Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Selasa, 04 Oktober 2022

MAKALAH EKOLOGI HEWAN HEWAN DAN LINGKUNGANNYA

aldhy purwanto

MAKALAH EKOLOGI HEWAN

HEWAN DAN LINGKUNGANNYA


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata yunani Oikos (habitat) dan Logos (ilmu). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antara makhlik hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 – 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.

Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotik dan abiotik yang ada disekitarnya dan dapat mempengaruhinya. Dalam konsep rantai makanan, hewan ditempatkan sebagai konsumen , sedangkan tumbuhan sebagai produsen. Hewan disebut sebagai makhluk hidup yang heterotrop.

Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat denga tingkatan – tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukan kesatuan.

 

1.2  Rumusan masalah

1)      Pengertian lingkungan bagi hewan sebagai kondisi dan sumber daya

2)      Hewan sebagai organisme heterotrof

3)      Hewan ektotermi dan endotermi serta konsep waktu

a. ektotermi dan poikilotermi

b. konsep waktu-suhu

c. endodermi atau homeotermi

4)  Kisaran toleransi dan faktor pembatas

5)  Aspek terapan kisaran toleransi dan faktor pembatas

             a. pengendalian hama

b. indikator ekologi

6)  Gambaran umum faktor-faktor lingkungan

1.3 Tujuan

1)        Untuk  mengetahui pengertian lingkungan bagi hewan sebagai kondisi dan sumber daya

2)        Untuk mengetahui hewan sebagai organisme heterotrof

3)        Untuk mengetahui hewan ektotermi dan endotermi serta konsep waktu

a. ektotermi dan poikilotermi

b. konsep waktu-suhu

c. endodermi atau homeotermi

4)        Untuk mengetahui kisaran toleransi dan faktor pembatas

5)        Untuk mengetahui aspek terapan kisaran toleransi dan factor pembatas

a. pengendalian hama

b. indicator ekologi

6)        Untuk mengetahui gambaran umum faktor-faktor lingkungan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pengertian Lingkungan Bagi Hewan Sebagai Kondisi dan Sumberdaya

   Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotik dan abiotik yang ada disekitar hewan dan dapat mempengaruhinya. Setiap hewan hanya dapat lulus hidup, tumbuh dan berkembang biak dalam suatu lingkungan yang menyediakan kondisi yang cocok baginya dan sumber daya yang diperlukannya, serta terhindar dari faktor-faktor abiotik maupun biotik lingkungan yang membahayakan kelulusan hidupnya.

Lingkungan abiotik hewan meliputi faktor-faktor medium atau substratum (tanah, perairan) tempat hidup, serta faktor-faktor cuaca dan iklim. Lingkungan biotik hewan meliputi hewan lain sesama spesies, yang berlainan spesies, tumbuh-tumbuhan dan mikroba.

Hubungan antara hewan dan lingkungannya bersifat timbal balik seperti sudah dinyatakan diatas, keberhasilan hidup hewan sangat ditentukan oleh kondisi dan sumber daya yang terdapat di lingkungan itu pun dapat berubah oleh kehadiran dan dampak aktifitas hewan hidup. Sebagai contoh, kehadiran rusa di suatu padang rumput atau hutan  menunjuk ketersediaan sumber daya makanan yang cukup dan kondisi  lingkungan yang sesuai bagi kehidupan rusa . Demikian sebaliknya ,kehadiran rusa di habitat tersebut , sebagai herbivor yang melakukan perumputan (grazing) , sebagai organisme yang menukarkan gas-gas pernafasan, sebagai hewan yang membuang kotoran organiknya ke tanah, akan menentukan corak dan kondisi lingkungan padang rumput atau hutan tersebut.

Faktor-faktor lingkungan hewan , baik yang bersifat abiotik maupun biotik,dapat ditinjau sebagai dua aspek  fungsional yang berbeda . meskipun dalam hal-hal tertentu  perbedaan kedua aspek itu tidak begitu tegas . kedua aspek itu ialah lingkungan sebagai kondisi dan sebagai sumberdaya.

Istilah kondisi lingkungan terutama digunakan untuk menunjukan suatu besaran , kadar ataupun intensitas faktor-faktor abiotik lingkungan itu . faktor abiotik sebagai kondisi ketersediaannya tidak berkurang karena kehadiran individu atau spesies lain. Sebagai contoh, suhu lingkungan dan cahya bagi hewan

   Kehadiran suatu jenis hewan dilingkungan tidak akan memakan dan mengurangi suhu di lingkungan tersebut.  Istilah sumber daya digunakan untuk  menunjukan  sesuatu faktor biotik dan abiotik yang diperlukan oleh hewan . yang kuantitas ketersediaannya dilingkungan akan menjadi berkurang apabila telah dimanfaatkan oleh hewan itu. Sebagai contoh rerumputan disuatu padang rumput yang dihuni oleh populasi rusa yang beranggotakan seratus ekor  jika suatu saat ditambah lima puluh ekor rusa lagi, maka kehadiran rusa baru tersebut akan mengurangi jumlah rumput sebagai sumberdaya makanan rusa .

Sepanjang  ontogeninya suatu hewan akan terdedah pada kondis sumberdaya lingkungan yang tidak konstan yang bervariasi menurut ruang dan waktu. Lingkungan yang relatif konstan mungkin hanya dijumpai di bagian dalam samudra, didalam tanah dan di gua-gua . oleh karena itu setiap hewan harus berusaha untuk selalu dapat mengadaptasikan diri terhadap perubahan lingkungan tersebut. Hanya hewan-hewan yang dapat menyesuaikan diri yang akan dapat meneruskan kehidupannya di lingkungan tersebut , sementara yang tidak mampu beradaptasi akan mati dan pada gilirannya akan punah jenisnya.

Perubahan lingkungan terhadap waktu secara garis besarnya terdiri dari tiga macam , yaitu perubahan yang besarnya terdiri dari tiga macam, yaitu :

1.    Perubahan siklik adalah perubahan yang terjadinya berulang-ulang secara berirama, seperti malam dan siang, laut pasang dan surut , musim kemarau dan musim penghujan, dan lain sebagainya .perubahan siklik dapat berskala harian, bulanan, tahunan/musiman

2.    Perubahan terarah merupakan suatu perubahan yang terjadinya berangsur-angsur, secara terus-menerus danprogresif menuju ke suatu arah tertentu .proses perubahan tersebut berlangsungnya lama, melebihi panjang umur individu hewan yang hidup dilingkungan itu. Contoh perubahan yang demikian antara lain terjadinya erosi progresif garis pantai atau pengendapan lumpur disuatu estuaria.

3.    Perubahan eratik adalah suatu perubahan yang tak berpola dan tidak menunjukan konsistensi mengenai arah perubahannya. Misalnya terjadinya pengendapan jatuhan debu dari letusan gunung berapi, serta terjadinya banjir ataupun kebakaran hutan.

Ketersediaan sumber  daya bagi hewan sangat bervariasi kuantitas dan kualitas keberadaanya. Beberapa sumber  daya mungkin hanya dapat diperoleh disuatu tempat pada suatu waktu tertentu saja. Hewan yang memerlukan sumberdaya yang ketersediaannya demikian harus memiliki strategi tertentu yang efisien untuk mendapatkannya atau dapat memperoleh secara kombinasi .ada jenis sumberdaya yang ketersediaannya hanya dalam suatu periode tertentu yang singkat .namun meliputi area yang luas . jenis  sumberdaya lainnya ialah ketersediaanya hanya disuatu tempat tertentu, namun meliputi periode yang cukup lama, dan paling ideal adalah apabila sumberdaya tersebut  berada kapan saja dan dimana saja. Namun keberadaan sumberdaya seperti yang disebut terakhir ini sangat jarang dijumpai. Gambaran skematis dari ketiga macam keberadaan sumber daya di atas adalah sebagai berikut, modifikasi dari ibkar-kramadibrata (1992)

Description: D:\DATA\tugas kampus\SEMESTER VI\ekwAN\20150216_081218.jpg

Gambar 2.1 : Ketersediaan sumber daya merupakan fungsi dari ruang dan waktu (Ibkar-Kramadibrata, 1992)

 

Karena ketersediaan sumberdaya merupakan fungsi dari ruang dan waktu yang berbeda-beda coraknya maka hewan yang memerlukan suatu sumber daya tertentu memerlukan strategi tertentu pula untuk mendapatkan sumberdaya itu. Strategi hewan dalam mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan merupakan hasil dari adaptasi dan evolusi hewan yang telah berlangsung lama dan terus menerus, baik adaptasi morfologi, fisiologi maupun perilaku.Salah satu sumber daya yang penting bagi hewan adalah tersedianya makanan.

 

2.2 Hewan Sebagai Organisme Heterotrof

Dalam konsep rantai makanan, hewan ditempatkan sebagai konsumen, sedangkan tumbuhan sebagai produsen. Hal ini karena hewan tidak dapat mensintesis makanannya sendiri dari bahan anorganik dilingkungannya. Untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan-bahan organik berenergi tinggi, guna menyediakan energi untuk aktifitas hidup dan menyediakan bahan-bahan untuk membangun tubuhnya ,hewan mengambil bahan organik dari mahkluk hidup lain, baik tumbuhan maupun hewan lain . karena itulah hewan disebut mahkluk hidup heterotrof, sebagai lawan dari tumbuhan yang bersifat autotrof . jadi kehidupan hewan secara langsung atau tak langsung sangat tergantung pada tumbuh-tumbuhan.

Dalam dunia hewan dapat dibedakan tiga macam nutrisi heterotrof yaitu tipe nutrisi holozoik, saprozoik, dan parasitik. Tipe nutrisi heterotrof ini sangat ditentukan oleh jenis hewan dan ukuran relatifnya terhadap makanan/mangsa .tipe yang umum terdapat dalam dunia hewan yaitu nutrisi holozoik. Dalam tipe ini makanan, baik yang berupa tumbuhan atau jenis hewan lain , pertama-tama harus dicari dan didapatkan dahulu , baru kemudian dimakan serta selanjutnya dicerna sebelum dapat diabsorsi dan dimanfaatkan oleh sel-sel tubuh hewan itu. Untuk mencari dan mendapatkan mkanan diperlukan struktur indera, saraf serta mekanisme otot.Selanjutnya untuk mengubah substansi makanan itu kedalam bentuk yang dapat di absorbsi, diperlukan juga mekanisme dari sistem pencernaan.

Tipe nutrisi saproik dijumpai pada berbagai hewan protozoa, yang memperoleh nutrien-nutrien organik yang diperlukanya dari organisme –organisme yang telah mati ,membusuk dan mengurai. Nutrien-nutrien tersebut diabsorbsi melalui membran sel dalam bentuk molekul-molekul terlarut.

Seperti dinyatakan oleh namanya, tipe nutrisi parasitik dijumpai pada hewan-hewan parasit.Hewan-hewan ini memakan dan mencerna partikel-partikel padat dari tubuh organisme inangnya atau secara langsung mengabsorbsi molekul-molekul organik dari cairan atau jaringan tubuh inangnya.Berbagai hewan parasit mengganggu kehidupan organisme inangnya dengan merusak sel-sel,merampas nutrien-nutrien atau dengan menghasilkan produk sampingan yang berupa zat toksin, sehingga dapat mematikan hewan inangnya sebagai hasil proses evolusi maka suatu hewan endoparasit, yaitu yang hidup didalam tubuh organisme inangnya, menjadi teradaptasi dengan kondisi-kondisi suhu, Ph, kadar garam,vitamin, nutrien dan lain sebagainya, yang sekarang menjadi lingkungannya, sehingga tidak lagi dapat hidup bebas ditempat hidup lain.Sebagai contoh dari fenomena ini adalah berbagai jenis cacing parasit pada tubuh hewan atau manusia,misalnya cacing hatididalam hati,cacing pita dan cacing perut didalam usus.

   Dengan dasar yang lain, yakni ukuran hewan yang menentukan cara makannya,hewan heterotrof dikelompokkan menjadi menjadi makrokonsumen dan mikrokonsumen.Makrokonsumen disebut juga sebagai fogotrof,yakni kelompok hewan yang mengambil bahan organik dari makhluk lain dengan cara memakan.misalnya kuda, kambing, harimau, ikan, dsb.Mikrokonsumen adalah kelompok hewan yang mengambil makanannya dengan cara menguraikan jaringan dan pengurai atau osmotrof,termasuk juga parasit.Sebagai contoh adalah cacing parasit dan serangga pengurai ditanah.

 

2.3 Hewan Ektotermi dan Endotermi, serta Konsep Waktu-Suhu 

   Posisi poros bumi yang tidak tegak terhadap lintasan edarnya atau condong,menyababkan posisi jatuhnya sinar matahari dimuka bumi berubah-ubah dan tidak sama waktunya disetiap tempat.Sebagai gambaran, pada tanggal 22 Juni, dibelahan bumi bagian utara mulai musim panas(siang yang panjang) , Sedang dibagian selatan musim dingin (siang yang pendek), pada tanggl 22 Desember,kebalikan dari tanggl 22 Juni, pada tanggl 21 Maret, juga 23 September, dibelahan bumi Utara dimulainya musim semi, sedang dibelahan bumi selatan musim gugur. Sebagai perkecualian disemua garis lintang ,panjang siang hari relatif tetap sama lebih kurang 12 jam.

   Sebagai gambaran tentang perubahan panjang penyinaran yang berubah-ubah sepanjang tahun yang diakibatkan oleh posisi poros bumi yang tidak tegak lurus terhadap bidang edar bumi,berikut ini digambarkan hubungan panjang siang dengan bulan-bulan selama setahunpada daerah sekitar katulistiwa , daerah sekitar garis lintang utara  dan  . Disekitar derajat garis lintang yang sama pada belahan bumi selatan kondisi panjang hari berkebalikan dengan belahan bumi bagian utara. Artinya,jika pada bulan Juni-Juli didaerah sekitar lintang utara  sedang mengalami panjang siang 18 jam.maka didaerah lintang selatan  mengalami panjang siang 6 jam atau mengalami malam 18 jam.

Description: D:\DATA\tugas kampus\SEMESTER VI\ekwAN\20150216_081247.jpg

Gambar 2.2: Gambar hubungan panjang siang hari (lama penyinaran) di daerah                     katulistiwa , daerah sekitar garis lintang utara , (),dan  dengan bulan-bulan disepanjang tahun (lbkar-Kramadibrata, 1992)

Gambar 2.2 diatas memperlihatkan hubungan antara variasi latitudinal dengan terjadinya musim yang berbeda-beda.Terjadinya perubahan dari musim yang satu kemusim yang lain sepanjang tahun akan mempunyai malam dan siang yang hampir sama panjangnya, yaitu masing-masing sekitar 12 jam. Karena itu organisme-organisme didaerah tropika tidak terdedah pada masalah fotoperiodisme.Tidak demikian halnya organisme-organisme didaerah temperata (iklim sedang) dan artika (iklim dingin).Masalah fotoperiodisme yang dihadapi organisme-organisme didaerah ini disebabkan karena perubahan panjang siang dan panjang malam.

   Berdasarkan gambaran panjang penyinaran setiap hari yang berbeda maka hewan disetiapbagian belahan bumi mendapatkan radiasi cahaya yang akan menimbulkan panas yang tidak sama. Sementara setiap hewan juga memiliki pengaturan dalam penerimaan dan pelepasan panas dari dan ke lingkungan yang berbeda. Perpindahan panas dari satu benda ke benda yang lain, baik benda hidup maupun benda mati,secara umum berlaku hukum fisika. Bergantung pada mana yang lebih panas,maka organisme pun dapat memperoleh panas dari lingkungan atau mengeluarka panas ke lingkungannya. Panas yang dihasilkan organisme merupakan salah satu produk proses-proses metabolisme dalam tubuhnya, dan panas inilah yang merupakan sumber kemampuan organisme untuk mengatur suhu tubuhnya.Sebagai ilustrasi tentang perpindahan panas dialam antara makhluk hidup dan lingkungannya digambarkan seperti pada gambar 2.4.Selanjutnya, berdasarkan pola pengaturan panas atau suhu tubuhnya hewan dibedakan menjadi hewan ektotermi dan hewan endotermi.

Description: D:\DATA\tugas kampus\SEMESTER VI\ekwAN\20150216_081305.jpg

Gambar 2.3: Pertukaran energi panas dan air antara katak dan lingkungannya

(Tracy dalam McNaughton dan Wolf, 1979 ).

2.3.1 Ektotermi atau Poikilotermi

   Hewan ektotermi adalah hewan yang untuk menaikkan suhu tubuhnya memperoleh panas yang berasal dari lingkungan. Dalam kaitannya dengan hal yang sama, hewan yang suhu tubuhnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan suhu lingkungan disebut sebagai hewan poikilotermi (poikilotherm, poikilothermic), yang dalam istilah lain disebut hewan berdarah dingin. Dikatakan hewan berdarah dingin karena rata-rata suhu tubuh lebih rendah dari suhu tubuh hewan homeotermi. Hampir semua hewan tergolong kelompok poikilotermi, yaitu mulai golongan protozoa sampai reptil,aves dan mamalia merupakan hewan-hewan homeotermi. Ini berarti bahwa hewan-hewan tersebut panas tubuhnya sangat bergantung pada sumber panas dan lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada hewan-hewan ektoterm sangat terbatas sehingga suhu tubuh bervariasi mengikuti suhu lingkungannya atau disebut juga sebagai penyelaras (konformer).

   Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah dibawah batas ambang toleransinya, hewan ektoterm mati.Hal ini karena praktis enzim tidak aktif bekerja, sehingga metabolisme terhenti. Pada suhu yang masih ditolelir,yang lebih rendah dari suhu optimumnya, laju metabolisme tubuhnya dan segala aktifitasnya pun rendah. Akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lamban,sehingga akan mudah bagi predator untuk menangkapnya.

   Sebenarnya hewan-hewan ektotermi berkemampuan juga untuk mengatur suhu tubuhnya,namun daya mengaturnya sangat terbatas dan tidak fisiologis sifatnya melainkan secara prilaku. Apabila suhu lingkungan terlalu panas, hewan ektotermi akan berlindung ditempat-tempat teduh, bila suhu lingkungan turun hewan tersebut akan berjemur dipanas matahai atau berdiam diri ditempat-tempat yang memberikan kehangatan baginya .Sebagai contohnya yang gampang terlihat adalah golongan ular atau kadal.Pada tengah hari yang terik, banyak kita jumpai ular yang berteduh masuk kerumah penduduk, yang oleh manusia sering disalah artikan bahwa ular tersebut sedang mencari mangsa manusia dan akhirnya malah dimatikan.

Di antara suhu kritis yang terlalu rendah dan terlalu tinggi , laju metabolisme hewan ektoterm akan meningkat  dengan makin naiknya suhu secara eksponensial. Hal ini seringkali  dinyatakan dalam fifiologis hewan sebagai “ koefesien suhu’(Q10), yang agag bervariasi  pada berbagai jenis hewan ektotermi. Pada sejenis kumbang, misalnya didapatkan Q10=2,5, yang berarti bahwa untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10°C. maka laju reaksi-reaksi metabolismenya didalam tubuh meningkat sebesar 2,5 kali .

2.3.2 Konsep-Waktu-Suhu

Suhu lingkungan menentukan suhu tubuh bagi hewan poikilotermi. Bahkan suhu menjadi factor pembatas bagi kebanyakan mahluk hidup. Suhu tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme didalam tubuh. Karena itu dari sudut pandang ekologi, kepentingan suhu lingkungan bagi hewan-hewan ektoterm tidak hanya berkaitan dengan aktifitasnya saja tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangannya. Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Konsekuensinya adalah bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangan akan berbeda-beda pada suhu lingkungan yang berbeda, dengan perkataan lain, pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu beberapa berlangsungnya proses perkembangan itu. Karena pada hewan-hewan ektoterm waktu( berlangsungnya proses perkembangan ) merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka suhu kombinasi waktu suhu yang seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting.

Apabila diketahui, misalnya bahwa suhu ambang terjadinya perkembangan pada sejenis belalang adalah 16°c ,dan pada suhu 20°c (yaitu 4°c diatas suhu ambang) lamanya waktu yang diperlukan untukperkembangan telur hingga menetas adalah 17,5 hari, maka pada suhu 30°c(yaitu 14°c diatas suhu ambang)lama waktu yang diperlukan untuk menetas hanya 5 hari. Dalam contoh tersebut diatas, lamanya waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur dari jenis belalang itu untuk menetas adalah 70 hari-derajat diatas suhu ambang.Berapa lamakah waktu yang diperlukan telur belalang tersebut untuk menetas jika suhu lingkungannya 25°c?

Konsep waktu suhu ini penting artinya untuk memahami masalah perwaktuan dari kejadian-kejadian serta dinamika populasi hewan-hewan ektoterm. Di suatu tempat, misalnya, sering timbul jenis serangga dalam jumlah besar yang terjadinya mungkin saja tiap tahun pada tanggal atau waktu yang berbeda-beda, meskipun demikian bila di telaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama diatas suhu ambang perkembangan jenis serangga tersebut.

Dengan menggunakan konsep waktu suhu, yang diwujudkan dlam bentuk jumlah hari derajat seperti contoh diatas, maka suhu fenomelna akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi misalnya dapat diramalkan kapan akana terjadinya. Dalam bidang pertanian dan perkebunan, peramalan mengenai akan nilai guna yang sangat penting, sebab dengan diketahuinya jumlah hari derajat perkembangan suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan waktu dan tehnik pemberantas telur atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya.

 

2.3.3 Endotermi atau Homeotermi

   Hewan endotemi adalah kelompok hewan yang dapat mengatur produksi panas dari dalam tubuhnya untuk mengkonstantkan atau menaikan suhu tubuhnya, misalnya golongan aves dan mamalia, termasuk manusia atau disebut homeotermi adalah hewan-hewan yang dapat mengatur suhu tubuhnya sehingga selalu kostant berada pada kisaran suhu optimumnya.

   Hewan-hewan homeoterm, dalam kondisi suhu lingkungan yang berubah-ubah, suhu tubuhnya constant,. Hal ini karena hewan-hewan itu mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengatur suhu tubuhnya melalui perubahan produksi panas(laju metabolisme) dalam tubuhnya sendiri. Kemampuan untuk mengatur  produksi dan pelepasan panas melalui mekanisme metabolism ini dikarenakan hewan-hewan homoeterm memiliki organ sebagai pusat pengaturnya, yakni otak khususnya hypothalamus sebagai thermostat atau pusat pengatr suhu tubuh. Suhu konstan untuk hewan-hewan endotermi biasanya terdapat diantara 35-40°c.karena kemampuannya mengatur suhu tubuh sehingga selalu konstan, maka kelompok ini disebut hewan regulator. Pusat pengendali suhu tubuh terdapat dibagian hipotalamus dari otak .

   Sebagai ilustrasi hubungan suhu lingkungan dengan suhu tubuh antara hewan poikililoterm dan homeoterm, dibawah ini

Description: D:\DATA\tugas kampus\SEMESTER VI\ekwAN\20150216_081325.jpg

Gambar 2.4:

Diagram hubungan suhu tubuh dan suhu lingkungan padahewan poikilo-termi dan homeotermi.

Terjaganya kekonstanan suhu tubuh tersebut diatas mengakibatkan hewan-hewan endoterm mampu menunjukan kinerja yang konstan pula. Daya atau kemampuan mengatur  suhu tubuh itu memerlukan (biaya)  yang relative tinggi  dan sehubungan dengan itu maka persyaratan masukan sumber dasar energinya pun, yaitu makanan, relative tinggi pula,. Secara umum tampk bahwa bahwa dibandingkan dengan sutau hewan ektoterm yang sebanding ukuran tubuhnya, suatu hewan endoterm memerlukan masukan energy makanan yang lebih tinggi, hal ini juga berlaku untuk suhu lingkungan dalam  kisaran termonetral.

   Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa dalam meenghadapi kondisi suhu lingkungannya, hewan-hewan endoterm mempunyai strategi biaya tinggi, yang memberikan keuntungtan yang relative tinggi.Tidak demikian halnya pada hewan-hewan endoterm dalam menghadapi kondisi suhu lingkungannya itu hewan-hewan ektoterm menggunakan strategi biaya rendah, yang kadang-kadang memberikan keuntungan yang rendah pula.

Gambar 2.5:

Hubungan antara produksi panas ( melalui perubahan laju metabolisme) dengan suhu lingkungan  pada hewan endotermi.

 

Pada zona termonetral (b-c) laju metabolisme ( produksi panas) adalah minimal. Pada kisaran suhu tersebut, suhu tubuh diatur kekonstanannya oleh pengubahan daya hantar panas  permukaan tubuh ( vasodilatasi dari vaokons-triksi) yang praktis tidak memerlukan upaya-upaya metabolism pada suhu diatas maupun dibawah kisaran suhu termonetral, produksi panas meningkat untuk menjaga kekonstanan suhu tubuh.

Sebagai salah satu factor lingkungan yang utama, suhu memberika efek yang berbeda-beda pada organisme-organism dibumi .variasi suhu lingkungan alami mempunyai efek dan peranan potensial dalam menentukan terjadinya proses kehidupan , penyebaran serta kelimpahan organism-organisme itu.

   Variasi suhu lingkungan alami dapat dtinjau dari berbagaisegi misalnya dari sifat sikliknya (harian, musiman) atau ketinggian diatas permukaan laut dan kedalam (perairan tawar, lautan, tanah). Disamping itu dikeanal juga variasi suhu alami dalam sifat kaitan yang lebih akrab dengan orgnisme ( mikroklimatik).

 

2.4 Kisaran Toleransi Dan Faktor Pembatas

   Setiap mahluk hidup terdedah pada berbagai factor lingkungan abiotik yang selalu dinamis atau berubah-ubah baik dalam skala ruang  maupun skala waktu (berfluktasi). Oleh karena itu setiap mahluk hidup harus mampu mengadaptasikan dirinya untuk menghadapi kondisi  factor  lingkungan abiotik tersebut . namun, demikian mahluk hidup, khususnya dalm hal ini hewan, tidak mungkin hidup pada kisaran  factor abiotik yang seluas luasnya , pada prinsipnya , bahwa masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua factor lingkungan . prinsip yang sama dinyatakan sebagai hokum toleransi shelford, yang bunyinya” bahwa setaip organism mempunyai suatu minimum dan maksimum akologis, yang merupaakan batas atas dari kisaran toleransi organism itu terhadap kondisi factor lingkungannya”.

   Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi factor lingkungannya yang mendakati batas kisaran toleransinya, maka organismenya mengalami keadaan cekaman(sters) fisiologis, dengan kata lain organisme berada dalam kondisi  kritis yang yang menentukan lulus hidup tidaknya, sebgai contoh hewan yang didedahkan  pada suhu ekstrim  rendah akan menunjukan kondisi kritis berupa  hipotermia, sedang pada suhu ekstrim tinggi akan menyebabkan gejala hipertemia. Apabila kondisi suhu lingkungan  suhu yang mendekati  batas-batas kisaran toleransi hewan itu berlangsung lama dan tidak  segera berubah menjadi  baik, maka hewan itu akan mati, setiap kondisi factor lingkungan yang  besarannya atau intensitasnya mendekati batas  kisaran  toleransi organism. Akan  beroprasi sebagai factor pembatas  yang berperan sangat  menentukan kelulusan  hidup organism. Pada gamar 2.7  diberikan diagram  hubungan antara aktifitas suatu hewan dengan suatu konndisi lingkungan.

    Tidak mudah untuk menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan terhadap suatu factor lingkungan .terlebih-lebih lagi dalam lingkungan alami.  Setiap organism terdedah sekaligus pada sejumlah  factor lingkungan  dan oleh adanya suatu factor interaksi  factor maka  sesuatu factor lingkungan  dapat saja merubah factor lingkungan lain. Misalnya , suatu individu hewan  akan merusak efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban  udara yang relative rendah . dengan perkataan lain  hewan akan lebih tahan terhadap  suhu tinggi apabila  udara kering dibandingkan  dengan pada kondisi  udara yang lembab.

Description: D:\DATA\tugas kampus\SEMESTER VI\ekwAN\20150216_081353.jpg

   Pada gambar di atas; dalam kisaran optimum (a) kinerja hewan maksimal, b-c = batas-batas kondisi sekitar kisaran optimum yang diperlukan untuk berkembang biak, d-e = batas-batas kondisi untuk pertumbuhan, f-g = batas kelulusan hidupan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa persyaratan kondisi lingkungan untuk terjadinya perkembangbiakan harus lebih baik dari pada untuk pertumbuhan, dan persyaratan kondisi untuk pertumbuhan masih lebih baik dari pada untuk kelulus-hidupan semata.

   Dalam laboratorium pun batas-batas kisaran toleransi hewan terhadap sesuatu faktor lingkungan tidak mudah menentukannya.Salah satu penyebabnya ialah sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan mati.Cara yang biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual batas-batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari jumlah individu setelah didedahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama rentang waktu tertentu. Untuk sesuatu kondisi suhu, misalnya, ditentukan LT50 – 24 jam atau LT50 – 48 jam (LT = Lethal Temperature). Untuk konsentrasi suatu zat dalam lingkungan bisanya ditentukan dengan LC50 – X jam (LC = Lethal Concentration); X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis ditentukan LD50 – X jam.

   Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berjenis-jenis hewan yang berbeda dapat berbeda pula. Jenis hewan yang satu mungkin lebar kisaran toleransinya (e u r i-), jenis hewan lain mungkin sempit (s t e n o-). Ikan mujair misalnya mempunyai kisaran toleransi yang relatif lebar terhadap salinitas (= eurihalin), sedang berjenis-jenis ikan laut yang memiliki kisaran toleransi terhadap kadar garam yang sempit (stenohalin). Sempit dalam pengertian hanya dapat hidup pada kadar garam rendah (oligohalin) atau hanya dapat hidup pada kadar yang tinggi (polihalin).

   Demikian pula halnya suatu jenis hewan tertentu dapat berbeda-beda kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungan yang berbeda.Misalnya hewan itu bersifat stenohidris dan oligohidris (kisaran toleransi terhadap rentangan suhu lebar).Jenis-jenis hewan yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor-faktor lebar, biasanya mempunyai daerah penyebaran yang relatif luas.

Description: D:\DATA\tugas kampus\SEMESTER VI\ekwAN\20150216_081410.jpg

   Seperti sudah disinggung terdahulu, kondisi faktor lingkungan yang optimum atau paling disukai hewan atau preferendum, akan menghasilkan kinerja biologis yang paling tinggi. Preferendum untuk suatu faktor lingkungan relatif mudah ditentukan di laboratorium. Tidak demikian halnya di lingkungan alami. Terkonsentrasinya dalam jumlah banyak dari individu-individu suatu spesies hewan di suatu tempat dalam jumlah banyak dari individu-individu suatu spesies hewan di suatu tempat dalam habitat alaminya, belum tentu menunjukkan bahwa kondisi dari satu atau beberapa faktor lingkungan di tempat itu merupakan preferendum sebenarnya.Kehadiran pesaing atau predator dapat menyebabkan terhalangnya populasi hewan untu mendiami tempat dengan kondisi faktor-faktor lingkungan penting di kisaran-kisaran optimumnya.

Bergerombolnya sejumlah rusa di suatu pojok atau bagian savana mungkin bukan menggambarkan ketersediaan makanan yang banyak atau kondisi lingkungan lainnya yang optimum, tetapi mungkin juga disebabkan oleh kehadiran pesaing atau predatornya di bagian yang lain.

   Hewan yang berada dalam stadia muda hasil berbiak (telur, larva, anak) pada umumnya mempunyai kisaran toleransi yang sempit untuk sejumlah faktor lingkungan.Hal ini karena ketahanan tubuhnya terhadap tekanan kondisi faktor lingkungan yang ektrim tidak sekuat pada hewan dewasa.Demikian halnya dengan hewan yang sedang dalam masa berbiak, kisaran toleransinya lebih sempit bila dibandingkan dengan yang tak bebiak, kisaran toleransinya lebih sempit bila dibandingkan dengan yang tak berbiak.Hewan yang berbiak membutuhkan kondisi lingkungan berada di sekitar kondisi preferendumnya atau kondisi optimum yang paling disukainya.Karena relatif sempitnya kisaran-kisaran toleransi stadia muda hewan dan hewan yang sedang berbiak terhadap berbagai faktor lingkungan, maka perubahan kondisi faktor-faktor lingkungan itu relatif tinggi peluangnya untuk beroperasi sebagai faktor pembatas.Karena itu maka musim perkembangbiakan hewan seringkali dianggap sebagai perioda kritis.

   Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun demikian dapat mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di alam) atau aklimasi (di laboratorium). Aklimatisasi adalah usaha dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru.Aklimasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi satu faktor lingkungan tertentu dalam laboratorium sebagai contoh, untuk penelitian tentang pengaruh suatu bahan terhadap kehidupan ikan, maka peneliti harus mengaklimatisasikan ikan-ikan sampel tersebut di kolam buatan yang baru di laboratorium untuk beberapa waktu, sampai ikan-ikan tersebut telah terbiasa dengan kondisi barunya. Dalam hal ini, faktor-faktor lingkungan yang harus dihadapi oleh ikan mungkin berupa, luasnya area kolam, jenis dan kondisi air, pencahayaan, suhu lingkungan, jenis dan makanan, keasaman air, kadar mineral atau salinitas. Jika tidak dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu pada ikan-ikan sampel, maka kematian hewan atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahan dedahan tersebut, bisa berarti tidak semata-mata karena pengaruh bahan tersebut, tetapi juga karena ikan belum terbiasa dan stres menghadapi kondisi lingkungan barunya.Jika aklimatisasi ini hanya dilakukan untuk satu faktor tertentu, misalnya suhu lingkungan, maka lebih tepat disebut aklimasi.

 

 

2.5 Aspek Terapan Kisaran Toleransi dan Faktor Pembatas

   konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum sudah sering diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, konservasi dan lain sebagainya. Pada dasarnya, untuk jenis-jenis hewan yang berguna yang produksinya diupayakan agar sebanyak mungkin, lingkungan hidupnya oleh si pemelihara akan dibuat sedemikian rupa agar kondisi berbagai faktor lingkungan hewan itu mendekati preferendumnya. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan dan reproduksi, dapat maksimum. Untuk jenis-jenis hewan yang merugikan kondisi lingkungan biasanya dibuat agar sebaliknya.

2.5.1 Pengendalian hama

   Penerapan konsep kisaran toleransi dan faktor pembatas di bidang pertanian dan perkebunan, salah satu di antaranya ialah dalam hal pengendalian hama serangga. Untuk jenis hewan demikian upaya yang dilakukan ialah misalnya dengan membuat kondisi lingkungan di luar batas atas ataupun bawah kisaran toleransinya.Berikut ini adalah sebuah contohnya.

   Larva serangga Limonius (Elateriadea, Coleoptera) dikenal sebagai pengganggu tanaman bit gula di daerah pantai barat Amerika Serikat. Pengembangan lapangan menunjukkan bahwa kelembaban tanah merupakan faktor pembatas utama serangga itu.Penelitian-penelitian yang dilakukan di laboratorium selanjutnya menunjukkan bahwa kisaran toleransi terhadap kelembaban dari stadia larva dan prapupa adalah relatif paling sempit dibandingkan dengan stadia telur ataupun hewan dewasanya. Dari hasil kedua pendekatan itu didapatkan dua alternatif cara pengontrolan serangga itu. Cara pertama, yaitu yang praktis dilakukan di daerah perkebunan yang teringasi ialah dengan jalan mengairi lahan. Dengan perkataan lain, cara ini ialah membuat kondisi lingkungan melampaui batas maksimum toleransinya. Cara kedua ialah dengan membuat kondisi melampaui batas bawah kisaran toleransinya.Cara yang praktis dilakukan di lahan-lahan yang tidak teririgasi ialah dengan menanam tumbuhan yang mengeringkan tanah seperti alfafa (Medicago sativa, Leguminosae) atau gandum.

2.5.2 Indikator ekologi

   Seperti dijelaskan di depan bahwa kondisi faktor-faktor lingkungan bersifat dinamis, baik dalam skala ruang maupun skala waktu. Dalam skala ruang, faktor-faktor lingkungan di dapat berbeda-beda.Karena setiap hewan memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran hewan di suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi dan faktor lingkungan di tempat tersebut.Analogi kebalikannya dapat diartikan bahwa kehadiran dan kinerja populasi hewan di suatu tempat dapat memberikan gambaran tentang kondisi fakor-faktor lingkungan di tempat tersebut. Hal yang biasa diamati orang dalam kehidupan sehari-hari, jika di meja makan banyak semut berkumpul pasti di tempat tersebut ada tumpahan air gula atau bahan yang mengandung gula.Jika di suatu lapangan rumput terdapat segerombolan rumput yang jauh lebih subur dari bagian lain di lapangan tersebut, maka kita dapat menduga bahwa ditempat tersebut ada bekas kotoran ternak sapi atau kambing atau jenis tanahnya yang lebih subur. Contoh lain yang sering mudah dibuktikan adalah jika di suatu habitat ditemukan hewan Mollusca yang bercangkang tebal, menunjukkan bahwa tanah di daerah tersebut kadar mineral kapurnya tinggi, sebaiknya jika cangkangnya tipis berarti kadar kapurnya rendah.

   Berdasarkan alasan atau analogi seperti di atas lahirlah apa yang disebut spesies indikator ekologi, baik pada kajian ekologi hewan maupun ekologi tumbuhan. Spesies indikator ekologi, adalah suatu spesies organisme yang kehadirannya ataupun kelimpahannya dapat memberikan petunjuk mengenai bagaimana kondisi faktor-faktor fisika-kimia lingkungan disuatu tempat.

   Beberapa spesies hewan telah disepakati sebagai spesies indikator.Namun informasi mengenai spesies hewan indikator, yang pada umumnya bersifat mobil, masih kurang.Untuk lingkungan perairan laut dengan dasar berlumpur dikenal Capitella capitata (termasuk Polychaeta), sebagai spesies indikator untuk oencemaran bahan organik.Untuk lingkungan perairan tawar, spesies indikator untuk pencemaran bahan organik.Untuk lingkungan perairan tawar, spesies indikator untuk pencemaran bahan organik adalah cacing Tubifex (Olygochaeta) dan larva Chironomus (Diptera).Karena kedua jenis hewan ini sangat toleran terhadap kandungan oksigen terlarut yang rendah. Bahan-bahan organik yang masuk ke lingkungan perairan akan di dekomposisi oleh mikroba air dan banyak mengandung oksigen. Pada proses seperti akan terjadi pergurangan kadar oksigen dalam perairan dan dikatakan nilai BOD perairan Yang tercemar bahan organik  tersebut sangat tinggi. Cobalah invertarisasikan jenis hewan lain yang berfungsi sebagai spesies indicator ekologi.

Untuk menentukan sesuatu spesies sebagai indikator ekologi diperlukan bukti-bukti lapangan yang banyak.Selain itu diperlukan pula bukti-bukti eksperimental untuk menentukan beroperasinya factor pembatas dan untuk mengetahui kemampuan organisme itu menyesuaikan diri.

Suatu spesies yang baik digunakan sebagai indikator biasanya memenuhi kriteria sebagai berikut :

1)    Kisaran toleransinya sempit untuk satu atau beberapa faktor lingkungan.

2)    Berukuran tubuh cukup besar sehingga mudah terdeteksi dan memiliki laju balikan yang rendah

3)    Kelimpahannya tinggi sehingga mudah didapatkan dan mudah dijadikan sample

4)    Mudah diidentifikasi

5)    Mempunyai distribusi yang kosmopolit

6)    Mudah mengakumulasikan zat-zat polutan

7)    Mudah dipelihara di laboratorium

8)    Mempunyai keragaman jenis atau genetik dan relung yang sempit (Ibkar Kramadibrata, 1992; Tresna, 1991)

Penggunaan spesies hewan sebagi spesies indikator dapat didasarkan pada ;

1)    Kehadiran spesies indicator,

2)    Ketidak-hadiran spesies lain yang biasanya ada,

3)    Hubungan numerical  populasi dalam komunitas,

4)    Indeks keanekaragaman spesies, atau yang lainnya.

Sebagai contoh penggunaan nilai indeks keanekaragaman spesies dari komunitas bentos sebagai patokan dalam penentuan kualitas perairan tawar.

 

Indeks diversitas/                    Derajat pencemaran perairan

 Keanekaragaman                                                                   

>2,0                                  Tidak tercemar

1,6-2,0                                 Tercemar ringan

1,0-1,6                                 Tercemar sedang

<1.0                                  Tercemar berat

 

2.6 Gambaran Umum Faktor-Faktor Lingkungan

Sebenarnya sangat banyak macam dari faktor-faktor lingkungan yang ikut, baik secara actual maupun potensial, mempengaruhi kehidupan hewan.Namun dalam kajian ini hanya dibatasi pada beberapa factor lingkungan yang penting bagi hewan, antara lain suhu, air dan kelembapan, cahaya matahri, gas-gas atsmosfer, arus dan tekanan, garam-garam mineral dan pencemar.

 

 

 

2.6.1 Suhu

Suhu merupakan factor lingkungan sangat penting bagi hamper semua mahluk hidup. Suhu merupakan factor yang sangat menentukan aktivitas enzim di dalam tubuh organisme. Peningkatan suhu tubuh pada rentang kisaran toleransi hewan akan menyebabkan kenaikan aktivitas enzim dalam membantu reaksi metabolisme. Suhu yang ekstrim tinggi menyebabkan protein, sebagai komponen utama penyusun enzim, akan rusak atau denaturasi dan menyebabkan enzim tidak mampu lagi melakukan fungsinya sebagai biokatalisator. Demikian juga kalau suhu tubuh turun angat ekstrim, bahkan mungkin di bawah batas kisaran toleransinya, akan menyebabkan aktivitas enzim sangat rendah.

Suhu juga merupakan suatu faktor lingkungan yang seringkali beroperasi sebagai faktor pembatas dan paling mudah diukur.Variabilitas suhu mempunyai arti ekologis. Fluktuasi suhu 10-20o C dengan suhu rata-rata 15o C, pengaruhnya terhadap hewan tidak sama dengan suhu konstan 15o C. pada jenis-jenis belalang dan kupu-kupu yang diamati, suhu yang bervariasi menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat. Berbagai jenis hewan yang biasa hidup dilingkungan alam bebas yang suhunya bervariasi, aktifitas hidupnya akan terganggu bila di pelihara dalam lingkungan yang suhunya konstan.

Dibandingkan dengan lingkungan daratan, lingkungan perairan mempunyai fariasi suhu yang ralatif sempit.Hal ini karena air sebagai penutup permukaan bumi mempunyai peran peredam panas dari pancaran matahari.Sehubungan dengan itu maka kisaran toleransi hewan-hewan akuatik pada umumnya relative sempit pula dibandingkan denga hewan-hewan daratan.Selain itu berjenis-jenis ikan dan hewan invertebrate yang hidup di perairan bahari pada umunya kurang tahan terhadap suhu tinggi.

 

2.6.2 Air dan kelembapan

Air bagi mahluk hidup bias menjadi sumberdaya dan juga menjadi kondisi. Dilingkungan daratan, air seringkali dapat beroperasi sebagai factor pembatas vagi kelimpahan dan penyebaran heawan-hewan terrestrial.Demikian pula bagi hewan-hewan yang biasa hidup di tempat-tempat yang lembab, kandungan air yang rendah atau kekeringan juga merupakan factor pembatas yang menentukan keberhasilan hidupnya.

Untuk daerah tropika, kedudukan air dan kelembapan sama pentingnya dengan peranan cahaya, fotoperiodisme dan ritma suhu di daerah-daerah temperate dan yang beriklim dingin. Maslah air dan kelembapan itu erat kaitannya denga pola curah hujan, bagi kehidupan flora dan fauna di suatu daerah. Yang penting artinya itu bukan hanya spek banyajnya (mm, cm) curah hujan saja  namun juga aspek sebaran curah hujan itu sepanjang tahun. Dengan terpusatnya curah hujan pada bulan-bulan tertentu sja maka organissme-organisme dihadapkan pada adanya musim hujan dan musim kering.Pada musim kering air berperan sebagai factor pembatas yang penting.Di daerah tropika air pun merupakan suatu factor pengendali untuk terjadinya aktifitas musiman.

Uap air yang terkandung dalam udara, yang biasa dikenal sebagai kelembapan udara, dapat dinyatakan sebagai mmHg tekanan uap air atau mmHg deficit tekanan uap, yang diartikan sebagai tekanan perbedaan persial uap air jenuh denga tekanan parsial uap air sebenarnya. Banyaknya uap air dalam udara, yang dinyatakan dalam g uap air /kg udara atau ppm, disebut kelembapan absolut.Kadar jenuh uap air dalam udara bervariasi menurut suhu udara; makin tinggi suhu udara makin banyak pula uap air maksimum yang dapat dikandungnya. Dalam studi-studi ekologi, yang paling umum diukur ialah kelembapan nisbih (relative). Kelembapan relative adalah perbandingan antara banyaknya uap air dalam udara dengan banyaknya uap air dalam udara bila jenuh, pada ssuhu dan tekanan barometik yang sama, dinyatakan dalam persen, banyak diantara alat pengukur kelembapan relative itu pembacaan pengukurannya didasarkan pada ssuhu thermometer basah dan thermometer kering dan dibantu dengan table khusus untuk itu.

Masalah yang di hadapi oleh hewan-hewan daratan pada kelembaban rendah, terutama sekali bila suhu tinggi, ialah bagaimana mengurangi penguapan atau kehilangan air dari tubuhnya. Cara untuk mengatasi masalah ini bermacam-macam, salah satu di antaranya ialah dengan estivasi “tidur musim kering”.Dalam kondisi demikian, laju metabolisme hewan sangat tereduksi dan tubuhnya yang inaktif itu mendapat tambahan perlindungan berupa struktur-struktur khusus. Dalam suatu habitat berupa padang pasir, yang keadaan panas dan kering, praktis semua jenis-jenis hewan penghuni padang pasir mendapatkan air dari hasil metabolisme hidrat arang dalam tubuhnya, serta urine dan fesesnya padat dan kering.

Kelembapan mempunyai peranan penting dalam mengubah efek dari suhu.Dalam lingkungan daratan terjadi interaksi antara suhu dan kelembapan yang sangat erat, sehingga suhu-kelembapan dianggap sebagai bagian yang sangat penting dari kondisi cuaca dan iklim. Karena itu kedua factor lingkungan itu hamper selalu diukur. Efek membatasi dari factor suhu biasanya mencolok bila kondisi kelembapan ekstrim tinggi atau ekstrim rendah. Demikian pula sebaliknya efek dari factor kelembapan akan mencolok bila kondisi suhu ekstrim tinggi atau ekstrim rendah.

Kondisi dari dua factor iklim, seperti halnya suhu dan kelembapan dapat dinyatakan dalam bentuk klimograf. Grafik yang menyatakan hubungan antara dua factor iklim tersebut acapkali digunakan sebagai bahan pembanding dari kondisi kedua factor iklim tersebut pada tempat-tempat yang berbeda, atau ditempat yang sama pada waktu yang berbeda-beda. Melalui klimograf kita juga dapat mengetahui peranan kedua factor itu sebagai factor pembatas, untuk bahan menganalisa atau membuat peramalan mengenai kinerja suatu populasi hewan.

Description: D:\DATA\tugas kampus\SEMESTER VI\ekwAN\20150216_081445.jpg

Gambar 2.9 : Dua contoh klimograf berikut kegunaannya (Odum,1979)

A.  Menunjukkan rata-rata bulanan dan kondisi suhu dan curah hujan di Montana dan Missouri, Amerika Serikat Puyuh Hongana yang dimasukkan ke Amerika Serikat di Montana berhasil dikembangbiakkan sedang di Missouri gagal. Klimograf menunjukkan bahwa , dengan mengacu pada kondisi optimum di Eropa, kondisi di Missouri dalam 5 bulan menunjukkan suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi untuk pengembangbiakan puyuh. Kondisi demikian tidak terjadi di Montana.

B.   Populasi lalat yang merupakan hama jeruk akan sangat meningkat bila kondisi faktor iklim optimum. Kondisi suhu dan kelembaban di Tel Aviv-Israel pada tahun 1927 lebih menguntungkan bagi lalat hama jeruk tersebut dibandingkan dengan tahun 1932. Karena itulah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan hama jeruk lebih berat pada tahun 1927.

 

2.6.3 Cahaya Matahari

   pada umumnya kehidupan tumbuhan sangat tergantung pada adanya cahaya matahari, karena energi cahaya atau foton sangat mutlak untuk fotosintesis. Tidak demikian halnya dengan hewan, yang seolah-olah tidak selalu membutuhkan cahaya secara langsung.Namun sebenarnya cahaya matahari mempunyai peranan penting khususnya bagi hewan-hewan diumal, yang mencari makan dan melakukan interaksi biotik lainnya secara visual atau mempergunakan rangsang cahaya untuk melihat benda.Untuk mengetahui efek ekologis dari dari cahaya matahari, yang perlu diperhatikan ialah aspek intensitasny, kualitasnya serta lamanya penyinaran.

   Tampaknya diantara intensitas dan kualitas cahaya dengan warna tubuh hewan terdapat semacam korelasi.Hewan-hewan pelagis cenderung berwarna transparan, berwarna biru dengan punggung kehijau-hijauan atau berwarna coklat dengan bagian abdomen putik perak.Berkaitan dengan macam sinar yang menembus hingga suatu kedalaman, pada kedalaman 750 m di lautan daerah tropika, hampir semua jenis Decapoda warna tubuhnya merah.

2.6.4 Gas-gas atmosfer

   Atmosfer merupakan lapisan permukaan planet bumi yang berisi campuran berbagai gas.Atmosfer di samping sebagai medium hidup berbagai jenis hewan, atmosfer sangat penting peranannya bagi kehidupan di bumi karena dapat menapis energi panas yang tinggi atau berbagai sinar dengan gelombang yang membahayakan tubuh makhluk hidup, seperti sinar ultra violet.

   Kandungan gas-gas atmosfer dalam lingkungan daratan adalah relatif konstan, karena itu jarang sekali beroperasi sebagai faktor pembatas. Meskipun kandungan gas karbondioksida (0,03%) dan ozon (0,00006%) rendah sekali, namun peranan kedua gas atmosfer itu fital bagi kehidupan. Karbon dioksida penting bagi berlangsungnya proses fotosintesis, dan ozon untuk menyaring radiasi sinar ultra violet.

   Dalam lingkungan akuatik, berbeda dengan lingkungan daratan, kandungan gas-gas atmosfer itu sifatnya lebih variabel, sehingga penting peranannya sebagai faktor pembatas.Hal ini terutama menyangkut gas oksigen, yang vital bagi sekalian organisme aerob yang berperan membatasi pada kadar-kadar rendah. Sementara itu, kandungan karbondioksida , yang penting bagi fotosintesis organisme-organisme autotrof, peranannya membatasinya itu terjadi pada kadar-kadar tinggi.

 

2.6.5 Arus dan tekanan

   Arus udara (angin)berperan secara langsung ataupun melalui pengaruhnya terhadap penguapan, dalam hal transfer panas. Selain itu angin pun mempunyai pengaruh membatasi terhadap berbagai jenis hewan terbang, seperti serangga dan burung, misalnya dalam hal aktivitas pergerakan setrta penyebarannya.

   Dalam lingkungan akuatik, arus berperan secara langsung sebagai faktor pembatas bagi jenis-jenis hewan akuatik yang tidak teradaptasi khusus untuk menghadapi faktor arus.Selain itu, pengaruh arus air dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui kelarutan gas-gas atmosfer dan garam-garam.

   Dalam lingkungan daratan, tekanan barometrik belum diketahui benar pengaruhnya terhadap hewan, kecuali peranan yang tidak langsung melalui terjadinya perubahan-perubahan kondisi cuaca dan iklim. Dalam lingkungan akuatik, sperti halnya di danau-danau dan laut-laut dalam, tekanan hidrostatik akan makin bertambah dengan makin bertambahnya kedalaman, yaitu sekitar 1atm per 10m. Jenis-jenis hewan yang kisaran toleransinya lebar terhadap tekanan hidrostatik mempunyai jangkauan ruang gerak dan penyebaran vertikel yang luas dalam lingkungan tempat hidupnya itu.

   Di bagian dasar lautan yang dalam sekali tekanan hidrostatik dapat mencapai ratusan atm. Jenis-jenis hewan yang hidup dalam lingkungan demikian mempunyai adaptasi-adaptasi khusus untuk itu.Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk menangkap spesimen-spesimen lautan dalam dan mengangkatnya ke permukaan dalam keadaan hidup untuk keperluan penelitian, misalnya, memerlukan teknik-teknik penanganan yang khusus.

 

2.6.6 Garam dan salinitas                 

   Pengaruh garam yang terdapat di lingkungan tempat hidup terhadap hewan, pada umumnya bersifat fisiologis melalui berbagai fungsinya sebagai zat hara (nutrient) yang terkandung dalam makanan yang dimakan hewan itu.Untuk hewan-hewan perairan, garam terlarut berpengaruh secara langsung sebagai faktor salinitas, karena itu bagi hewan-hewan yang bersifat stenohalin tingkat salinitas lingkungan dapat beroperasi sebagai faktor pembatas, baik pada konsentrasi tinggi atau rendah.

   Sebagai bagian dari makanan, garam-garam tertentu diperlukan dalam jumlah besar (makronutrien), misalnya untuk membangun cangkang, rangka, kulit telur dan sebagainya. Disamping itu hewan-hewan pada umumnya membutuhkan paling sedikit 12 unsur, yaitu P, K, Na,Cl, S, Mg, Fe, Cu, Mn, Co DAN Zn, dalam bentuk mikronutrien untuk berbagai fungsi fisiologis dan struktural tubuhnya. Garam-garam hanya diperlukan dalam jumlah yang sangat sedikit itu, apabila dalam jumlah banyak akan beroperasi sebagai faktor pembatas, karena akan memberikan efek negatif, yaitu menganggu atau menurunkan peluang untuk keberhasilan hidup hewan itu.

   Kurang ataupun tidak terdapatnya suatu unsur dan senyawa penting dalam lingkungan hidup hewan, adakalanya tampak dari komposisi kimia atau penampilan tubuh, bagian tubuh dan produk-produk yang dihasilkan hewan seperti telur, cangkang dan sebagainya.Kurangnya zat kapur di suatu tempat dapat mengakibatkan jenis-jenis mollusca yang hidup di tempat itu bercangkang tipis.Namun demikian pula dicatat bahwa tipisnya cangkang tidak selalu disebabkan oleh kurangnya masukan zat kapur semata-mata.Hasil analisis kimia dari bulu burung dapat menunjukkan komposisi yang merefleksikan kandungan unsur-unsur di daerah yang ditempati burung selama periode pertumbuhan dan bulu barunya.

 

2.6.7 Polutan dan pencemaran

   Masalah pencemaran oleh zat-zat polutan menjadi hal yang sangat menonjol belakangan.Sejak beberapa dekade terakhir ini faktor-faktor pencemar yang pada dasarnya merupakan hasil sampingan berbagai aktivitas manusia, makin lama makin sering dijumpai di lingkungan.Hal itulah, antara lain, yang telah menyebabkan timbulnya urgensi untuk menjaga kualitas kondisi lingkungan hidup.

   Pada masa ini pencemaran praktis dapat dijumpai di mana-mana, baik di lingkungan daratan (tanah), perairan (tawar, payau, laut), dan juga di udara.Jenis, asal, derajat toksitas dan efeknya terhadap organisme dari agen-agen pencemar itu bermacam-macam.Hal ihwal pencemar-pencemar tersebut dibahas secara lebih khusus dalam suatu cabang ilmu yang disebut ekotoksikologi.

   Secara umum dapat dikatakan bahwa efek suatu pencemar terhadap hewan dapat secara langsung, misalnya melalui kontak atau tidak secara langsung melalui rantai makanan. Di daerah yang mengalami pencemaran (polusi), konsentrasi ataupun intensitas polutan dapat mencapai tingkat letal, sehingga langsung mematikan, menarik untuk disimak tentang kemungkinan adanya individu-individu dengan variasi genetik tertentu yang berhasil lulus hidup. Individu-individu demikian seandainya dapat berkembangbiak dan menurunkan “gen-gen toleran” pada generasi berikutnya, dapat dianggap sebagai “nenek moyang” suatu populasi yang toleran polutan. Ditinjau dari aspek tersebut, pencemaran dapat dianggap sebagai semacam peluang bagi para ilmuwan untuk menyelidiki beraksinya proses evolusi.

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1 Kesimpulan

1)    Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya.

2)    Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotik dan abiotik yang ada disekitar hewan dan dapat mempengaruhinya. Setiap hewan hanya dapat lulus hidup tumbuh dan berkembang biak dalam suatu lingkungan yang menyediakan kondisi yang cocok baginya dan sumberdaya yang diperlukannya , serta terhindar dari faktor-faktor abiotik maupun biotik lingkungan yang membahayakan kelulusan hidupnya

3)    Hewan dikatakan sebagai heterotroph yaitu hewan tidak dapat mensintesis makanannya sendiri dari bahan anorganik dilingkungannya memenuhi kebutuhannya akan bahan-bahan organik berenergi tinggi, guna menyediakan energi untuk aktifitas hidup dan menyediakan bahan-bahan untuk membangun tubuhnya , hewan mengambil bahan organik dari mahkluk hidup lain , baik tumbuhan maupun hewan lain .

4)    Hewan ektotermi adalah hewan yang untuk menaikkan suhu tubuhnyamemperoleh panas yang berasal dari lingkungan, sedangkan hewan yang suhu tubuhnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan suhu lingkungandisebut sebagai hewan poikilotermi (poikilotherm, poikilothermic), yang dalam istilah lain disebut hewan berdarah dingin.

5)    Masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua factor lingkungan . prinsip yang sama dinyatakan sebagai hokum toleransi shelford, yang bunyinya” bahwa setaip organism mempunyai suatu minimum dan maksimum akologis, yang merupaakan batas atas dari kisaran toleransi organism itu terhadap kondisi factor lingkungannya”.

6)    Faktor lingkungan yang penting bagi hewan, antara lain suhu, air dan kelembapan, cahaya matahri, gas-gas atsmosfer, arus dan tekanan, garam-garam mineral dan pencemar.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Darmawan,Agus. 2005. Ekologi Hewan. Universitas Negeri Malang. Malang

 

Begon, M., T.L. Harper & C.R. Townsend. 1986.Ecology: Individuals PopulationsandCommunities

 

Blacwell.Oxfor.Kendeigh, S.C.1980. Ecology With Special Reference to Animal & ManPrenticeHall, New Jersey.

 

 

 

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar: