Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Kamis, 31 Agustus 2023

AL-MUSAWA

aldhy purwanto


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Tuhan menciptakan manusia di bumi sebagai makhluk sosial. Dalam hakikatnya sebagai makhluk sosial, tentunya manusia tidak lepas dengan yang namanya pembicaraan atau komunikasi antar mulut ke mulut. Oleh karenanya diperlukan perhatian tersendiri dalam hal ini agar kualitas dan kuantitas kalam seseorang terbentuk dengan baik, benar dan indah. Sebagaimana wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ayat 1-5 dari surat Al-Alaq yang di dalamnya mengandung konsep pembelajaran berbicara. Ini menjadi bukti akan pentingnya mempelajari bagaimana cara agar bahasa ucap atau kalam menjadi baik.

Dari adanya masalah tersebut, ilmu balaghah datang sebagai solusi yang terbilang cukup efektif dalam menyelesaikan dan menguraikan masalah-masalah seperti itu melalui disiplin keilmuan. Dengan demikian diharapkan agar setiap orang bisa mempelajarinya dengan orientasi penataan dimensi komunikasi yang terarah dan berkualitas baik.

Sebagaimana yang biasa dipelajari oleh para pelajar ilmu nahwu. Disana ilmu yang pertama kali harus mereka pelajari adalah tentang الكلام. Dan ulama’ nahwu pun ketika mengarang kitab tentang ilmu nahwu, sembilan puluh persen mereka selalu mengawali kitab-kitab yang mereka karang dengan pembahasan materi الكلام. Mereka memandang hal ini sebagai materi terpenting untuk dipelajari seseorang sebelum lebih dalam memahami tentang ilmu nahwu.

Dan dalam paktiknya banyak pakar keilmuan yang sudah memakai dan mengaplikasikan ilmu balaghah dalam kesehariannya, seperti; psikiater, psikolog, sosiolog, kriminolog, guru, orang tua, dan para pemuka Islam dan bahkan Non-Islam. Mereka memakai ilmu balaghah sebagai alat untuk berkomunikasi kepada setiap pasien yang mereka tangani. Dan ini sudah terbukti sangat efektif.

Seperti halnya tersebut, ulama’ balaghah menggolongkan model bicara menjadi tiga, yaitu memakai الإيجاز ,الإطناب , atau المساواة. Ketiga-tiganya merupakan metode bagaimana seseorang menyampaikan pokok fikirannya kepada orang lain. Untuk dua bagian yang pertama sudah dijelaskan pada makalah sebelumnya. Adapun pada makalah kali ini akan membahas mengenai المساواة.

B.     Rumusan Masalah

1.       Bagaimana al-musawah itu?

2.      Bagaimanakah posisi al-musawah di dalam balaghiyah?

3.      Siapakah pemakai uslub al-musawah?

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian al-Musawah

Sebelum kita membahas dan mengupas lebih lanjut mengenai al-musawah, mari kita pahami terlebih dahulu apa pengertian dan maksud dari al-musawah? Kata مُساوَاة berasal dari fi’il mujarrad سَوِيَ يَسْوَى سِوًى yang artinya adalah lurus. Kemudian fi’il tersebut dikonfersikan ke dalam wazan fi’il tsulatsi mazid bi harf  فَاعَلَ” menjadi سَاوَى يُسَاوِي مُساوَاة. Dengan adanya peralihan ini, mengakibatkan perubahan kategori, yang asalnya berbentuk fi’il lazim (سَوِيَ) menjadi fi’il muta’adi (سَاوَى). Menurut kamus balgahah (al-mu’jam al-mufasshal fi ulumi al-balaghah) fi’il سَاوَى sama artinya dengan fi’il سَوَّى الشّيءَ, maksudnya adalah menjadikan sesuatu menjadi sama. Sedangkan menurut kamus al-wasith سَاوَى بينَهما (جعلهما يتماثلان ويتعادلان), maksudnya adalah menjadikan keduanya sama atau sepadan.

Para bulagha’ (ilmuan balaghah) mempunyai banyak cara dalam memberikan pengertian mengenai al-musawah, diantaranya:

1.      Abdurrahman bin Muhammad Al-Ahdlori:

 تَأْدِيَةُ الْمَعْنَى بِلَفْظِ قَدْرِهِ ۝ هِيَ الْمُسَاوَاةُ كَسِرْ بِذِكْرِهِ

“Mendatangkan makna dengan ucapan yang sekadarnya (tidak bertele-tele dan singkat) ialah musawah”. Seperti contoh سِرْ بِذِكْرِهِ (Berjalanlah kamu seraya ingat kepada Allah).

 

2.      Menurut علال نوريم didalam kitabnya jadid al-tsalatsah al-funun fi syarhi al-jawharu al-maknun yang menjabarkan nadhom diatas:

 الْمُسَاوَاةُ هِيَ أَنْ يَكُوْنَ الْمَعَانِي بِقَدْرِ الأَلفَاظِ والألْفاظُ بِقَدْرِ الْمَعَانِي لايزيدُ بعضُها على بعضٍ

 “Musawah adalah pengungkapan kalimat yang takaran makna-maknanya sama dengan kata-katanya, begitu juga takaran kata-katanya sesuai dengan luasnya makna yang dikehendaki, dan takaran antara keduanya tidak melebihi antara satu dengan yang lain”.

 

3.       Menurut عبد المتعال الصّعيدى didalam kitabnya al-balaghah al-aliyah:

 الْمُسَاوَاةُ هي أنْ يَكون اللّفظ بمقدارِ أصلِ المرادِ لا ناقصًا عنه بحذف أو غيره ولا زائدًا عليه بنحو تَكرير أو تتميم أو اعتراض

“Musawah adalah pengungkapan yang kata-katanya sesuai dengan banyaknya inti pokok yang dimaksud, dengan tanpa adanya pengurangan dengan pembuangan, atau penambahan dengan cara pengulangan, penyempurnaan secara tuntas atau dengan cara perluasan ungkapan”.

Secara ringkas, yang dimaksud dengan al-musawah adalah sebuah bentuk pengungkapan yang cara penyusunan kata-katanya disesuaikan dengan makna atau maksud yang dinginkan oleh mutakalim. Tentunya tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan kata-kata yang dipakai dalam mengungkapkan makna tersebut. Atau bisa dikatakan sama antara makna dan pelafalan kata-katanya. Sehingga bisa dikatakan lafadz-lafahz-nya merupakan cerminan dari makna-maknanya. Seperti contoh sebagai berikut:

 

1.      firman Allah SWT:

 وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ

“Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah”. (QS. Al-Baqarah: 110)

2.      Firman Allah SWT:

وَلاَ يَحِيْقُ الْمَكْرُالسَّيِّءُإِلاَّبِأَهْلِهِ 

Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali atas orang yang merencanakannya.(Qs. Fatir:43)

3.      Dan sabda Nabi SAW:

 الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبِّهاتٌ

 

“Halal sudah jelas terlihat, haram sudah jelas terlihat, dan di antara keduanya adalah musyabbihat”

4.      An-Nabighah Adz-Dzubyani berkata:


فَإِنَّكَ كَالَّيْلِ الَّذِيْ هُوَ مُدْ رِكِيْ # وَإِنْ خِلْتَ أَنَّ الْمُنْتَأَى عَنْكَ وَاسِعٌ

“Sesungguhnya kamu itu seperti malam yang dapat mengejarku sekali pun engkau menduga bahwa menghindar darimu banyak tempat yang luas”.

5.      Tharafah bin Abd berkata:

سَتُبْدِيْ لَكَ الأَيَّامُ مَاكُنْتَ جَاهِلاٌ # وَيَأْتِيْكَ بِالأَخْبَارِمَنْ لَمْ تُزَوِّدِ

“Hari-hari akan menunjukkan kepadamu apa-apa yang belum engkau ketahui,dan akan datang kepadamu orang-orang yang belum pernah kauberi bekal dengan membawa aneka ragam berita”.

Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, kita dapatkan bahwa kata-katanya disusun sesuai dengan makna yang dikehendaki, dan seandainya kita tambahi satu kata saja, niscaya tampak ada kelebihan dan bila kita kurangi satu kata saja, niscaya akan mengurangi maknanya. Jadi,kata-kata yang tersusun dalam setiap contoh di atas sama dengan banyaknya makna. Oleh karena itu, pengungkapan kalimat yang demikian disebut sebagai musawah.

B.     Posisi Al-Musawah Di Dalam Balaghiyah

Di dalam ranah balaghiyyah, posisi al-musawah berada pada tingkatan di mana seseorang menyampaikan sebuah ungkapan sesuai dengan inti pokok makna (makna asal) yang dimaksud. Maksudnya adalah menyetarakan antara ungkapan dengan pokok fikiran asal yang dimaksud. Maka dari itu dalam tingkatan al-musawah, mutakallim tidak akan merubah ungkapannya, baik dengan cara mengurangi ataupun menambahi makna asal yang ia maksud, atau sebaliknya.

As-Sakakiy berpendapat bahwa pada tingkatan al-musawah tidak ada alasan bagi seorang mutakallim untuk dicela atau dipuji sebagai orang yang fasih perkataannya (baligh). Perkataan mereka tergolong sebagai ungkapan kelaziman (al-‘urfiy) yang dipakai oleh orang-orang tingkat menengah (kemampuan berbicaranya).

Ungkapan al-musawah biasanya dipakai pada wilayah-wilayah sebagai berikut:      

1.      Naskah-naskah keilmuan

2.       Ketentuan-ketentuan hukum dan syari’at

3.      Ketentuan-ketentuan perjanjian antar negara-negara

4.      Ketetapan-ketetapan dan keputusan- keputusan

5.      Penjelasan mengenai hukum-hukum agama

6.      Penjelasan mengenai hak dan kewajiban, dan sebagainya.

Dalam pemakaiannya, al-musawah tidak ditentukan secara khusus sebagai kalam yang fasih (baligh) jika dibandingkan dengan kalam ijaz dan ithnab, karena tingkat ke-baligh-an suatu kalam tidak dilihat dari sisi banyak-sedikitnya kata dan makna, atau persesuaian antara ungkapan dengan makna, melainkan dilihat dari sisi pemakaiannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdur Rahman Al-Ahdlori:

 وجَعَلُوْا بَلاَغَةَ الْكَلاَمِ ۝ طِبَاٌقَهُ لِمُقْتَضَى الْمَقَامِ

“Ulama’ balaghah mendefinisikan ke-balaghah-an suatu kalam adalah ketika kalam tersebut dipakai sesuai dengan tempatnya”.

 لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالُه الْمُناسِبُ

“Setiap tempat mempunyai bentuk ucapannya masing-masing yang sesuai”.

Adapun yang dimaksud dengan maqam di sini adalah sebuah keadaan di mana mutakallim didorong untuk mendatangkan sebuah ungkapan tertentu.

Maka dari itu seseorang tidak bisa begitu saja mengklaim salah satu dari ketiga tersebut sebagai kalam yang baligh. Karena ketiga bentuk tersebut bisa dikategorikan sebagai ungkapan yang baligh jika ia diletakkan atau dipakai pada tempat yang tepat. Sebagai contoh, bentuk kalam ithnab bisa dipakai untuk memuji seseorang, dan kalam ijaz bisa dipakai untuk berbicara dengan orang yang pintar.

C.    Pemakai Uslub Al-Musawah

Setelah mengetahui tingkatan al-musawah di dalam balaghiyah, tentu perlu diketahui juga tempat dimana al-musawah diaplikasikan. Pada umumnya al-musawah terdapat pada ungkapan (kalam) seseorang yang berada pada tingkatan menengah. Karena pengungkapannya yang bersifat sedang (tidak lebih dan tidak kurang), bisa dikatakan bahwa al-musawah akan keluar dari kalam orang yang mempunyai taraf balaghiyah menengah. Namun perkiraan seperti ini dinilai sangat kurang tepat, karena dalam praktiknya banyak juga dari kalangan bulagha’ (mutakallim yang fasih perkataannya) yang memakai kalam al-musawah. Namun jarang sekali ditemui hal demikian.

Dalam kasus di atas, para bulagha’ ini hanya sebatas menyesuaikan uslub yang mereka pakai dalam berkomunikasi dengan keadaan si mukhatab. Sebagaimana ucapan Nabi Khidlir kepada Nabi Musa:

 قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا

“Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku”. (QS. Al-Kahfi: 67)

Perkataan ini diucapkan oleh Nabi Khidlir pada awal perjalanan perguruan yang dilakukan oleh Nabi Musa kepadanya. Ketika itu Nabi Musa melakukan protes kepada apa yang telah dilakukan oleh Nabi Khidlir. Yang padahal pada waktu sebelum melakukan perjalanan perguruannya, Nabi Khidlir telah memberikan pesan kepada Nabi Musa agar tidak melakukan protes atas apa yang beliau kerjakan sampai nanti beliau menjelaskan apa alasan dari semua yang beliau kerjakan. Demikian yang tercantum dalam firman Allah SWT:

 قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (٦٧) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (٦٨) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (٦٩) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (٧٠)

Artinya: “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. (67) dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?". (68) Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (69) Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (70).” (Al-Kahfi: 67-70).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Suatu susunan kalimat ditinjau dari penggunaan lafadz dan makna yang dikehendaki itu dibagi menjadi 3 yaitu: Ijaz, Ithnab, dan musawah. Pada ungkapan ijaz lafazh-lafazh yang diucapkan lebih sedikit dari pada makna yang dikandungnya. Sedangkan pada ungkapan ithnab kebalikannya, yakni lafadz-lafadz yang diucapkan lebih banyak dari makna yang dikandungnya, maka musawah berada di antara keduanya, yaitu lafazh-lafazh yang diungkapkan sebanding dengan makna yang dikandungnya. Ungkapan al-musawah biasanya digunakan pada hal-hal sebagai berikut:

1.      Naskah-naskah keilmuan.

2.      Naskah-naskah hukum syari’at

3.      Teks perjanjian antar Negara

4.      Teks yang memuat ketetapan-ketetapan resmi

5.      Penjelasan hukum agama

6.      Penjelasan tentang hak dan kewajiban

Demikianlah makalah yang dapat disusun oleh penulis. Semoga dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan penulis sendiri. Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari banyak kekurangan di dalamnya, oleh karena itu penulis sangat mengharap kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah yang selanjutnya, terutama dari Bapak Hasfikin. S, S.S., M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliyah Balaghoh. Semoga makalah yang ringkas dan sederhana ini dapat memberikan manfaat. Aamiin

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Akhdori, Imam. Terjemah Jauharul Maknun: Ilmu Balaghah. Surabaya: al-Hidayah. t.th

Jarim, Ali Al- dan Mustafa Amin, Terjemahan al-Balaghah al-Wadhihah, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.

Nuraim,Alal,Jadid Al-Tsalatsah Al-funun Fi Syarhi Al-Jawharu Al-Maknun,Juz I, Tt.p.: Ad-darAl-Baidha’, 2007.

Wahyuddin, Yuyun, Menguasai balaghoh , Yogyakarta: Nurma Media Idea, 2007.

ü  ‘Akkariy, In’am Fawwal.1971.Al-Mu’jam al-Mufasshol fi Ulum al-Balaghah. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah.