambil ataupun harga yang diberikan Nabi Muhammad SAW peda mereka.Fatwa
Dewan Syariah Nasional
4. Fatwa dewan syariah
nasional majelis ulama indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang
berkenaan gadai syariah,diantaranya dikemukakan sebagai berikut:
a. Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No:25/DSN-MUI/III/2002,tentang rahn;
b. Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No:26/DSN-MUI/III/2002,tentang Rahn Emas;
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia No:09/DSN-MUI/Iv/2000,tentang Pembiayaan Ijarah;
d. Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No:10/DSN-MUI/IV/2000,tentang wakalah;
e. Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No:43/DSN-MUI/VIII/2004,tentang Ganti rugi.
C. Jangka Waktu Dalam
Akad Gadai (Berakhirnya Akad Gadai)
Menurut ketentuan syariah bahwa
apabila masa yang telah untuk membayar utang telah terlewati masa dia yang
berhutang tidak punya kemampuan untuk mengembalikan pinjaman hendaklah ia
memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian.[8]
Apabila
pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan
dari yang seharusnya dibayar oleh penggadai tersebut, maka kelebihan tersebut
harus diberikan kepada penggadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian tersebut
telah dijual dan ternyata belum melunasi hutang penggadai, maka penggadai
tersebut masi punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.
D. Rukun Gadai
Rukun akad rahn terdiri atas rahin
(orang yang menyerahkan barang), murtahin (penerima barang), marhun/rahn
(barang yang di gadaikan) dan marhun bih (hutang) serta ijab qabul,
adapun rukun merepukan tindak lanjut dari ijab dan qabul”.[9] Gadai atau pinjaman dengan
jaminan benda memiliki beberapa rukun, diantaranya, Ialah :
a)
Orang yang berakad (Aqid) ada dua macam, diantaranya ialah:
1)
Yang menggadai (Rahin)
2)
Orang yang menerima gadai (Murtahin).
b)
Ma qud ‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal :
1)
Barang pegadaian atau yang digadaikan (Marhun)
2)
Hutang yang karenanya diadakan gadai (Dain Marhun biih,)
c)
Akad gadai (Sighat).
E. Syarat
Gadai
Syarat- syarat Gadai diantaranya
ialah:
a.
Pemberi ( Rahin ) dan penerima ( murtahin ) gadai,
keduanya melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at
Islam yakni baligh dan berakal.
b.
Sighat,
diantaranya ialah:
1)
Sighat tidak
boleh terikat dengan syarat-syarat tertentu.
2)
Pemberian utang misalnya: hal ini dapat dismakan dengan akad jual
beli.
3)
Marhun bih
(utang) utang yang tidak boleh bertambah atau yang mempunyai bunga, sebab
seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian
tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan
perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam”.[10]
Berdasarkan konsensus ulama’ fiqh
menjelaskan syarat-syarat ar-rahn disesuaikan dengan rukun ar-rahn. Sedangkan
syarat-syarat ar-rahn diantaranya, ialah:
a.
Pemberi ( Rahin ) dan penerima ( murtahin ) gadai
baligh dan berakal, Hanafiyah kontradiksi persepsi dengan menyatakan: kedua
belah pihak yang berakal tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja.
Oleh sebab itu menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn,
dengan syarat akad rahn yang di lakukan anak kecil yang sudah mumayyiz
ini mendapat persetujuan walinya.
b.
Syarat marhun bih (utang): wajib dikembalikan oleh penerima
( murtahin ) kepada pemberi
( Rahin
), utang itu dapat di lunasi dengan Kredit tersebut, dan utang itu harus
jelas dan tertentu (spesifik)
c.
Syarat marhun (agunan) berdasarkan konsensus mayoritas
Fuqoha’ harus bisa di jual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang, barang
pegadaian harus bernilai dan dapat di manfaatkan sesuai ketentuan hukum islam,
agunan harus jelas dan dapat di tunjukkan, agunan milik sah debitor, barang
pegadaian tidak terkait dengan pihak lain, barang pegadaian harus merupakan
harta yang utuh dan barang pegadaian dapat diserah terimakan kepada pihak lain,
baik materi maupun manfaatnya”.[11]
d.
Berdasarkan pendapat Hanafiah menjelaskan dalam akad menjadi sah
akadnya bilamana penerima ( murtahin ) mensyaratkan tenggang waktu utang
telah habis dan utang belum di bayar, maka ar-rahn itu di perpanjang
satu bulan. Atau pemberi ( Rahin ) mensyaratkan harta benda pegadaian
itu boleh di manfaatkan.
e.
Berdasarkan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbilah: syarat
yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu di bolehkan, tetapi
bilamana syarat itu bertolak belakang dengan sifat akad ar-rahn maka
syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan ar-rahn
satu bulan dan agunan boleh di manfaatkan), termasuk syarat yang ti dak sesuai
dengan ar-rahn sebab syarat itu di hukumi batal. Syarat yang di bolehkan
itu misalnya pemberi ( Rahin ) minta agar akad itu di saksikan oleh dua
orang saksi. Sedangkan syarat yang batal misalnya disyaratkan bahwa agunan itu
tidak boleh di jual ketika ar- rahn itu jatuh tempo, dan orang yang
berhutang tidak mampu membayarnya”.[12]
F.
Manfaat Akad Gadai
Manfaat
yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai berikut :
a.
Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai dan bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
b.
Menberikab keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito,bahwa
dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena
ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c.
Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme penggadaian,sudah
barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana,terutama
yang berada di daerah-daerah.
Adapun manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya
kongkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset
tersebut. Jika penahanan aset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak
sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang
besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.
G.
Menjaga Barang Gadai
Dalam
menjaga barang gadai siapakah yang menanggung risiko bila terjadi kerusakan
barang yang digadaikan? Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqh Muamalah menyatakan,
bahwa menurut Syafi’iyah bila barang gadai atau almarhun hilang dibawah
penguasaan al-murtahin, maka al-murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila
rusak atau hilangnya itu karena kelalaian al-murtahin atau karena disia-siakan.
Umpamanya, al-murtahin bermain-main api lalu barang gadai itu terbakar, atau
gudangnya tidak dikunci lalu barang gadai itu dicuri orang. Konkretnya
al-murtahin diwajibkan memelihara al-marhun secara layak dan wajar. Sebab bila
tidak demikian, ketika adacacatatau kerusakan apalagi hilang menjadi tanggung
jawabal-murtahin.
Dengan mengutip pendapat Hanafi dan
Ahmad Azhar Basyir,Hendi Suhendi wmenyatakan bahwa al-murtahin yang memegang
al- marhun menanggung risiko kerusakan atau kehilangan al-marhun, bila
al-marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian maupun tidak.
Perbedaan
dua pendapat tersebut ialah jika menurut Hanafi al-murtahin harus menanggung
risiko kerusakan atau kehilangan al-marhun yang dipegangnya, baik al-marhun itu
hilang karena disiasiakan atau dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi'iyah
almurttahin menanggung risiko kehilangan atau kerusakan al-marhun bila
al-marhun itu rusak atau hilang karena tidak diurus atau disia-siakan oleh
al-murtahin.
Yang
jelas lepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, menurut penulis demi tertibnya
akad ar-rahn dan tetap terjalinnya silaturahmi dari kedua belah pihak, sudah
selayaknya al-marhun atau barang gadai itu dijaga dengan sebaik-baiknya oleh
al-murtahin.
H.
Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
Para ulama mampunyai perbedaan
pendapat berkenaan pemanfaatan barang gadai,yaitu sebagai berikut.
1)
Pendapat Ulama Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah T
Yanggo dan Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda
gadai(marhun)adalah pemberi gadai(rahin).Walaupun marhun itu
berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).[13]Dasar hukum hal dimakdud
adalah hadis Nabi Muhammad SAW.sebagai berikut.
Pertama,Hadis
Nabi Muhammad SAW,sebagai berikut. Yang artinya:
“Dari
Abu Huraira ra.Berkata bahwasanya rasulullah saw.Bersabda:Barang jaminan itu
dapat air susunya dan ditunggangi/dinaiki.”
Kedua,Hadis
Nabi Muhammad SAW,yang artinya:
“Dari
Abu Huraira nabi muhammad saw.Bersabda:gadaian itu tidak menutup hak yang punya
dari manfaat barang itu,faedahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung
jawabkan segalanya(kerusakan dan biaya) .(HR. Asy-syafi’I dan Ad-Daruqutni).
2)
Pendapat Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat seperti
yang dikutip oleh Muhammad dan Sholikhul Hadi bahwa penerima harta benda gadai(murtahin)hanya
dapat memanfaatkan harta benda barang gadaian atsa izin dari pemberi gadai
dengan persyaratan berikut.
a)
Utang disebabkan dari jual-beli,bukan karna mengutangkan. Hal itu
terjadi seperti orang yang menjual barang dengan harta tangguh,kemudian orang
itu meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal ini
diperbolehkan.
b)
Pihan murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda
gadaian di peruntuhkan pada dirinya.
c)
Jika waktu menggambil manfaat yang telah disyaratkan harus di
tentukan,apabila tidak di tentukan batas waktunya maka menjadi batal.[14]
Pendapat di atas,berdasarkan hadis Rasulullah SAW.Sebagai berikut.
Hadis nabi muhammad saw yang artinya:
“Dari Umar
bahwasanya rasulullah bersabda:hewan seseorang tidak boleh diperas tanpa seizin
pemiliknya”. (HR.
Al-Bukhari)
3)
Pendapat Ulama Hanabilah
Menurut pendapat Hanabilah,
persyaratan dari murtahin untuk menggambil manfaat harta benda gadai yang bukan
berupa hewan adalah:
a)
Ada izin dari pemilik barang,dan
b)
Adanya gadai bukan karena mengutangkan.
Hal ini
berdarkan dalil hukum sebagai berikut.Yang artinya:
“Barang gadai
(marhun dikendarai)oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan atas yang
mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya.” (HR. Al-Bukhari)
4)
Pendapat Ulama Hanafiyah
Menurut
pendapat Ulama Hanafiyah,tidak ada berpedaan antara pemanfaatan barang gadai
yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak.Alasnya adalah hadis muhammad
saw. Sebagai berikut. Yang artinya:
”Dari
Abu Shalih dari Abu Hurairah ra.Berkata,bahwasanya rasulullah
saw.Bersabda:Barang jaminan utang(gadai) dapat ditunggangi dan si peras
susunya,wajib menafkahi.”(HR.
Al-Bukhari).
I.
Penyelesaian Akad Gadai
Untuk menjaga
supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan
syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin
tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun
menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”,sebab kemungkinan pada
waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun
akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus dibayar, yang
mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga
harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih
besar jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar,yang akibatnya merugikan
pihak rahin.
Apabila syarat
seperti diatas diadakan dalam akad gadai,akad gadai itu sah,tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila pada
waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya,
hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin
sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu
dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar
piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar
dari jumlah utang, sisanya dikembalikan pada rahin. Apabila sebaliknya,
harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih
menanggung pembayaran kekurangannya.
J.
Penggadaian syariah VS Penggadaian Konvesional
Apabila membandingkan produk gadai
syariah versi Bank Syariah Mandiri dengan pegadaian konvensional , maka
pegadaian syariah dapat menjadi alternatif bagi orang yang membutuhkan dana
murah , cepat , dan sesuai hukum Islam . Biaya gadai dimaksud , hanya 4 %
selama dua bulan , jauh lebih kecil dari bunga di Perum Pegadaian yang mencapai
14 % per empat bulan . Keabsahan prinsip syariahnya dapat dilihat pada
keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ( DSN – MUI ) No
: 09 / DSN – MUI / IV / 2000 tentang Pembiayaan Ijarah dan Fatwa lainnya yang
berkaitan gadai .[15]
Sebagai ilustrasi mengenai
pembiayaan ijarah , penulis mengemukakan bahwa menjelang perayaan Hari Raya
Idul Fitri 1428 H / 2007 M , bagi umat Islam Indonesia termasuk yang mendiami
wilayah Sulawesi Tengah , ditemukan beberapa orang kepepet butuh uang . Bila
orang dimaksud , ke bank untuk meminjam uang maka pihak bank mempunyai
persyaratan berdasarkan aturan yang dianggap oleh calon peminjam susah untuk
dipenuhinya . Selain itu , mempunyai proses yang lama dan bunganya mencekik
leher . Sudah begitu , belum tentu ada bank yang mau memberi kredit . Akhirnya
, warga masyarakat Islam berbondong – bondong pergi berurusan ke kantor
pegadaian yang selama ini “ dimonopoli “ Perum Pegadaian . Hanya , menggadaikan
barang di pegadaian konvensional pelat merah itu biayanya cukup besar dan
antriannya pun panjang . Karena itu , saat ini ada alternatif lain , yaitu ke
Bank Syariah Mandiri ( BSM ) yang mempunyai program gadai emas syariah . Lewat
produk berlabel agama ini , “ warga masyarakat bisa mendapatkan dana murah ,
cepat , dan berdasarkan prinsip syariah , “ kata Sunarto Zulkifli , Kepala
Pengembangan Produk BSM .12
Selain perbandingan di atas , perlu
diungkapkan jasa perbandingan antara gadai syariah dengan jasa gadai
konvensional sebagai berikut .
1.
Jasa Gadai Syariah
Pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan
gadai syariah . Gadai syariah dimaksud , dalam istilah bahasa Arab disebut rahn
. Rahn tersebut , beroperasional berdasarkan prinsip syariah sehingga tidak
mengenakan bunga tetapi menggunakan pendekatan bagi hasil yang dikenal dengan
istilah mudharabah atau Fee Based Income . Pegadaian syariah sebagai penerima
gadai disebut murtahim dan pemberi gadai disebut rahin . Rahin akan mendapatkan
surat bukti gadai ( rahn ) berikut dengan akad pinjam – meminjam yang
disebut akad gadai syariah dan akad sewa tempat ( ijarah ) . Dalam akad
gadai syariah disebutkan bahwa jangka waktu akad tidak diperpanjang maka
penggadai menyetujui agunan ( marhun ) miliknya dijual oleh pegadaian( murtahin
) guna melunasi pinjaman . Sedangkan akad sewa tempat ( ijarah )
merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai dalam menyewa
tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan .
Pegadaian memiliki banyak produk yang mungkin cocok buat seseorang
yang membutuhkan dana dalam jangka pendek . “ tak kenal maka tak sayang “
demikian kata pepatah , sehingga ada baiknya sebelum seseorang membutuhkan dang
yang mendesak , seseorang benar – benar “ kepepet “ membutuhkan modal maka
tidak ada salahnya untuk meluangkan waktu sebentar ke kantor pegadaian terdekat
dari tempat tinggal seseorang untuk menanyakan syarat – syarat dan prosedur
yang ada serta daftar barang yang diterima sebagai jaminan gadai . Tujuannya
adalah suatu waktu ketika membutuhkan dana maka alternatif pegadaian dapat
menjadi sarana yang efektif dan efisien dalam memperoleh pendanaan jangka
pendek . Prinsipnya , jangan terkungkung dengan alternatif pendanaan yang biasa
digunakan . Ada baiknya “ buka mata dan buka telinga “ sehingga akan semakin
banyak informasi yang didapat serta semakin mengetahui beberapa alternatif
sumber pendanaan yang diperlukan . Prinsip “ sedia payung sebelum hujan “ dan “
malu bertanya sesat di jalan “ sungguh sangat relevan dalam kehidupan sosial
seseorang sehari – hari .
Selain itu , ditemukan bahwa pegadaian konvensional menarik bunga
10 % 14 % untuk jangka waktu empat bulan , plus asuransi sebesar 0,5 % dari
jumlah pinjaman . Jangka waktu empat bulan itu dapat terus diperpanjang ,
selama nasabah mampu membayar bunga . Lain halnya pegadaian syariah , hanya
memungut biaya ( termasuk asuransi barang ) sebesar 4 % untuk jangka waktu dua
bulan . Apabila lewat dua bulan nasabah tidak mampu menebus barangnya , masa
gadai bisa diperpanjang dua periode . Jadi , total waktu maksimalnya enam bulan
. “ Tidak ada tambahan pungutan biaya untuk perpanjangan waktu , “ terang
Sunarto . Tapi , jika melewati masa enam bulan , BSM akan langsung mengeksekusi
barang gadai .
Perbedaan lain , di pegadaian konvensional nasabah bisa menggadaikan
berbagai macam barang , mulai dari emas , barang elektronik , sampai kain
Sementara itu , gadai emas syariah hanya menerima barang jaminan berupa emas (
minimal 16 karat ) . Penghitungan nilai gadainya juga berbeda . Nasabah gadai
syariah mendapat pinjaman sebesar 75 % dari nilai pasar emas yang digadaikan .
Di pegadaian konvensional nasabah bisa mendapat 90 % dari harga taksiran barang
. Padahal , menurut Sunarto , nilai taksiran itu paling banter 80 % dari harga
pasar , “ Jadi , sebenarnya nasabah hanya mendapat 72 % dari harga pasar .”
Dalam jaringan pemasaran , gadai emas syariah memang jauh
tertinggal dari Perum Pegadaian . Perusahaan milik pemerintah itu telah
memiliki 721 cabang yang tersebar di berbagai pelosok nusantara ; sementara
gadai emas syariah baru bisa dilayani di satu tempat : BSM Cabang Majestik ,
Jakarta Rencananya , di akhir tahun 2002 jumlah cabang yang melayani gadai
syariah ini akan ditambah menjadi sembilan gerai .
Berdasarkan hal di atas , merasa tersaingikah Perum Pegadaian ? “ ,
tentu tidak . Mereka itu mitra yang membidik segmen tersendiri , “ kata Bagus
Aprianto Kasi Investasi dan Permodalan Perum Pegadaian . Bahkan , melihat
lebarnya peluang , Perum Pegadaian akan ikut bermain dalam produk syariah . “
Pada Desember 2001 telah dilakukan uji coba di Medan dan Aceh” .
Gadai emas syariah versi Bank Syariah Mandiri ( selanjutnya disebut
BSM ) dalam hal ini , merupakan hal baru . Prinsip kesyariahan yang diterapkan
dalam produk ini pun masih dipertanyakan banyak orang . BSM sendiri mendasari
produk ini atas prinsip ar – rahn yang tercantum dalam QS . Al – Baqarah ( 2 )
ayat 283 .
Selain ayat Alquran dimaksud , Istilah ar – rahnu juga
dikenal lewat sebuah hadis yang artinya : Rasulullah menggadaikan baju besinya
kepada orang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga
beliau .
Pengamat produk syariah , Ahmad Baraja , menilai prinsip dan dasar
syariah yang diterapkan BSM tidak tepat . “ Ar – rahnu itu jaminan bukan
produk dan semata untuk kepentingan sosial , bukan kepentingan bisnis , jual
beli atau bermitra ,” tandasnya . Jadi , menurutnya , uang hasil gadai syariah
ini tidak boleh dipakai berinvestasi . Berbeda dengan produk pegadaian
konvensional seperti koin emas yang selain untuk biaya haji , bisa pula dipakai
sebagai alat berinvestasi . Ahmad Baraja menyorot kebijakan BSM yang mematok
biaya gadai 4 % . Sebab , menurutnya , kalau memakai prinsip penitipan barang ,
mestinya biaya yang dikenakan harus real cost . Artinya , biayanya haruslah
yang benar – benar dikeluarkan , jadi bisa dipatok di awal . Karena itu , tidak
melakukan manipulasi pengenaan biaya yang bisa dikategorikan bunga , dalam
hukum Islam disebut haram .
2.
Jasa Gadai Konvensional
Pegadaian konvensional memberikan pinjaman kepada warga masyarakat
mulai dari Rp10.000,00 sampai Rp20 juta per surat gadai . Namun demikian ,
pegadaian juga memiliki produk untuk pinjaman di atas Rp20 juta . Perhitungan
bunga dilakukan setiap 15 hari . Sebagai contoh , bila seseorang menggadaikan
suatu barang dan kemudian menerima kredit gadai sebesar Rp1.000.000,00 maka
setiap 15 hari ke depan , bila bunga yang dikenakan 1,5 % per 15 hari , orang
dimaksud mesti membayar bunga sebesar Rp15 ribu per lima belas hari. Yang unik
dan mungkin sedikit merugikan bagi nasabah pegadaian adalah bila seseorang
ingin melunasi misalnya dalam jangka waktu 17 hari maka orang itu akan
dikenakan bunga untuk 30 hari . Mengapa ? Karena pegadaian menghitung bunga
setiap 15 hari dan untuk setiap kelebihannya akan dibulatkan menjadi 15 hari sehingga
nasabah harus benar – benar menaati jadwal pembayaran bunga sesuai dengan
waktunya . Juga bila nasabah ingin menebus kembali barang yang digadaikan ,
sebaiknya sesuai dengan pola waktu 15 harian . Jangka waktu pinjaman diberikan
oleh pegadaian selama 4 ( empat ) bulan . Apabila telah thelewati batas
pinjaman , nasabah dapat memperpanjang dengan membayar lewa modal
(
bunga ) atau dapat menebus barang jaminannya . Apabila kedua hal tersebut tidak
dilaksanakan maka pegadaian berhak untuk melelang barang jaminan . Nasabah
masih diberi hak mendapatkan uang lelang jika hasil lelang yang diterima
melebihi nilai utang pokok ditambah sewa modal dan biaya lelang . Sebaliknya ,
jika hasil lelang lebih kecil dibandingkan kewajiban nasabah , kekurangan itu
menjadi risiko yang ditanggung oleh pegadaian .
Perbedaan mendasar antara pegadaian syariah dengan pegadaian
konvensional adalah dalam pengenaan biayanya . Menurut Sunarto , pegadaian
konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat
ganda ; lain halnya biaya di pegadaian syariah tidak berbentuk bunga , tetapi
berupa biaya penitipan , pemeliharaan , penjagaan , dan penaksiran . Singkatnya
, biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali dikenakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gadai dalam Islam disebut (Rahn),
penggadaian Islam akan memperoleh keuntungan hanya dari biaya sewa yang
dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa atas modal yang diperhitungkan
dari uang pinjaman.
Menurut ekonomi syari’ah bahwa
penyimpanan barang gadaibmenjadi kewajiban murtahin. Kewajiban secara
otomatis dilakukan oleh murtahin. Namun tujuan ekonomi syariah yaitub
untuk mencapai fallah di dunia dan di akhirat. Prinsip syariah ini bertujuan
untuk menciptakan masyarakat yang seimbang.
Barang jaminan sama halnya dengan
amanat. Pengadaian akan memberikan ganti rugi jika barang jaminan milik nasabah
rusak. Maka dari itu pegadaian akan berusaha semaksimal mungkin agar barang
jaminan milik nasabah tidak rusak. Dalam menunjang kegiatan tersdebut pegadaian
mengenakan biaya penimpanan dan pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA
Mahnud Yunus,Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta:Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsiran al-Qur’an,1989)
Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Perjanjian dalam Islam,( Jakarta: Sinar Grafika, 1996)
Muhammad Solikul Hadi, Penggadaian Syari’ah,
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2000)
Wahbah Zuhaili, Al-fighu Al-Islamiy Wa Adillatuhu,
(Beirut: Darul Fikr, 1985)
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, alih bahasa. Terj:
Kamaludin A. Marjuki, (Bandung : PT. AlMaarif,1996)
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), Sabiq, Fikih Sunah, alih bahasa.
Abi Zakariyah al-Anshari, Fathul Wahab, Terj:
Sulaiman Mariy,(Singapura,t.th)
Abdul Ghofur Anshori, PERBANKAN SYARIAH INDONESIA,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018)
Dimyauddin,. Fiqh Menurut Madzhab Syafi’I, (
Jakarta: Wijaya, 1996)
Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)
Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan
Syari’ah, (Yogyakarta: Safiria Insania. Press. 2009)
Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2017)
Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika
Hukum Islam Kontemporer, Edisi ke-3, (Jakarta: LSIK, 1997)
Muhammad dan Sholikhul Hadi, penggadaian Syariah: Suatu Alternatif
Konstruksi Penggadaian Nasional, edisi 1, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003)
Bandingkan uraian Mesti Sinaga, Kun Wahyu,
Ariyanto Widhinugroho, dan Cipta W., Dana Murah dari Bank Syariah Menyorot
Produk Gadai Syariah Versi Bank Syariah Mandiri, Dikutip dari internet, www.yahoo.com, 25 juni 2006
[1] Mahnud
Yunus,Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Penafsiran al-Qur’an,1989), hlm. 148
[2] Choiruman
Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, ( Jakarta: Sinar
Grafika, 1996) cet 2, hlm. 139
[3] Muhammad
Solikul Hadi, Penggadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2000), hlm.
49-50
[4] Wahbah
Zuhaili, Al-fighu Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1985) cet -2,
hlm. 180-181
[5] Sayyid Sabiq,
Fikih Sunah, alih bahasa. Terj: Kamaludin A. Marjuki, (Bandung : PT.
AlMaarif,1996), hlm. 139
[6] Ghufron A.
Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002),
hlm. 175-211 Sabiq, Fikih Sunah, alih bahasa. Hlm. 189
[7] Abi Zakariyah
al-Anshari, Fathul Wahab, Terj: Sulaiman Mariy, (Singapura, t.th ), hlm. 192
[8] Abdul Ghofur
Anshori, Op. Cit. h. 96.
[9] Dimyauddin,. Fiqh
Menurut Madzhab Syafi’I, ( Jakarta: Wijaya, 1996), hlm. 38
[10] Choiruman
Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,……. Hlm. 142
[11] Dadan
Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Safiria Insania.
Press. 2009), hlm. 109
[12] Horoen, Fiqh
Muamalah,……. Hlm. 254-255
[13] Chuzaimah T
Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi
ke-3, (Jakarta: LSIK, 1997, hlm. 333
[14] Muhammad dan
Sholikhul Hadi, penggadaian Syariah: Suatu Alternatif Konstruksi Penggadaian
Nasional, edisi 1, (Jakarta:Salemba Diniyah, 2003), hlm. 70
[15] Bandingkan
uraian Mesti Sinaga, Kun Wahyu, Ariyanto Widhinugroho, dan Cipta W., Dana
Murah dari Bank Syariah Menyorot Produk Gadai Syariah Versi Bank Syariah
Mandiri, Dikutip dari internet, www.yahoo.com, 25
juni 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar