BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tasawuf sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti beribadah kepada Allah
SWT seakan-akan melihat-Nya, apabila tidak mampu demikian, maka harus disadari
bahwa Dia melihat diri kita, merupakan kualitas penghayatan seseorang terhadap
agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana
mistisisme pada umumnya, bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam
pada diri manusia. Yaitu dorongan-dorongan untuk merealisasikan diri secara
menyeluruh sebagai makhluk. Tasawuf mempunyai potensi yang besar karena mampu menawarkan
pembebasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri dan akhirnya
mampu mengenal Tuhannya.
Tasawuf pada intinya upaya melatih jiwa dengan berbagai aktifitas yang
dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin
akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah. Tasawuf adalah suatu sistem latihan
dengan kesungguhan (riyadah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan
memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah SWT,
sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepadaNya.
Untuk mencapai tujuan hubungan batin dan kedalaman rohaniah, jalan yang
harus ditempuh oleh seorang sufi bukanlah jalan yang mudah, namun penuh dengan
rintangan dan hambatan yang membutuhkan perjuangan keras. Mereka
harus menempuh tahapan-tahapan spiritual yang dalam tradisi tasawuf dinamakan
dengan istilah maqam atau stasion. Untuk pindah dari satu stasion ke stasion
berikutnya menghendaki usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.
Makalah ini akan mencoba menyajikan pembahasan seputar pengertian maqamat
dan ahwal serta struktur maqamat dan ahwal tersebut dalam perspektif para sufi
dengan mencoba membandingkan konsep dan pendapat yang beragam sehingga
diharapkan terangkum dalam rangkaian sejarah pemikiran tentang maqamat dan
ahwal dalam tradisi tasawuf.
BAB II
PERMASALAHAN
A.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimagsud maqamat?
2)
Apa yang dimagsud ahwal?
3)
Bagaimana struktur maqamat?
4)
Bagaimana struktur ahwal?
B.
Pembahasan Masalah
A.
Pengertian Maqamat dan Ahwal
1)
Maqamat
Maqamat adalah jamak dari maqam, secara harfiyah maqamat berasal dari
bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.Juga bisa
berarti tempat atau kedudukan (stations). Istilah ini
selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam Sufi Terminology: The
Mystical Language of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual.
Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya (mujahadah) dan ketulusan
dalam menempuh perjalanan spiritual. Namun sesungguhnya perolehan tersebut
tidak lepas dari karunia yang diberikan oleh Allah.
Suatu maqam
tidak lain adalah merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Inilah yang
membedakannya dengan keadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara. Meskipun
dalam hal ini juga masih terjadi perdebatan di antara para ahli.
Seseorang
tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam lain sebelum ia memenuhi semua
persyaratan yang ada pada maqam tersebut. Sebagaimana digambarkan oleh
al-Qusyairi bahwa seseorang yang belum sepenuhnya qanaah tidak bisa mencapai
tawakkal. Dan siapa yang belum sepenuhnya tawakkal tidak bisa sampai pada
taslim. Barangsiapa belum taubah tidak bisa sampai pada inabat dan barang siapa
belum wara’ tidak bisa mencapai zuhud, begitu seterusnya. Tahapan kedudukan
spiritual ini tidak sebagaimana pemberhentian kereta api di stasiun, dimana
ketika kereta api tersebut melanjutkan perjalanan menuju stasiun berikutnya,
berarti meninggalkan tingkatan yang lebih rendah. Sebab, seseorang beranjak
dari tingkatan (maqam) pertama ke kedudukan berikutnya, ia akan senantiasa
menduduki maqam-maqam sebelumnya dan begitu seterusnya. Dengan demikian
kualitas-kualitas tingkatan tersebut akan senantiasa melekat, semakin tinggi kedudukan
yang dicapainya akan semakin sempurna dan utuh kualitas diri seseorang.
2)
Ahwal
Ahwal adalah
jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara
terminologis Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Menurut Harun
Nasution, hal merupakan keadaan mental seperti perasaan senang, perasaan sedih,
perasaan takut dan sebagainya.Hal masuk dalam
hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi
dari diri seseorang tanpa usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia datang dan
pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Maka sebagaimana dikatakan al-Qusyairi,
bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya (makasib) sedang hal adalah karunia
(mawahib). Sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam waktu
yang cukup lama dan kadang datang hanya sekejap. Hanya saja hal tidak datang
dengan tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan harus menjadi kepribadian
seseorang.
Menurut al-Qusyairi, dalam hal mengandung keadaan-keadaan tertentu yang
tidak tetap, jika keadaan ini menjadi tetap akan naik menuju keadaan lain yang
lebih halus dan begitu seterusnya. Terlepas dari semua pengertian dan
karakteristik dari hal, banyak kalangan yang menyatakan bahwa jika dipahami
lebih dalam, pada dasarnya hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi
tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sunggh-sungguh
dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Sebab
meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia namun seseorang yang ingin
memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau
ibadah. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ahwal dan
maqamat adalah satu kesatuan. Adapun perbedaan yang ada hanya ada dalam wilayah
teoritis semata.
B. Struktur
Maqamat dan Ahwal
1. Struktur Maqamat
Mengenai
struktur dan berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh para sufi, di kalangan
mereka tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf
li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagaimana dikutip
Ø
Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu
jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabar, al-faqr,
al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu
Sementara itu
Ø Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh,
yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, dan al-ridla.
Dalam pada itu
Dalam pada itu
Ø Imam al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan,
yaitu al-taubah, al-shabar, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah,
al-ma’rifah dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang
berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabar, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan
al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati
sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang
disebut terakhir itu terkadang para ahli tasawwuf menyebutnya sebagai maqamat
dan terkadang menyebutnya sebagai hal.
Untuk itu dalam pembahasan makalah ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih
lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabar, al-tawakkal, dan al-ridla. Penjelasan
atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.
Al-Taubah
Al-Taubah
berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Maqam taubah merupakan awal dari
perjalanan yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Para
ulama memberikan uraian yang berbeda satu sama lain mengenai taubah. Menurut
Ibnu al-Qayim al-Jauzi taubah adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah SWT,
menjauhkan diri dari segala yang dibenci dan sesat dan tidak berhasil kecuali
atas hidayah Allah menuju jalan yang lurus. Makna taubah yang
sebenarnya adalah penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah
dilakukan di masa lalu.
Selanjutnya
seorang yang bertaubah dituntut untuk menjauhkan diri dari segala tindakan
maksiat dan melenyapkan segala dorongan nafsu ammarah yang dapat mengarahkan
seseorang kepada tindak kejahatan.
Taubah juga bermakna kembali ke
asal. Yakni dengan taubah membuat jiwa seseorang kembali lagi sesuai dengan
kodrat asalnya yang fitri.Dengan kata lain, seorang sufi dituntut untuk dapat
mengembalikan stabilitas akal dan nafsunya, sehingga tidak mudah menyerahkan
dirinya pada keinginan nafsunya.
Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubah. Diantaranya ayat yang berbunyi:
Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubah. Diantaranya ayat yang berbunyi:
وتوبوا الى الله
جميعا ايه المؤمنون لعلكم تفلحون (النور : ٣۱)
Artinya:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur:31).
Ini juga dikuatkan dengan hadis Nabi yang tertuang dalam kitab Sahih Bukhari yang artinya: “Wahai manusia! Bertobatlah kepada Allah, maka demi Allah sesungguhnya aku telah bertobat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.”
Ini juga dikuatkan dengan hadis Nabi yang tertuang dalam kitab Sahih Bukhari yang artinya: “Wahai manusia! Bertobatlah kepada Allah, maka demi Allah sesungguhnya aku telah bertobat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.”
Dalam tradisi tasawwuf, taubah
dikategorikan dalam tiga tingkatan. Pertama,
taubah bagi kalangan awwam. Yakni taubah pada tingkatan yang paling
dasar. Dimana seseorang dituntut untuk memenuhi persyaratan paling minimal.
Yaitu menyesali segala perilaku kesalahan yang telah dilakukan dengan sepenuh
hati, serta meninggalkan perilaku kesalahan tersebut
untuk selama-lamanya. Lebih dari itu, juga harus diikuti dengan keyakinan untuk
tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Pada tingkatan kedua, taubah
berarti kembali dari yang baik menuju yang lebih baik. Seseorang yang bertaubah
pada tingkatan ini, dituntut untuk kembali dari perbuatan yang lebih baik
menuju yang terbaik.
Adapun taubah yang ketiga, yaitu
kembali dari yang terbaik menuju kepada Allah. Pada tingkatan ini seorang yang
bertaubah akan berbuat yang terbaik dengan tanpa motivasi apapun kecuali karena
Allah dan untuk Allah.
b.
Al-Zuhud
Dalam tradisi tasawwuf, zuhud
merupakan maqam yang sangat menentukan. Sehingga hampir seluruh ahli tasawwuf
selalu menyebutkan zuhud sebagai salah satu maqamatnya. meskipun dengan urutan
yang berbeda. Zuhud merupakan suatu maqam yang pasti harus dilalui oleh seorang
sufi. Dalam hal pengertian pun, para ahli mengungkapkan pengertian yang hampir
menyerupai dengan maqam lainnya. Bahkan dikatakan seluruh maqamat yang disebut
oleh para sufi merupakan pengejawantahan dari zuhud. Pentingnya posisi zuhud
dalam tasawuf, menurut Amin Syukur, ialah karena melalui maqam zuhud seorang
sufi akan dapat membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain
Allah SWT, dan terpenuhinya kalbu dengan zikir atau ingat kepada Allah.
Zuhud termasuk salah satu ajaran
agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh
kehidupan dunia. Orang zuhud lebih mengutamakan kebahagiaan hidup di akhirat
yang kekal dan abadi, dari pada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas
lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi:
قل متاع الدنيا قليل والاخرة خير لمن اتقى ولا تظلمون فتيلا (النساء:۷۸)
Artinya:”
Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (Q.S.
al-Nisa: 78)
وما الحيوة الدنيا الا لعب ولهو وللدار الاخرة خير للذين يتقون افلا
تعقلون (الانعام:۳۲)
Artinya:”
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan sendau gurau
belaka. Dan sungguh kampong akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.(Q.S. al-An’am:32)
Pada periode klasik (650-1250 M)
umumnya para ulama sufi mengartikan zuhud secara ekstrim. Misalnya, Hasan
al-Basri sebagaimana diriwayatkan Abd al-Hakim Hasan bahwa ia pernah mengatakan:
“aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal
dari pada kamu dari barang yang haram.” Dari
ucapannya ini dia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud terhadap
barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan yang
lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang yang halal. Hasan al-Basri telah
mencapai tataran yang kedua ini, sebagaimana terekspresikan dalam bentuk
sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan dia pernah
mengatakan seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah makan
pasti akan dilakukan. Ekstrimitas pemikiran zuhud Hasan al-Basri dapat
dilihat dari ucapannya:” Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka
Dia mematikan keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.”
Rabiah al-‘Adawiyah (w.185 H/801 M),
memiliki ciri kezuhudan al-Mahabbah. Betapa cintanya kepada Tuhan, dia terseret
ke dalam “fatalisme” yaitu ketika dia sakit dia tidak mau mendoa dan
didoakan karena semua itu adalah kehendak kekasihnya Tuhan.” Cintanya yang
membara itu menjadikan dia membujang selama-lamanya. Alasannya dirinya adalah
milik Tuhan, barang siapa yang menginginkan dirinya harus meminta ijin
kepada-Nya. Rabiah menganggap dunia sebagai hijab (tabir penyekat) antara
dirinya dengan Tuhan.
Adapun
menurut al-Ghazali (540-505 H/1058-1111 M) hakekat zuhud ialah berpaling
dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik, benci dunia mencintai
akhirat, atau berpaling dari selain Allah kepada Allah SWT semata-mata.
Pada
periode pertengahan (1250-1800 M), adalah Ibn ‘Ata’illah al-Sakandari (w. 707
H/1307 M) seorang ulama besar, yang zahid. Beliau adalah penerus tariqah
al-Syazili (Syaziliyah). Pandangannya terhadap dunia dapat dilihat dari doktrin
tariqah ini yakni peniadaan rencana masa depan, sebab masa depan adalah
otoritas Tuhan. Manusia dalam hidupnya harus
menyerah penuh terhadap kehendak Allah dalam keadaan yang bagaimanapun.
Sementara itu ‘Alwi al-Hadad (
1044-1132 H/ 1634-1719 M), seorang ulama sufi dari Hadramaut mengungkapkan
pandangannya yang lebih moderat. Menurutnya, inti zuhud adalah kesadaran
jiwa akan rendahnya nilai dunia.Dunia adalah sesuatu yang terkutuk kecuali
ditujukan guna mencapai keridlaan Allah SWT.
Pemikiran
ulama sufi, baik klasik maupun pertengahan di atas mengenai zuhud, bila
dipahami sebagai akhlak Islam dan gerakan protes sosial maka formulasinya
tampak berbeda-beda sesuai dengan konteks sosialnya. Menurut
Harun Nasution sikap ini muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang
hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa.
Muawiyah misalnya disebut seperti raja Roma dan Persia yang hidup dalam
kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabok. Demikian halnya
dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin, anak Harun al-Rasyid juga dikenal
dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ia
dibenci oleh ibunya sendiri, Zubaidah.
Sementara itu sumber lain
menyebutkan bahwa sebelum timbul hidup mewah di zaman Umayah dan Abbasiyah itu
telah timbul pula sikap perlombaan dan persaingan tidak sehat di zaman Usman
dan Ali. Dalam keadaan yang demikian itu ada sahabat yang tidak mau melibatkan
diri. Mereka mengasingkan diri dari persaingan tersebut.dalam kondisi demikian
itu, maka timbullah sikap zuhud.
Dalam memaknai dan memandang zuhud,
ulama periode modern (mulai abad XVIII) menampilkan pemikiran yang lebih
simpatik terhadap kehidupan dunia. Abu al-Wafa al-Taftazani misalnya menyatakan
bahwa zuhud bukanlah kependetaan yang menyebabkan terputusnya kehidupan
duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang mengarahkan pandangan
seseorang tentang duniawi secara khusus. Seorang zahid tetap menjalankan
aktifitas keduniaannya secara aktif, namun hal itu tidak membelenggu kalbunya,
sehingga membuat mereka mengingkari Tuhan.
c.
Al-Wara’
Secara
harfiah al-Wara artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam
tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang
tidak jelas atau belum jelas hukumnya (subhat). Hal ini berlaku
pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia. Di samping itu, dalam tradisi
sufi wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik
berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal
yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.
Adapun yang menjadi dasar ajaran Wara’ antara lain sabda Nabi
Adapun yang menjadi dasar ajaran Wara’ antara lain sabda Nabi
فمن اتقى من الشبهات فقد استبرء من الحرام (رواه البخارى)
Artinya:
“Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah
terbebas dari yang haram.” (H R. Bukhori).
Dalam surat al-Mudassir ayat 1-5 Allah berfirman:
Dalam surat al-Mudassir ayat 1-5 Allah berfirman:
يا ايهاالمدثر. قم فانذر . وربك فكبر . وثيابك فطهر . والرجز فاهجر.
Artinya:
“ Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu beri peringatan! Dan Tuhanmu
agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”
(QS. Al-Mudassir 1-5)
Ibnu
al-Qayyim dalam madarij al-Salikin menyebut ayat di atas sebagai perintah
wara’dan pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari diri seseorang .
bahkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan: “Janganlah kamu busanai
dirimu dengan kemaksiatan dan penghianatan”.
Lebih
lanjut para ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’
yang bersifat lahiriah dan wara’ batiniah. Wara’ lahiriah berarti meninggalkan
segala hal yang tidak diridloi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniah berarti
tidak mengisi atau menempatkan sesuatu di hatinya kecuali Allah.
Seorang sufi yang wara’ akan
senantiasa menjaga kesucian baik jasmani maupun rohaninya dengan mengendalikan
segala perilakunya dan aktifitas kesehariannya. Ia hanya akan melakukan sesuatu
yang bermanfaat dan tidak akan menggunakan sesuatu yang belum jelas statusnya.
Dengan demikian maka raga dan jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang
tidak diridloi Allah SWT.
d.
Al-Faqr
Sebagaimana maqam yang lain, istilah
faqr mempunyai interpretasi yang berbeda sesuai dengan pengalaman spiritual
masing-masing sufi. Dasar ajaran faqr adalah firman Allah dalam Surat
al-Baqarah ayat 273
للفقراء الذين احصروا
في سبيل الله لا يستطيعون ضربا في الارض يحسبهم الجاهل اغنياء من التعفف تعرفهم
بسيمهم لا يسئلون الناس الحافا وما تنفقون من خير فان الله به عليم (البقرة :۲۷۳)
Artinya: “ (Berinfaqlah) kepada
orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat
(berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang yang kayak
arena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal
mereka dengan dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” (QS al-Baqarah: 273)
Dalam
riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: “Orang-orang
miskin akan memasuki surga lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya “.
Di antara para sufi, ada yang
memberikan pemaknaan faqr secara ekstrim dan ada pula yang bersifat moderat.
Pemaknaan faqr yang ekstrim antara lain dikemukakan oleh Yahya bin Mu’adh
yang menyatakan bahwa kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain
Allah, dan tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.
Sementara itu, yang berpandangan
moderat menyatakan bahwa faqr adalah butuh kepada Allah. Faqr yang dimaksud
di sini adalah kefakiran spiritual. Sehingga ia tidak memiliki apa-apa termasuk
dirinya sendiri.
Secara
konklusif dapat ditarik kesimpulan bahwa faqr merupakan sikap hidup yang tidak
terlalu berlebihan atau memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak
menuntut lebih dari apa yang telah diterimakan kepadanya. Karena pada dasarnya
segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah menjadi milik Allah SWT.
Nilai
kefakiran pada esensinya tidak terletak pada ketiadaan harta benda, namun ada
pada kesadaran atau perasaan seseorang (state of mind). Di mana seorang yang
faqr meskipun kaya harta namun hatinya tidak bergantung pada kekayaan yang
dimiliki. Harta benda tidak lebih merupakan
materi yang diujikan oleh Allah yang harus dipertanggungjawabkan keberadaannya
di hadapan Allah.
e.
Shabar
Secara harfiah
shabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri hari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan
cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran
dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah
dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat
lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa
menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang yang
mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
Di kalangan para sufi sabar
diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi
segala larangan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang
ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan
Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan.Sikap sabar sangat dianjurkan dalam ajaran al-Qur’an. Allah
berfirman,
فاصبر كما صبر اولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم (الاحقاف: ۳۵)
Artinya:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
Rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (QS
al-Ahqaf:35)
واصبر وما صبرك الا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك في ضيق مما يمكرون
(النحل:۱۲۷)
Artinya: “ Bersabarlah dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih
hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa
yang mereka tipu dayakan. (QS al-Nahl:127)
Terlepas dari beragam pandangan
tentang maqam shabar pada dasarnya kesabaran adalah wujud dari konsistensi
seseorang untuk memegang prinsip yang telah dipegangi sebelumnya. Kesabaran
merupakan suatu kekuatan yang membuat diri seseorang dapat bertahan dari segala
macam dorongan dan gangguan yang datang dari luar dirinya yang kemudian dihantarkan
oleh nafsunya. Jika ia mampu mengekang hawa nafsunya maka ia akan tetap pada
pendiriannya.
f.
Tawakkal.
Tawakkal pada dasarnya adalah
merupakan konsekuensi logis dari maqam shabar. Oleh karenanya, maka seseorang
yang mencapai derajat shabar dengan sendirinya adalah seorang yang mencapai
derajar tawakkal.
Ada banyak pendapat mengenai tawakkal, antara lain pandangan yang menyatakan bahwa tawakkal adalah memotong hubungan hati dengan selain Allah. Sahl bin Abdullah menggambarkan seorang yang di hadapan Allah adalah seperti orang mati di hadapan orang yang memandikan, yang dapat membalikkannya kemanapun ia mau. Menurutnya tawakkal adalah terputusnya kecenderungan hati kepada selain Allah.
Ada banyak pendapat mengenai tawakkal, antara lain pandangan yang menyatakan bahwa tawakkal adalah memotong hubungan hati dengan selain Allah. Sahl bin Abdullah menggambarkan seorang yang di hadapan Allah adalah seperti orang mati di hadapan orang yang memandikan, yang dapat membalikkannya kemanapun ia mau. Menurutnya tawakkal adalah terputusnya kecenderungan hati kepada selain Allah.
Sebagaimana istilah-istilah lain,
para ahli juga banyak memberikan definisi tawakkal beserta batasan-batasannya.
Atas dasar inilah maka Yusuf Qardhawi cenderung mendefinisikan tawakkal bukan
pada kedalamannya namun pada kulit luarnya. Karena pembicaraan tentang
kedalaman makna tawakkal ada pada pengalaman pribadi masing-masing sufi. Dia
mendefinisikan tawakkal dari makna dasarnya, yakni menyerahkan dengan
sepenuhnya. Sehingga seseorang yang telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah,
tidak akan ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan
Allah.
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa
terdapat kerancuan pemahaman sebagian orang tentang tawakkal. Di mana dia tidak
berbuat sesuatu apapun karena menyerahkan pada kehendak Allah. Sikap semacam
ini bukan tawakkal, namun menyia-nyiakan karunia Allah.
Seseorang yang ada pada maqam
tawakkal akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap
dan optimis dalam bertindak. Di samping itu juga akan mendapatkan kekuatan
spiritual, serta keperkasaan luar biasa yang dapat mengalahkan segala kekuatan
yang bersifat material.
g.
Ridha
Ridha adalah buah dari
tawakkal. Di mana jika seorang sufi telah benar-benar melaksanakan tawakkal
maka dengan sendirinya ia akan sampai pada maqam ridla. Sebagian ulama
berpendapat bahwa ridla adalah termasuk ahwal bukan maqamat. Namun ia adalah
karunia yang diberikan oleh Allah sebagai buah dari tawakkal.
Zunnun al-Mishry berpebdapat bahwa ridla adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati. Adapun tanda-tandanya adalah mempercayakan hasil pekerjaan sebelum datang ketentuan, tidak resah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang membara ketika tertimpa malapetaka.
Zunnun al-Mishry berpebdapat bahwa ridla adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati. Adapun tanda-tandanya adalah mempercayakan hasil pekerjaan sebelum datang ketentuan, tidak resah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang membara ketika tertimpa malapetaka.
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ridla adalah kondisi kejiwaan
atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala
karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya. Ia
akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya.
2. Struktur Ahwal
a.
Muraqabah
Yang dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang
dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga
segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang
dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya
sendiri sebagai manusia. Atau dengan istilah lain, kesadaran akan kesatuan
antara mikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos.
Muraqabah
merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku
peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di
mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta menyadari
sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan
kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk
tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.
Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analisis terhadap perilakunya di masa lalu dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik.
Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analisis terhadap perilakunya di masa lalu dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik.
Hal yang
penting yang harus ditunjukkan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri
terhadap perilaku yang baik. Ini dapat diupayakan dengan selalu mawas diri,
sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap keinginan sesaat. Seorang yang
muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa melakukan yang terbaik sesuai
dengan kudrat dan eksistensinya. Karenanya dibutuhkan disiplin yang tinggi.
Kedisiplinan inilah yang akan menghantarkan seseorang menuju keadaan yang lebih
baik dan menuju kebahagiaan.
b.
Mahabbah
Di antara
para ulama ada yang menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat tertinggi,
yang merupakan puncak pencapaian para sufi. Di mana keseluruhan jenjang yang
dilalui bertemu dalam maqam mahabbah.Mahabbah mengandung arti keteguhan dan
kemantapa. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan
beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap
serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta. Al-Junaidi ketika
ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh
ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan
pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
Lebih jauh
lagi sebenarnya kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang senantiasa
konsisten dan penuh konsentrasi terhadap apa yang dituju dan diusahakan ,
dengan tanpa merasa berat dan sulit untuk mencapainya. Karena segala sesuatunya
dilakukan dengan penuh kesenangan dan kegembiraan tanpa ada perasaan terpaksa
atau tertekan. Kesadaran cinta juga berimplikasi terhadap diri seorang pencinta
dengan sikap penerimaannya terhadap segala apa yang ada dan terjadi di alam
semesta. Sehingga segala sesuatu, baik yang bersifat positif yang berwujud
kebaikan maupun yang berbentuk kejahatan dan kekurangan , semua diterima dengan
lapang dada.
c.
Khauf
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf
terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang
dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut
terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah yang
artinya: “Maka takutlah kepada-Ku jika kamu orang-orang yang beriman.”(QS
Ali Imron:175) dalam ayat lain juga diungkapkan, yang artinya: “Mereka
menyeru kepada Tuhan dengan penuh rasa takut dan harap” (QS Al-Sajdah:16).
Memang perasaan takut ini sangat
sulit untuk bisa dipahami oleh seseorang dengan kasat mata. Karena hal ini
sangat terkait dengan pengalaman keberagamaan seseorang yang bersifat pribadi.
Sehingga dikatakan oleh Ibnu Iyadh bahwa hanya mereka yang termasuk golongan
orang-orang yang takutlah yang dapat melihat orang-orang yang takut. Ia
mengibaratkan seorang ibu yang sedih karena kehilangan anaknya, yang hanya bisa
dipahami kesedihannya oleh ibu yang kehilangan anaknya pula.
Perasaan
takut akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan secara
otomatis akan memberikan dorongan untuk melakukan yang terbaik sehingga pada
masa mendatang ia akan menerima akibat yang baik pula. Seorang yang diliputi
perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk
kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena
keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat. Seorang
yang khauf akan berfikiran jauh ke depan.
d. Raja
Raja’ adalah
keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan
datang. Al-Qusyairi membedakan antara
harapan dengan angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat aktif, sementara
tamanni bersifat pasif. Seseorang yang mengharapkan sesuatu akan berupaya
semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya.
Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak
melakukan apapun yang dapat mengantarkannyauntuk mendapatkan yang
diangan-angankannya.
Ibnu Khubaiq
membagi harapan menjadi tiga:
1)
manusia yang
melakukan amal kebaikan, dengan harapan amal baiknya akan diterima Allah;
2)
manusia yang
melakukan amal buruk, kemudian bertobat, dengan harapan akan mendapatkan
ampunan dari Allah;
3)
Orang yang
menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan
ampunan.
Harapan akan
membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktifitasnya,
serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia
akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh kayakinan.
e.
Shauq
Rindu
(shauq) merupakan luapan perasaan seseorang individu yang mengharapkan untuk
senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai.
Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu
selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada
Allah SWT akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenanya sebagai
bukti dari perasaan rindu adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.
Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka
yang segala aktifitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik
tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan
tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan
perhatian dan konsentrasinya.61 Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala
hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia
akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan
kegembiraan, tanpa rasa keraguan atau kecemasan.
f.
Uns
Perasaan
suka cita (Uns) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan
kedekatan dengan Tuhan. Atau dengan
pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. Seseorang yang ada
pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta suka
cita yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi
ketika merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya
diliputi oleh cinta, kelmbutan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga
sangat sulit untuk dilukiskan.
Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu,
misalnya ketika menikmati keindahan alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan
musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang sufi benar-benar merasakan
keindahan Allah. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang lain
memiliki pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat
pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.
g.
Tuma’ninah
Tuma’ninah
adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat
mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada
firman Allah SWT, yang artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah
kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridlai-Nya. Masuklah dalam
golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS al Fajr; 27-30).
Ibnu Qayim
membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan: pertama, ketenangan hati dengan
mengingat Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu
pada batas penantian. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan
kasihnya. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’.
Menurut pandangan sejumlah sufi, fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela,
sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
h.
Musyahadah
Penjelasan
mengenai musyahadah sering dikaitkan dengan uraian tentang muhadharah dan
mukasyafah. Muhadharah berarti kehadiran kalbu dan mukasyafah adalah
kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah adalah kehadiran
al-Haqq dengan tanpa dibayangkan.
Al-Junaidi
memberikan penjelasan bahwa seorang yang ada dalam tahapan muhadharah selalu
terikat dengan sifat-sifat Tuhan. Orang yang mukasyafah terhampar oleh
sifat-sifat Tuhan. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan dzat Tuhan. Orang
yang ada pada puncak musyahadah kalbunya senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya
ketuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama
sekali, sehinggga malampun laksana siang hari yang nikmat. Begitulah gambaran
orang yang diselimuti cahaya ketuhanan dalam musyahadah.
i.
Yaqin
Al-Yaqin
dalam terminologi sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al-yaqin, ’ain
al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan
syarat adanya bukti . sedangkan ‘ain al-yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai
kejelasan. Haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang
menyertai kenyataannya.
‘Ilm
al-yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al-yaqin bagi
para ilmuwan. Sedangkan haqq al-yaqin bagi orang-orang yang ma’rifah.
Jelasnya, al-yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
Jelasnya, al-yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
III.
PENUTUP
Dari keseluruhan uraian di atas menunjukkan bahwa secara teoritis para ahli
tasawuf sepakat dengan adanya maqamat dan ahwal. Namun pada tataran konseptual
dan interpretatif, para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan
pengalaman masing-masing. Karena pada dasarnya,
pencapaian maqamat dan ahwal adalah merupakan pengalaman spiritual yang
bersifat pribadi, sehingga yang mengetahui secara persis adalah sufi yang
mengalaminya secara langsung.
Demikian makalah ini kami hadirkan, mudah-mudahan dengan segala
keterbatasan yang ada di dalamnya tetap dapat menambah wawasan akademik
sekaligus menjadi ruang dialog dan kritik konstruktif menuju perbaikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Armstrong, Amatullah, 1996, Khasanah
Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Terj. MS. Nasrullah & Ahmad
Baiquni, Bandung: Mizan.
al-Ghazali, tt , Ihya’ Ulum al-Din, Tk: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Juz IV.
Muhammad, Hasyim, 2002, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad, Yasien, 1997, Insan Yang Suci, Bandung: Mizan.
Nasution, Harun, 1983, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, H. Abudin, 2002, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf, 1996, Tawakkal, terj. Kathur Suhardi, Jakarta, Pustaka Al Kausar.
al-Qusyairi, al-Naisabury, tt, al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘ilm al-Tasawwuf, Mesir: Dar al-Khair
Siregar, Rifa’i, 1999, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NeoSufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syukur, H.M. Amin dan H. Masyharudin, 2002, Intelektualisme Tasawuf , Semarang: Lembkota.
Syukur, H.M. Amin, 1997, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________________, 2002, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Turmudzi, Imam, 1987, Sunan Turmudzi, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II.
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.
al-Ghazali, tt , Ihya’ Ulum al-Din, Tk: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Juz IV.
Muhammad, Hasyim, 2002, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad, Yasien, 1997, Insan Yang Suci, Bandung: Mizan.
Nasution, Harun, 1983, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, H. Abudin, 2002, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf, 1996, Tawakkal, terj. Kathur Suhardi, Jakarta, Pustaka Al Kausar.
al-Qusyairi, al-Naisabury, tt, al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘ilm al-Tasawwuf, Mesir: Dar al-Khair
Siregar, Rifa’i, 1999, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NeoSufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syukur, H.M. Amin dan H. Masyharudin, 2002, Intelektualisme Tasawuf , Semarang: Lembkota.
Syukur, H.M. Amin, 1997, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________________, 2002, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Turmudzi, Imam, 1987, Sunan Turmudzi, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II.
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.