Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Rabu, 05 Oktober 2022

PERADABAN ISLAM INDONESIA PRA KEMERDEKAAN

aldhy purwanto

SEJARAH PERADABAN ISLAM

PERADABAN ISLAM INDONESIA PRA KEMERDEKAAN

I.  PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada pertengahan abad ke-19, Belanda dan Inggris telah mengukuhkan imperium mereka di wilayah Indonesia. Umat Islam di wilayah ini belum merupakan bagian dari kesatuan imperium dan budaya, melainkan mereka terbagi-bagi dalam banyak etnik dan bahasa. Dominasi Belanda dan Inggris mengantarkan bangsa Indonesia pada transformasi besar-besaran dalam kehidupan politik dan ekonomi dan memancing reaksi kelompok nasionalis dan muslim untuk menentang campur tangan bangsa Asing.

Kenyataan bahwa bangsa Asing telah menguasai negara Indonesia, telah menimbulkan respon yang bukan hanya datang dari institusi pemerintahan, tetapi juga datang dari kalangan masyarakat baik secara individu, kelompok maupun kelembagaan.Para ulama tradisional, sufi, elit politik, kelompok administrator,intelektual, reformis muslim, dan pemuka militer bangkit menentang dan melawan penjajah Inggris dan Belanda dan menuntut kemerdekaan demi masa depan Indonesia.

Islam di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia, karena Islam paling banyak dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Signifikansi yang begitu erat antara Islam dan Indonesia sebagai suatu daerah teritorial, menyebabkan penjajahan lebih dari tiga abad oleh Belanda dan Jepang gagal dalam upaya deislamisasi agar akidah Islam tercabut dari umat Islam.

Umat Islam Indonesia hidup dalam aneka ragam situasi dan kondisi dari sejak Islam masuk ke Indonesia. Karena agama Islam merupakan agama yang membuka alam pikiran manusia serta mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ajaran Islam dapatmengisi kekosongan hati dan dapat memberikan harapan pada manusia untuk hidup rukun dan damai dengan harapan gemilang serta dapat membimbing manusia kepada kehidupan bahagia dunia akhirat. Agama Islam agama yang memberikan sikap kepribadian dan mengajarkan norma-norma hidup, sehingga setiap penganut agama Islam mempunyai kesadaran yang tinggi dan kepribadian kokoh yang sukar untuk diubah. Pada saat Belanda memasuki Nusantara (1596) sudah mulai terasa akan kesulitan dalam menghadapi masyarakat Islam. Kolonialisme Belanda selalu menghadapi perlawanan gencar dari masyarakat yang menganut agama Islam seperti pertempuran di Banten, Hasanuddin di Makassar, perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh dan sebagainya.

Mengakarnya Islam di Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari sebuah proses panjang program sosialisasi Islam yang dilakukan oleh para pemuka Islam melalui aktifitas dakwah dan pendidikan. Dalam pada itu Islam di Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan idiologi, budaya dan kekuatan politik penguasa terutama penguasa Belanda dan Jepang. Hal ini memaksa Islam harus tampil dalam berbagai bentuk gerakan. Seperti gerakan Islam melawan kolonialisme, sebagai Islam politik, Islam sebagai kekuatan moral, cultural, dan intelektual.Bentuk-bentuk gerakan di atas sebagai akibat dari upaya umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis melalui pola-pola sosialisasi, akomodasi, dan modifikasi, sehingga Islam tersosialisasi dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat Indonesia.

            Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah dirumuskan fokuskajian makalah ini yakniperkembangan Islam di Indonesia sebelum masa kolonial Belanda danpada masa kolonial Belanda dan Jepang.Dinamika perkembangan Islam pada ketiga masa tersebut selanjutnya dikaji melalui kajian pustaka dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis kritis.

 

B. Rumusan Masalah

1.  Bagaimana peradaban Islam Indonesia Pra Kemerdekaan ?

2.  Bagaimana peradaban Islam zaman penjajahan Kololnial Belanda ?

3.  Bagaimana peradaban Islam zaman pendudukan Jepang ?

4.  Bagaimana Agama dan kekuatan politik masa kolonialisme ?

 

 

 

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui peradaban Islam Indonesia Pra Kemerdekaan ?

2. Untuk mengetahui peradaban Islam zaman penjajahan Kololnial Belanda ?

3. Untuk mengetahui peradaban Islam zaman pendudukan Jepang ?

4. Untuk mengetahui keadaan  agama dan kekuatan politik masa kolonialisme ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II. PEMBAHASAN

A.  Peradaban Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan

1. Permulaan Islam di Indonesia

 Pertanyaan tentang kapan tepatnya agama Islam masuk dan siapa orang yang pertama kali membawa misi dakwah agama ini ke kepulauan Nusantara merupakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Terdapat berbagai pendapat yang berbeda tentang permasalahan ini. Satu hal yang lazim diakui bahwa Islam masuk dan tersebar di kepulauan Nusantara melalui rute perdagangan.5 Istilah masuknya Islam yang oleh beberapa kalangan terkadang disebut “Islamisasi”, apabila kita mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh Noorduyn seperti yang dikutip oleh Ahmad M. Sewang bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia pada umumnya meliputi tiga tahapan: (a) tahap kedatangan Islam, (b) tahap penerimaan Islam dan (c) tahap penyebaran Islam lebih lanjut.6 Sementara itu menurut Mukti Ali seperti yang dikutip oleh Kamaruddin Hidayat bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara meliputi aspek-aspek: (a) kontak pertama Islam dengan berbagai wilayah Nusantara, (b) Penerimaan Islam oleh penduduk atau raja-raja setempat, (c) penyebaran Islam secara meluas, dan (d) pertumbuhan kerajaankerajaan Islam.

Fuad Amsyary menjelaskan bahwa pada awal Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang muslim dari luar negeri yang memasukkan Islam melalui komunikasi verbal/lisan dan tingkah laku/akhlak Islam yang dibawanya. Mereka mengajarkan akidah, ibadah dan perilaku sosial Islam sebagai yang mereka pahami dari negri asalnya yang pertama. Masuknya Islam ke Indonesia diperkirakan sudah terjadi pada masa kekhalifaan Umar bin Khattab, walau ada pula yang berpendapat bahwa Islam masuk pada masa Daulah Abbasyiah. Oleh karena itu pemahaman Islam pada masa itu diperkirakan sebagai pemahaman yang relatif utuh, yakni Islam sebagai acuan aktifitas ritual, sosial bahkan kenegaraan. Itulah sebabnya Islam pada masa itu mengilhami terbentuknya negara Islam Demak yang secara gradual menggeser dominasi kekuasaan Majapahit sebagai kekuatan sosial kemasyarakatan.

Dari Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan pada tahun 1963, disimpulkan bahwa :

a         Menurut sumber-sumber yang kita ketahui bahwa Islam telah masuk ke Indonesia  pada abad pertama hijriah (abad 7/8 M) dan langsung dari Arab.

b        Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera, dan setelah    terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.

c         Dalam proses pengislaman selanjutnya orang-orang Indonesia ikut aktif ambil bagian.

d        Mubaligh-mubaligh Islam selain sebagai penyiar agama juga sebagai saudagar.

e         Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan damai.

f         Kedatangan Islam ke Indonesia itu, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

Menurut Hasan Muarif Ambary bahwa bukti-bukti arkeologi yang menunjuk pada bekas-bekas kehadiran komunitas muslim tertua Nusantara antara lain adalah di Troloyo (1281- 1611 M), Barus (1206 M), Pasai (1297 M), Leran (1082 M) dan sebagainya. Teori mengenai sosialisasi Islam ke Indonesia terdapat banyak pendapat, khusunya dalam cara masuk dan pembawanya. Pendapat lama mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke 13 M (J.J Krom dan Van Den Berg).Pendapat yang lain menyebutkan antara abad ke-7-8 M. (T.W. Arnold, Hamka, Tyndrasasmita dan Ambary). Sementara itu tentang asal kedatangan Islam ke Indonesia disebutkan dari India (C. Snouck Hurgronye, H. Kraemer dan Van Den Berg), Persia (Husein Djadjadiningrat) atau langsung dari Arab (Hamka).11 Sementara itu menurut Uka Candrasasmita seperti yang dikutip pendapatnya oleh Badri Yatim bahwa Islamisasi di Indonesia melalui beberapa jalur, antara lain melalui jalur perdagangan, jalur perkawinan, jalur tasawuf, jalur pendidikan, jalur kesenian, dan jalur politik.

Mengenai kondisi pendidikan Islam di Indonesia pada mulanya didasarkan pada sistem kedaerahan dan tidak terkordinir atau terpusat, karena tiap daerah berusaha menjalankan pendidikan didaerahnya sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Keberhasilan Islam menyebar dan menyusup ketengah-tengah masyarakat juga belum didukung oleh metode dakwah atau pun organisasi yang solid seperti sekarang ini, malahan Islam disiarkan secara sembunyi-sembunyi dan dari rumah ke rumah agar tidak dicurigai atau dianggap menentang norma-norma yang sudah kuat dipegang oleh penguasa dan masyarakat.

Proses Islamisasi di daerah pantai berjalan dengan damai sesuai dengan prinsip dakwah dalam Islam yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk agama. Sehingga dengan pelan tapi pasti Islam dipeluk dan diamalkan oleh penduduk pantai, mulai dari rakyat kecil sampai penguasa. Berbeda dengan daerah pantai di pedalaman Islamisasi berjalan agak lamban dan memakan waktu agak lama karena orang pedalaman masih kuat berpegang pada agama leluhurnya yaitu agama Hindu dan Budha. Meskipun demikian antara kedua penduduk pantai dan pedalaman tidak ada pertentangan bahkan mereka hidup damai.

Demikianlah keadaan proses Islamisasi yang berjalan dengan damai tanpa kendala yang berarti sampai datangnya penjajah ke Nusantara di mana misi kedatangannya disamping berdagang juga membawa misi lain yaitu Kristenisasi. Inilah pangkal masalah di Nusantara yaitu adanya pertentanganpertentangan baik antara penduduk pribumi akibat adu domba dari penjajah maupun antara penduduk dengan penjajah karena apa yang dilakukan oleh penjajah sangat merugikan penduduk baik dari segi kehidupan beragama maupun dari segi kegidupan sosial budaya masyarakat yang sudah mapan. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa awal masuknya Islam ke Indonesia belum diketahui dengan pasti. Yang jelas bahwa Islamisasi di Nusantara telah berlangsung sejak abad-abad pertama hijriah dan berlangsung terus hingga masa kini dan juga masa yang akan datang. Dalam proses Islamisasi terjadi interaksi antara budaya lokal sehingga corak Islam dibeberapa tempat berjalan sesuai dengan tradisi dan budaya setempat tanpa mengurangi nilai Islam yang sesungguhnya.

2. Masa Kejayaan Islam

Masa Kejayaan Islam Periode kerajaan Islam Demak tahun 1523 M. sampai dengan kerajaan Mataram (Sultan Agung tahun 1645), merupakan pengulangan model pengembangan Islam di jazirah Arab paska Hijriah. Sistem politik diaktifkan untuk melakukan dakwah Islamiah secara profesional melalui kegiatan para pengemban, aparat pemerintahan, mujahid, termasuk wali dibawa naungan kekuasaan formal (kesultanan Islam). Dengan demikian terjadilah perkembangan Islam yang luar biasa dimana hampir semua penduduknya masuk Islam dalam waktu yang relatif singkat. Pada masa keemasan Islam di Indonesia inilah para mujahid memperoleh dukungan penuh baik secara materil maupun moril. Karena penguasa negara memiliki persepsi (keimanan) bahwa Islam itulah cara mengelola masyarakat yang terbaik dan mampu menyelamatkan masyarakat dan dunia dari eksploitasi orang-orang kafir yang serakah. Ada tiga tahap proses Islamisasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran para pedagang Muslim (abad 1-4 H). Sejak permulaan abad ke 1 hijriah kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Namun data tentang apakah sudah ada penduduk yang masuk Islam menurut Ambary, masih dalam dugaan, belum ada data yang otentik. 14 Selanjutnya Islam tersebar ke Sulawesi, ketika raja pertama yaitu Raja Tallo yang menjadi mangkubumi di kerajaan Goa yang bernama I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka masuk Islam pada 22 September 1605 M. I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka kemudian bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Penyebar Islam ke daerah ini Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam (13- 16 M). Pada fase ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat kerajaan Islam.Ketiga, fase pelembagaan Islam. Agama Islam yang berpusat di Pasai, meluas ke Aceh di pesisir Sumatra, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin dan Lombok. Bukti penyebaran ditemukan cukup banyak seperti adanya kesamaan batu nisan yang terdapat dibeberapa tempat seperti di Semenanjung Melayu, Aceh, Kuwin Banjarmasin, Demak dan Gresik.

Selanjutnya Islam tersebar ke Sulawesi, ketika raja pertama yaitu Raja Tallo yang menjadi mangkubumi di kerajaan Goa yang bernama I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka masuk Islam pada 22 September 1605 M. I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka kemudian bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Penyebar Islam ke daerah ini adalah Abdul Makmur Khatib Tunggal yang terkenal dengan nama Datuk Ribandang, seorang ulama yangberasal dari Minangkabau.15 Para penyebar Islam dapat menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan dan diantara mereka ada yang kawin dengan penduduk setempat. Kemudian mereka mendirikan Mesjid, mengadopsi kebudayaan lokal menjadi bermuatan Islam, mendidik kader ulama, mengislamkan raja dan keluarganya dan pendekatan-pendekatan sosial lainnya sesuai dengan kondisi dan situasi setempat. Dengan kata lain bahwa Islam menjadi kokoh di pusatpusat kekuasaan Nusantara melalui jalur perdagangan, perkawinan dengan elit birokrasi dan ekonomi, diskusi keagamaan, dan sosialisasi langsung dengan masyarakat bawah.

Sayangnya proses perkembangan Islam di Indonesia masa itu tidak didukung oleh kondisi umat Islam di pusat Islam sendiri yang sudah porak poranda oleh serangan Kristen dalam perang Salib, demikian pula serangan bangsa Mongol dan juga oleh penyelewengan kekuasaan oleh Dinasti Ottoman di Turki. Indonesia pada masa itu praktis juga ikut terjebak pada kemelut kekuasaan kesultanan di Jawa dan pulau lain dan mementahkan proses pemantapan kualitas umat Islam. Penjajah secara licik mengadu domba pewaris kesultanan Banten, Mataram dan berbagai kesultanan di Kalimantan, Sulawesi, Aceh dan lainnya. Maka praktis pada masa itu kekuasaan kesultanan praktis luntur dari misi dakwah Islamiah, karena penjajah itupun secara bertahap memisahkan kekuasaan formal (kenegaraan) dari misi dakwah agama Islam sebagai salah satu persyaratan bantuan pada pihak pewaris kerajaan yang dibantunya

 

B.     Peradaban Islam Di Indonesia Pada Masa Kolonial Belanda

1.      . Masa Kemunduran Islam

Masa penjajahan pada dasarnya adalah masa deislamisasi umat oleh kekuasaan pemerintahan. Pada awalnya penjajah mengenalkan agama mereka (Kristen) melalui pejabat Belanda, lalu pada orang Cina yang sengaja diimpor oleh Belanda ke Jawa mendukung mereka membangun loji dan kekuasaan mereka seperti di Batavia dan lainnya. Kemudian pada para priyai dan penduduk secara umum. Mereka mendirikan gereja, sekolah dan tempat hiburan untuk sosialisasi agama Kristen. Pada saat yang sama penjajah juga mengharuskan kesultanan yang berada di bawah kendali mereka untuk tidak lagi membawa misi dakwah Islam dalam proses pemerintahannya dan membatasi fungsi kekuasaan hanya untuk pengelolaan urusan ekonomi dan politik

Dengan kenyataan yang dialami umat Islam seperti itu, maka para aktifis Islam yang sudah ditinggalkan oleh sultan mereka, yang hanya sibuk mengurus kekayaan dan kekuasaan yang semakin diperlemah oleh penjajah mengambili inisiatif untuk mendirikan pondokpondok pesantren pada beberapa tempat khususnya di pulau Jawa. Selanjutnya situasi umatIslam pada akhir abad pertengahan, baik secara sosio-politik maupun secara keagamaan (sosio-religius), telah mengalami kemunduran. Secara politis hampir seluruh wilayah yang dikuasai umat Islam, satu persatu jatuh ke tangan kaum kolonialis dan imperialis Barat. Mesir misalnya sebagai pusat pengkajian dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman jatuh ketangan kolonial Perancis, kemudian ke tangan kolonial Inggris.

Kejatuhan Mesir ini menimbulkan kesadaran umat Islam, bahwa sebenarnya mereka telah tertinggal jauh dalam bidang kekuatan politik, militer, ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula dalam aspek religius, tampak bahwa situasi religius umat Islam pada saat itu telah mengalami gelombang kelemahan dan kekeruhan, di mana antara kaum ortodok dan kaum sufi berhadap-hadapan secara konfrontatif. Kondisi ini terus berlanjut sampai bangkitnya kesadaran keagamaan yang dimiliki oleh segelintir umat Islam.

2.      Masa Bangkitnya Kesadaran Nasional

Penyebaran dan pengaruh pembaruan Islam modern ke kepulauan Melayu-Indonesia sejak awal abad ke 20 telah membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia khususnya umat Islam bangkit dengan berbagai gerakan-gerakan, baik gerakan politik, maupun gerakan sosial keagamaan. Sebagaimana yang disinyalir oleh Azyumardi Azra bahwa terdapat pengaruh kaum sarjana pembaru atau aktifis seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha terhadap berbagai organisasi pembaru atau modernis Islam Indonesia seperti Sarikat Islam (SI), Muhammadiyah, Persatuan Islam atau Yong Islamieten Bond.

Masuknya pemikiran pembaharuan baik yang dibawa oleh ulama yang bermukim di Timur Tengah khususnya yang belajar di Mekah dan Medinah,maupun melalui media cetak berbahasa Arab seperti al-Urwah, dan al-Manar yang berasal dari Qairo, al-Imamdari Singapura dan al-Munir di Padang, Sumatra Barattelah membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia khususnya umat Islam untuk bangkit melawan kolonialis Belanda yang telah merampas kemerdekaan bangsa Indonesia dalam berbagai hal selama beratus tahun. Baik kemerdekaan beragama, berserikat, mengeluarkan pendapat bahkan kemerdekaan dalam mencari penghidupan (ekonomi) dengan sistem monopoli dagangnya yang dikenal dengan VOC.

Azyumardi Azra mengatakan bahwa, tidak diragukan lagi media cetak merupakan instrument dalam penyebaran ide-ide kaum pembaru atau modernis di dunia MelayuIndonesia. Dalam konteks ini, al-Manar secara signifikan mempengaruhi wacana pembaruan Islam dikawasan ini. Juga merangsang penerbitan jurnal dengan semangat yang sama di kepulauan Melayu-Indonesia.

Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti Sarikat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta (1912) Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920), Nahdatul Ulama (NU) di Surabaya (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Bukittinggi (1930); dan parta-partai politik seperti Sarikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.

Memang diakui bahwa Belanda cukup banyak mewarnai perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Cukup banyak peristiwa dan pengalaman yang dicatat Belanda sejak awal kedatangannya di Indonesia, baik sebagai pedagang perorangan kemudian diorganisasi dalam bentuk kongsi dagang yang bernama VOC, maupun sebagai aparat pemerintah yang berkuasa dan menjajah. Oleh karena itu wajar kalau kehadiran mereka di bumi Nusantara selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk pribumi terutama raja-raja dan tokoh- tokoh agama khususnya agama Islam. Mereka menyadari bahwa mereka harus berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk penduduk pribumi yang dikuasainya sebagai penduduk yang mayoritas beragama Islam.

Diakui bahwa kedatangan Belanda di satu pihak memang telah membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tujuannya semata-mata untuk dapat memberi kemudahan bagi politik kekuasaan dan perdagangannya agar dapat meraup keuntungan tanpa mendatangkan tenaga-tenaga terampil dari negaranya yang harus memakan biaya yang banyak. Pada kenyatannya penduduk pribumi tetap tidak menikmati kemajuan teknologi tersebut bahkan penduduk pribumi benar-benar diperas tenaganya, sumber alamnya dan lain-lain.

Dengan demikian pantaslah kalau pemerintah kolonial Belanda berusaha menjalankan politik etis atau politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah terutama untuk kalangan bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata bagi kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia yang berada dalam kemiskinan, penindasan, kebodohan dan keterbelakangan. Keadaan yang disaksikan oleh bangsa Indonesia ini menggugah semangat bangsa Indonesia untuk bangun dari tidurnya untuk menyongsong masa depan yang gemilang yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional.

Perubahan sosial yang terjadi di Nusantara ialah bahwa perjuangan yang dilaksanakan secara kedaerahan selama ini, seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Aceh, pertempuran Hasanuddin dan lainlain, dianggap tidak efektif dalam mengusir penjajah Belanda. Karena itu perlu disusun suatu kekuatan yang mengikat potensi yang ada diseluruh tanah air. Kesadaran seperti ini dikenal sebagai kasadaran nasional, yaitu kesadaran yang menggalang semangat kebangsaan yang meliputi daerah yang pernah digalang pada zaman Majapahit. Ide seperti ini terkenal dengan Indonesia Irredenta yaitu semua daerah yang berbahasa Melayu.

Hal ini mendorong lahirnya organisasiorganisasi sosial seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes dan lain sebagainya. Kesadaran umat Islam bahwa mereka tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatankekuatan yang menantang dari pihak kolonial Belanda, Penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan-kegiatan dengan cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya Organisasi-organisasi tersebut baik organisasi Islam maupun organisasi sosial yang didirikan oleh kaum terpelajar menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Kedua tipe organisasi itu bahu membahu dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air meskipun terjadi persaingan ketat antara keduanya.

Kesadaran umat Islam bahwa mereka tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatankekuatan yang menantang dari pihak kolonial Belanda, Penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan-kegiatan dengan cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan pendekatan terhadap perjuangan Islam. Dalam konteks perjuangan di Indonesia menurut Deliar Noer, pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitug pendidikan dan sosial di satu pihak dan gerakan politik dipihak lain.

Sekarang yang perlu mendapat sorotan adalah semangat Islam yang mendorong serta mendasari perjuangan umat Islam Indonesia. Patut diketahui bahwa perjuangan untuk meretas belenggu penjajahan disebahagian besar daratan Eropa dan Asia diilhami oleh revolusi Perancis atas pengaruh dari tulisan-tulisan Montesquieu (1689-1755), Voltaire (1694-1778) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1788). Dari tulisantulisan mereka inilah perjuangan di kalangan lapisan masyarakat Perancis mencapai puncaknya pada tanggal 4 Juli 1789 yang dikenal denganRevolusi Perancis. Revolusi ini berakibat pada seluruh negeri Eropa seperti Jerman, Inggris Belanda, Roma, Cekoslawakia dan sebagainya. Diantara Negara-negara tersebut ada yang berhasil dan ada pula yang gagal.

 

C.    Peradaban Islam  di Indonesia pada Zaman Pendudukan Jepang

Masa peralihan kekuasaan Jepang (1942- 1945) memberikan kepada Islam tempat langsung dalam politik kemerdekaan dan Islam tetap berada di pusat politik Indonesia selama setengah abad yang lalu. Namun demikian, dalam hal konstitusi formal, kedudukan Islam selalu berada di pinggiran ketimbang di pusat.

Menurut John L. Ekssposito, dalam dekade-dekade sebelum perang dunia ke II, dan selama pendudukan Jepang, peran Islam dalam politik dalam negeri melemah, pertama akibat tantangan nasionalisme sekular dan penindasan Belanda;kedua akibat kecurigaan Jepang atas loyalitas politik muslim.

Akibat melemahnya peran politik Islam, maka SI mulai bubar pada tahun 1920 M. karena buruknya adminitrasi internal dan diperparah dengan adanya pertentangan-pertentangan antara kubu Islam dan komunis, akhirnya SI tergeser oleh partai-partai sekuler. Sepenjang tahun-tahun ini, kekuatan politik Islam retak akibat pertentangan religius diantara mereka dan akhirnya membentuk partai-partai yang saling bersaing. Pada tahun 1926, lahirlah NU sebagai partai tradisionalis untuk menandingi partai reformis SI dan terhadap hal-hal yang dipandang merusak kekuatan ulama. Selanjutnya pada era pasca perang partai-partai semakin dibatasi sehingga dalam kevakuman ini yang berperan adalah kelompok-kelompok organisasi non politik seperti Muhammadiyah.

Di sisi lain nampaknya Jepang mengambil posisi ambivalen terhadap Islam. Disatu pihak Jepang menggalang dukungan publik dengan memperjuangkan Islam terhadap Belanda Kristen, namun begitu berkuasa, fokus utama Jepang adalah mengalihkan loyalitas orang Islam dari Timur Tengah ke Asia Timur. Konsep persatuan Islam tidak selaras dengan upaya Jepang mempromosikan kepadamasyarakat Makmur Asia Timur Raya, akhirnya ketika memasuki masa-masa kemerdekaan pemimpin gerakan nasionalis terjerumus dalam kekuatan sekuler dan bukan sebagai kekuatan Islam yang bersatu.

John L Esposito, Badri Yatim menjelaskan bahwa ketika Jepang datang menduduki Indonesia, partai yang tadinya sudah mulai melemah pada pemerintahan kolonial Belanda, kembali diakomodasi oleh Jepang. Jepang lebih mengakomodasi partai Islam dan Nasionalis “sekular” ketimbang kalangan tradisionalis (raja dan bangsawan). Hal ini dilakukan Jepang karena meyakini bahwa dengan mengakomodasi kalangan Islam, maka kekuatan massa akan diperoleh dan hanya dengan pendekatan agama penduduk Indonesia dapat dimobilisasi. Hal ini dilakukan Jepang dengan maksud menunjang tujuan perang. Sekalipun Jepang tidak suka berhubungan dengan pemimpin parpol Islam,namun Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah organisasi baru untuk membina ulama dan umat Islam.Untuk mewujudkan maksud tersebut, maka dibentuklah Kantor Urusan agama. Selain itu dibentuk pula semboyan tiga A (Nippon pemimpin, pelindung dan cahaya Asia) yang dipimpin oleh Shimizu dari Jepang dan Samsuddin dari Indonesia.

Menurut Ira L. Lapidus, pendudukan Jepang yang dimulai pada tahun 1942-1945 memberikan dukungan yang sangat besar kepada kaum muslim. Jepang menghancurkan kelompok aristokrasi lama dan secara cepat membawa pergerakan muslim ke dalam penguasaan mereka. Meskipun mereka membubarkan beberapa partai politik, namun mereka membiarkan organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama mengelola pendididikan Muslim setingkat SMP. Mereka juga membentuk Milisi Muslim dengan lambang bulan sabit dan matahari terbit yang melambangkan perjuanagn jihad bersama Jepang dalam menghadapi kekuatan Barat. Sejumlah kursus pelatihan tertentu yang diperuntukkan bagi kyai dan intelektual didirikan. Pada tahun 1943 Jepang mendirikan Masyumi untuk menyatukan dan mengkoordinir seluruh pergerakan muslimin.

Selanjutnya di bawah naungan masyumi, Jepang membangun birokrasi keagamaan yang dikelola oleh pihak muslim untuk menghubungkan pemerintahan pusat dengan daerah pedalaman. Sebuah koalisi muslim yang terdiri atas kelas pedagang menengah, petani yang kaya raya dan ulama kampung dimaksudkan untuk memobilisasi kerjasama dengan pihak Jepang. Tindakan yang dilakukan Jepang untuk mendekati kaum muslimin menurut Ahmad Mansur Suryanegara sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, hanya menginginkan kerjasama untuk mencapai maksudnya yaitu (a)menanamkan semangat Nippon, (b) menumbuhkan loyalitas ulama kepada Jepang, (c)meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, (d) perang Asia Timur Raya adalah perang suci, dan (e) menanamkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras.

 

D.  Keadaan Agama Dan Kekuatan Politik Masa Kolonialisme

Islam di Indonesia, sejak kedatangannya sudah memainkan peranan politik dan ideologis yang sangat penting dan menentukan bagi jalannya sejarah Indonesia. Pentingnya arti politik Islam di Indonesia, sebagian besar berakar pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik sangatlah tipis. Islam adalah sebagai Way of Life dan agama; dan meskipun di Indonesia proses pengislaman merupakan suatu proses setahap demi setahap, namun kandungan politik yang ada di dalamnya sudah terasa sejak awal perkembangannya.

Berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara berlangsung selama beberapa abad, hal ini merupakan suatu proses yang terus-menerus hingga sekarang belum selesai. Rupanya sudah sejak awal abad ke-13 berdiri suatu kerajaan Islam di pintu gerbang Indonesia utara pulau Sumatera. Lalu menyusul dinasti-dinasti yang memerintah pulau tersebut memeluk agama Islam, di antaranya Aceh yang memainkan peranan penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Sekitar permulaan abad ke-15, Islam telah memperkuat kedudukannya di Malaka yang merupakan pusat rute perdagangan Asia Tenggara. Dari sini Islam melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah Indonesia lainnya, sehingga sampai permulaan abad ke-17, secara geografis Islam telah menguasai sebagian besar kepulauan Indonesia.

Oleh H.J. Benda dianggap bahwa kemenangan Islam ini luar biasa, sebab pembawa agama Islam ke Indonesia bukanlah para penakluk yang menyebarkan Islam dengan kekerasan seperti di bagian dunia lainnya, melainkan para pedagang muslim dari India yang bersemangat damai. Mereka datang ke Indonesia karena tertarik oleh perdagangan rempah-rempah di Indonesia yang banyak memberikan keuntungan. Dimulai dengan membentuk koloni-koloni dagang Islam di daerah hulu sungai dan kota-kota pesisir kepulauan Indonesia, lalu berkembang menjadi vassal-vasal Islam yang seringkali terkenal karena kekayaan dan semangat dakwahnya yang tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong para aristokrat Indonesia tertarik kepada Islam. Bagi golongan ini, memeluk agama Islam menjadi menarik secara ekonomis dan menguntungkan secara politis. Ini berarti bahwamenganut Islam merupakan senjata bagi mereka untuk menghadapi musuh baik dari luar maupun dari dalam.

Dengan demikian, gelombang pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, bukan saja mampu memasuki pola sosial Indonesia, namun lebih dari itu Islam mampu memainkan peranan politik yang penting dan menentukan di Indonesia. Gelombang itu datangnya terutama dari pusat-pusat Islam yang secara cepat dan potensial menjadi basis anti penjajah

Masuknya bangsa-bangsa Barat ke Indonesia, menghadapi kenyataan bahwa Islam telah menjadi kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Meskipun masuknya Islam tidak dengan sendirinya mempersatukan perlawanan orang Indonesia terhadap bangsa-bangsa Barat, kebanyakan perlawanan yang dijumpai menggumpal sekitar umat Islam. Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, ideologi Islam memang merupakan kekuatan sosial yang besar sekali dalam mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar seperti Perang Paderi dan Perang Aceh, maupun pemberontakanpemberontakan petani seperti peristiwa Cilegon dan Cimareme, kesemuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan dijiwai oleh ideologi Islam.

Walaupun orang Islam Indonesia kepercayaannya masih banyak bercampur dengan kepercayaan Animisme, Hindu dan Budha, mereka tetap menganggap bahwa agamanya merupakan alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain. Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing. Maka dari itu tidak mengherankan apabila seorang Belanda yang simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Dr. Dowes Dekker pernah berkata: “Kalau tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari bumi Indonesia.”

 

v  Mengenal Snouck Hurgronye sebagai Peletak Dasar Politik Kolonial Belanda

       Sampai akhir abad ke-19 Belanda telah kaya dengan pengalaman pahit dalam menghadapi kekuatan Islam di Indonesia. Sejak kedatangannya pada akhir abad ke-16 di Indonesia, Belanda senantiasa menghadapi kenyataan bahwa Islam selalu menjadi penghalang cita-citanya. Hal ini tidak mengherankan, sebab sebagian besar penduduk daerah yang dijajahnya di kepulauan Indonesia ini beragama Islam, motif aneka perlawanan terhadapnya, bagaimana pun jarang terlepas dari kaitan ajaran agama ini. Sejarah telah membuktikan selama abad ke-19 saja, Kolonial Belanda cukup sibuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan sebagai “perang sabil” atas nama Islam. Tercatat pemberontakan-pemberontakan yang terkenal pada abad ini antara lain, Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan yang terlama adalah Perang Aceh dari tahun 1871-1912.

       Pemberontakan-pemberontakan tersebut cukup membahayakan dan sempat mengancam kelangsungan hidup penjajahan Belanda di Indonesia, di samping tidak kecil kerugian-kerugian yang diderita Belanda karenanya. Maka dari itu wajarlah apabila Belanda yang menginginkan kelestarian penjajahannya berusaha sekuat tenaga menjinakkan dan sekaligus melumpuhkan Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia yang dapat membahayakan penjajahannya di negara tersebut.

       Sejalan dengan usahanya untuk menguasai medan jajahan itulah, Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya pendidikan “Indologie” untuk mengenal lebih jauh seluk-beluk pribumi Indonesia. Melalui usaha tersebut diharapkan bisa dihasilkan pegawai-pegawai yang cakap dalam mengurus dan mengendalikan administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia. Kebijaksanaan Kolonial Belanda dalam menangani masalah Islam ini, sering disebut dengan istilah “Islam Politiek”, yakni kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia. Untuk ini Christian Snouck Hurgronje dipandang sebagai peletak dasarnya.

       C.S. Hurgronje adalah anak seorang Pastur Gereja Gereformeerd (Calvinist), ia lahir pada tanggal 8 Februari 1857. Pada usia 18 tahun ia masuk Fakultas Theologi Leiden. Setelah lulus kandidat examen, kemudian ia pindah ke Fakultas Sastra jurusan Arab. Setelah berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang Sastra Semit (1880) ia menjadi dosen di Leiden, dalam Institut yang mempersiapkan pegawaipegawai Belanda untuk Indonesia (Indologie). Jabatan tersebut dipegangnya sampai tahun 1887. Selama itu pula ia menyelidiki Fiqih (Hukum Islam), biografi Nabi Muhammad SAW dan Sejarah Islam.

       Pada tahun 1889, Snouck pergi ke Indonesia dengan tugas meneliti suku Aceh, bahkan terus menetap di Jakarta untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Kemudian pada tanggal 15 Maret 1891 ia diangkat menjadi penasehat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam, hingga tanggal 11 Januari 1899 ia menjabat sebagai penasehat urusan Arab dan pribumi.

       Sebelum kedatangan Snouck di Indonesia, kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia tidaklah memiliki arah yang jelas. Hal ini disebabkan miskinnya pengetahuan Kolonial Belanda tentang Islam dan Indonesia, atau mungkin “buta” sama sekali. Pada masa itu kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia, secara tradisional dibentuk oleh kombinasi yang kontradiktif antara ketakutan dan pengharapan yang berlebih-lebihan.

 

 

 

 

 

 

 

III.             PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Perkembangan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan secara garis besar dapat dibagi dalam dua periode yaitu perkembangan Islam sebelum masa kolonialisme Barat dan Jepang serta perkembangan Islam pada masa kolonialisme Barat dan Jepang. Mengenai awal masuknya Islam ke Indonesia belum diketahui dengan pasti. Yang jelas bahwa Islamisasi di Nusantara telah berlangsung sejak abad-abad pertama hijriah lewat jalur perdagangan dan selanjutnya Islam berkembang melalui beberapa jalur seperti jalur perkawinan, tasawuf politik dan lain-lain. Dalam proses Islamisasi terjadi interaksi antara budaya lokal sehingga corak Islam dibeberapa tempat berjalan sesuai dengan tradisi dan budaya setempat tanpa mengurangi nilai Islam yang sesungguhnya

2.      Perkembangan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan secara garis besar dapat dibagi dalam dua periode yaitu perkembangan Islam sebelum masa kolonialisme Barat dan Jepang serta perkembangan Islam pada masa kolonialisme Barat dan Jepang. Mengenai awal masuknya Islam ke Indonesia belum diketahui dengan pasti. Yang jelas bahwa Islamisasi di Nusantara telah berlangsung sejak abad-abad pertama hijriah lewat jalur perdagangan dan selanjutnya Islam berkembang melalui beberapa jalur seperti jalur perkawinan, tasawuf politik dan lain-lain. Dalam proses Islamisasi terjadi interaksi antara budaya lokal sehingga corak Islam dibeberapa tempat berjalan sesuai dengan tradisi dan budaya setempat tanpa mengurangi nilai Islam yang sesungguhnyaselama berabad-abad dan akhirnya Belanda mengangkat kaki dari bumi Nusantara tanpa berhasil mengkristenkan bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia yang cenderung mengakomodasi umat Islam, melapangkan jalan bagi bangkitnya kembali semangat pergerakan-pergerakan Islam dan nasionalis baik pergerakan politik ataupun pergerakan kemasyarakatan. Lewat para tokoh pergerakan inilah ide tentang dasar negara terbentuk dan akhirnya Indonesia berhasil memproklamirkan kemedekaannya dengan dasar Pancasila walaupun keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara tidak tercapai.

3.      Politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia sejak semula diarahkan untuk melenyapkan pengaruh Islam dari bumi Indonesia, namun terhalang oleh Islam yang sejak awal perkembangannya sudah menjadi penghalang paling militant bagi kekuatan-kekuatan asing yang ingin menjajah dan menguasai Indonesia. Untuk itu, Belanda perlu menguasai seluk-beluk mengenai Islam (khususnya di Indonesia) agar dapat dengan mudah merumuskan politik yang tepat dalam menghadapi kekuatan Islam di Indonesia; maka dicetaklah sarjana-sarjana politikus yang ahli tentang Islam; di antaranya adalah Dr. C. Snouck Hurgronje.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cet. I, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1998.

Amsyary, Fuad. Islam Kaafah Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Azra,Azyumardi. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Cet. I, Bandung: Mizan, 2002.

Esposito, John L. Ensiklopedia Oxpord Dunia Islam Modern, Edisi terjemahan Indonesia. Cet. II, Bandung: Mizan, 2002.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Hasymy,A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Cet. III, Bandung: alMa’arif, 1993.

Hidayat, Kamaruddin dan Ahmad Gaus Af. Menjadi Indonesia, 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Cet. I, Jakarta: Mizan, 2006.

Abdullah, Taufik (ed.). Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1974.

Ali, A. Mukti. Alam Fikiran Islam Moderen di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan NIDA, 1971.

Amin, M. Masyhur. HOS Cokroaminoto dan Kebangunan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Kelompok Studi Batas Kota, 1978.

Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.

 Darban, A. Adaby (ed.). Snouck Hurgronje dan Islam di Indonesia. Yogyakarta: tp., tt. Geert, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975.