BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tuhan menciptakan manusia di bumi
sebagai makhluk sosial. Dalam hakikatnya sebagai makhluk sosial, tentunya
manusia tidak lepas dengan yang namanya pembicaraan atau komunikasi antar mulut
ke mulut. Oleh karenanya diperlukan perhatian tersendiri dalam hal ini agar
kualitas dan kuantitas kalam seseorang terbentuk dengan baik, benar dan indah.
Sebagaimana wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ayat 1-5
dari surat Al-Alaq yang di dalamnya mengandung konsep pembelajaran berbicara.
Ini menjadi bukti akan pentingnya mempelajari bagaimana cara agar bahasa ucap
atau kalam menjadi baik.
Dari adanya masalah tersebut, ilmu
balaghah datang sebagai solusi yang terbilang cukup efektif dalam menyelesaikan
dan menguraikan masalah-masalah seperti itu melalui disiplin keilmuan. Dengan
demikian diharapkan agar setiap orang bisa mempelajarinya dengan orientasi
penataan dimensi komunikasi yang terarah dan berkualitas baik.
Sebagaimana yang biasa dipelajari
oleh para pelajar ilmu nahwu. Disana ilmu yang pertama kali harus mereka
pelajari adalah tentang الكلام. Dan ulama’ nahwu pun ketika mengarang kitab tentang ilmu
nahwu, sembilan puluh persen mereka selalu mengawali kitab-kitab yang mereka
karang dengan pembahasan materi الكلام. Mereka memandang hal ini sebagai materi
terpenting untuk dipelajari seseorang sebelum lebih dalam memahami tentang ilmu
nahwu.
Dan dalam paktiknya banyak pakar
keilmuan yang sudah memakai dan mengaplikasikan ilmu balaghah dalam
kesehariannya, seperti; psikiater, psikolog, sosiolog, kriminolog, guru, orang
tua, dan para pemuka Islam dan bahkan Non-Islam. Mereka memakai ilmu balaghah
sebagai alat untuk berkomunikasi kepada setiap pasien yang mereka tangani. Dan
ini sudah terbukti sangat efektif.
Seperti halnya tersebut, ulama’
balaghah menggolongkan model bicara menjadi tiga, yaitu memakai الإيجاز
,الإطناب , atau المساواة. Ketiga-tiganya merupakan metode bagaimana
seseorang menyampaikan pokok fikirannya kepada orang lain. Untuk dua bagian
yang pertama sudah dijelaskan pada makalah sebelumnya. Adapun pada makalah kali
ini akan membahas mengenai المساواة.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana al-musawah itu?
2.
Bagaimanakah posisi al-musawah di dalam balaghiyah?
3.
Siapakah pemakai uslub al-musawah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian al-Musawah
Sebelum kita membahas dan mengupas
lebih lanjut mengenai al-musawah, mari kita pahami terlebih dahulu apa
pengertian dan maksud dari al-musawah? Kata مُساوَاة berasal dari fi’il mujarrad سَوِيَ يَسْوَى
سِوًى yang artinya adalah
lurus. Kemudian fi’il tersebut dikonfersikan ke dalam wazan fi’il tsulatsi
mazid bi harf “فَاعَلَ” menjadi سَاوَى
يُسَاوِي مُساوَاة. Dengan adanya peralihan
ini, mengakibatkan perubahan kategori, yang asalnya berbentuk fi’il lazim (سَوِيَ) menjadi fi’il muta’adi (سَاوَى). Menurut kamus balgahah (al-mu’jam
al-mufasshal fi ulumi al-balaghah) fi’il سَاوَى sama artinya dengan fi’il سَوَّى الشّيءَ, maksudnya adalah menjadikan sesuatu
menjadi sama. Sedangkan menurut kamus al-wasith سَاوَى بينَهما
(جعلهما يتماثلان ويتعادلان), maksudnya adalah
menjadikan keduanya sama atau sepadan.
Para bulagha’ (ilmuan balaghah)
mempunyai banyak cara dalam memberikan pengertian mengenai al-musawah,
diantaranya:
1.
Abdurrahman bin Muhammad Al-Ahdlori:
تَأْدِيَةُ
الْمَعْنَى بِلَفْظِ قَدْرِهِ هِيَ الْمُسَاوَاةُ كَسِرْ بِذِكْرِهِ
“Mendatangkan makna dengan ucapan yang sekadarnya (tidak
bertele-tele dan singkat) ialah musawah”. Seperti contoh سِرْ
بِذِكْرِهِ (Berjalanlah kamu seraya
ingat kepada Allah).
2.
Menurut علال نوريم didalam kitabnya jadid al-tsalatsah al-funun fi syarhi
al-jawharu al-maknun yang menjabarkan nadhom diatas:
الْمُسَاوَاةُ
هِيَ أَنْ يَكُوْنَ الْمَعَانِي بِقَدْرِ الأَلفَاظِ والألْفاظُ بِقَدْرِ
الْمَعَانِي لايزيدُ بعضُها على بعضٍ
“Musawah adalah pengungkapan
kalimat yang takaran makna-maknanya sama dengan kata-katanya, begitu juga
takaran kata-katanya sesuai dengan luasnya makna yang dikehendaki, dan takaran
antara keduanya tidak melebihi antara satu dengan yang lain”.
3.
Menurut عبد المتعال
الصّعيدى didalam kitabnya
al-balaghah al-aliyah:
الْمُسَاوَاةُ
هي أنْ يَكون اللّفظ بمقدارِ أصلِ المرادِ لا ناقصًا عنه بحذف أو غيره ولا زائدًا
عليه بنحو تَكرير أو تتميم أو اعتراض
“Musawah adalah pengungkapan yang kata-katanya sesuai dengan
banyaknya inti pokok yang dimaksud, dengan tanpa adanya pengurangan dengan
pembuangan, atau penambahan dengan cara pengulangan, penyempurnaan secara
tuntas atau dengan cara perluasan ungkapan”.
Secara ringkas, yang dimaksud dengan
al-musawah adalah sebuah bentuk pengungkapan yang cara penyusunan kata-katanya
disesuaikan dengan makna atau maksud yang dinginkan oleh mutakalim. Tentunya
tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan kata-kata yang dipakai dalam
mengungkapkan makna tersebut. Atau bisa dikatakan sama antara makna dan pelafalan
kata-katanya. Sehingga bisa dikatakan lafadz-lafahz-nya merupakan cerminan dari
makna-maknanya. Seperti contoh sebagai berikut:
1.
firman Allah SWT:
وَمَا
تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ
“Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu
kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah”. (QS. Al-Baqarah: 110)
2.
Firman Allah
SWT:
وَلاَ يَحِيْقُ
الْمَكْرُالسَّيِّءُإِلاَّبِأَهْلِهِ
“Rencana yang jahat itu tidak akan
menimpa kecuali atas orang yang merencanakannya”.(Qs. Fatir:43)
3.
Dan sabda Nabi SAW:
الْحَلَالُ
بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبِّهاتٌ
“Halal sudah
jelas terlihat, haram sudah jelas terlihat, dan di antara keduanya adalah
musyabbihat”
4.
An-Nabighah Adz-Dzubyani berkata:
فَإِنَّكَ كَالَّيْلِ الَّذِيْ هُوَ مُدْ رِكِيْ # وَإِنْ
خِلْتَ أَنَّ الْمُنْتَأَى عَنْكَ وَاسِعٌ
“Sesungguhnya
kamu itu seperti malam yang dapat mengejarku sekali pun engkau menduga bahwa
menghindar darimu banyak tempat yang luas”.
5.
Tharafah bin Abd berkata:
سَتُبْدِيْ لَكَ الأَيَّامُ مَاكُنْتَ
جَاهِلاٌ # وَيَأْتِيْكَ بِالأَخْبَارِمَنْ لَمْ تُزَوِّدِ
“Hari-hari akan
menunjukkan kepadamu apa-apa yang belum engkau ketahui,dan akan datang kepadamu
orang-orang yang belum pernah kauberi bekal dengan membawa aneka ragam
berita”.
Bila kita
perhatikan contoh-contoh di atas, kita dapatkan bahwa kata-katanya disusun
sesuai dengan makna yang dikehendaki, dan seandainya kita tambahi satu kata
saja, niscaya tampak ada kelebihan dan bila kita kurangi satu kata saja,
niscaya akan mengurangi maknanya. Jadi,kata-kata yang tersusun dalam
setiap contoh di atas sama dengan banyaknya makna. Oleh karena itu, pengungkapan kalimat yang
demikian disebut sebagai musawah.
B.
Posisi Al-Musawah Di Dalam Balaghiyah
Di dalam ranah balaghiyyah, posisi
al-musawah berada pada tingkatan di mana seseorang menyampaikan sebuah ungkapan
sesuai dengan inti pokok makna (makna asal) yang dimaksud. Maksudnya adalah
menyetarakan antara ungkapan dengan pokok fikiran asal yang dimaksud. Maka dari
itu dalam tingkatan al-musawah, mutakallim tidak akan merubah ungkapannya, baik
dengan cara mengurangi ataupun menambahi makna asal yang ia maksud, atau
sebaliknya.
As-Sakakiy berpendapat bahwa pada
tingkatan al-musawah tidak ada alasan bagi seorang mutakallim untuk dicela atau
dipuji sebagai orang yang fasih perkataannya (baligh). Perkataan mereka
tergolong sebagai ungkapan kelaziman (al-‘urfiy) yang dipakai oleh orang-orang
tingkat menengah (kemampuan berbicaranya).
Ungkapan al-musawah biasanya dipakai
pada wilayah-wilayah sebagai berikut:
1.
Naskah-naskah keilmuan
2.
Ketentuan-ketentuan hukum
dan syari’at
3.
Ketentuan-ketentuan perjanjian antar negara-negara
4.
Ketetapan-ketetapan dan keputusan- keputusan
5.
Penjelasan mengenai hukum-hukum agama
6.
Penjelasan mengenai hak dan kewajiban, dan sebagainya.
Dalam pemakaiannya, al-musawah tidak
ditentukan secara khusus sebagai kalam yang fasih (baligh) jika dibandingkan
dengan kalam ijaz dan ithnab, karena tingkat ke-baligh-an suatu kalam tidak
dilihat dari sisi banyak-sedikitnya kata dan makna, atau persesuaian antara
ungkapan dengan makna, melainkan dilihat dari sisi pemakaiannya yang sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdur Rahman
Al-Ahdlori:
وجَعَلُوْا
بَلاَغَةَ الْكَلاَمِ طِبَاٌقَهُ لِمُقْتَضَى الْمَقَامِ
“Ulama’ balaghah mendefinisikan ke-balaghah-an suatu kalam adalah
ketika kalam tersebut dipakai sesuai dengan tempatnya”.
لِكُلِّ
مَقَامٍ مَقَالُه الْمُناسِبُ
“Setiap tempat mempunyai bentuk ucapannya masing-masing yang sesuai”.
Adapun yang dimaksud dengan maqam di
sini adalah sebuah keadaan di mana mutakallim didorong untuk mendatangkan
sebuah ungkapan tertentu.
Maka dari itu seseorang tidak bisa
begitu saja mengklaim salah satu dari ketiga tersebut sebagai kalam yang
baligh. Karena ketiga bentuk tersebut bisa dikategorikan sebagai ungkapan yang
baligh jika ia diletakkan atau dipakai pada tempat yang tepat. Sebagai contoh,
bentuk kalam ithnab bisa dipakai untuk memuji seseorang, dan kalam ijaz bisa dipakai
untuk berbicara dengan orang yang pintar.
C.
Pemakai Uslub Al-Musawah
Setelah mengetahui tingkatan
al-musawah di dalam balaghiyah, tentu perlu diketahui juga tempat dimana
al-musawah diaplikasikan. Pada umumnya al-musawah terdapat pada ungkapan
(kalam) seseorang yang berada pada tingkatan menengah. Karena pengungkapannya yang
bersifat sedang (tidak lebih dan tidak kurang), bisa dikatakan bahwa al-musawah
akan keluar dari kalam orang yang mempunyai taraf balaghiyah menengah. Namun
perkiraan seperti ini dinilai sangat kurang tepat, karena dalam praktiknya
banyak juga dari kalangan bulagha’ (mutakallim yang fasih perkataannya) yang
memakai kalam al-musawah. Namun jarang sekali ditemui hal demikian.
Dalam kasus di atas, para bulagha’
ini hanya sebatas menyesuaikan uslub yang mereka pakai dalam berkomunikasi
dengan keadaan si mukhatab. Sebagaimana ucapan Nabi Khidlir kepada Nabi Musa:
قَالَ إِنَّكَ
لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
“Dia menjawab: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku”. (QS. Al-Kahfi: 67)
Perkataan ini diucapkan oleh Nabi
Khidlir pada awal perjalanan perguruan yang dilakukan oleh Nabi Musa kepadanya.
Ketika itu Nabi Musa melakukan protes kepada apa yang telah dilakukan oleh Nabi
Khidlir. Yang padahal pada waktu sebelum melakukan perjalanan perguruannya,
Nabi Khidlir telah memberikan pesan kepada Nabi Musa agar tidak melakukan
protes atas apa yang beliau kerjakan sampai nanti beliau menjelaskan apa alasan
dari semua yang beliau kerjakan. Demikian yang tercantum dalam firman Allah
SWT:
قَالَ إِنَّكَ
لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (٦٧) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ
بِهِ خُبْرًا (٦٨) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي
لَكَ أَمْرًا (٦٩) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ
حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (٧٠)
Artinya: “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersama aku. (67) dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal
itu?". (68) Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai
orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
(69) Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya
kepadamu". (70).” (Al-Kahfi: 67-70).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Suatu susunan kalimat ditinjau dari
penggunaan lafadz dan makna yang dikehendaki itu dibagi menjadi 3 yaitu: Ijaz,
Ithnab, dan musawah. Pada ungkapan ijaz lafazh-lafazh yang diucapkan lebih
sedikit dari pada makna yang dikandungnya. Sedangkan pada ungkapan ithnab
kebalikannya, yakni lafadz-lafadz yang diucapkan lebih banyak dari makna yang
dikandungnya, maka musawah berada di antara keduanya, yaitu lafazh-lafazh yang
diungkapkan sebanding dengan makna yang dikandungnya. Ungkapan al-musawah
biasanya digunakan pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Naskah-naskah keilmuan.
2.
Naskah-naskah hukum syari’at
3.
Teks perjanjian antar Negara
4.
Teks yang memuat ketetapan-ketetapan resmi
5.
Penjelasan hukum agama
6.
Penjelasan tentang hak dan kewajiban
Demikianlah makalah yang dapat
disusun oleh penulis. Semoga dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan
penulis sendiri. Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari banyak
kekurangan di dalamnya, oleh karena itu penulis sangat mengharap kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan makalah yang selanjutnya, terutama dari
Bapak Hasfikin. S, S.S., M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliyah Balaghoh.
Semoga makalah yang ringkas dan sederhana ini dapat memberikan manfaat. Aamiin
DAFTAR PUSTAKA
Akhdori,
Imam. Terjemah Jauharul Maknun: Ilmu Balaghah. Surabaya: al-Hidayah.
t.th
Jarim, Ali Al- dan Mustafa Amin,
Terjemahan al-Balaghah al-Wadhihah, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Nuraim,Alal,Jadid Al-Tsalatsah
Al-funun Fi Syarhi Al-Jawharu Al-Maknun,Juz I, Tt.p.: Ad-darAl-Baidha’, 2007.
Wahyuddin, Yuyun, Menguasai balaghoh
, Yogyakarta: Nurma Media Idea, 2007.
ü ‘Akkariy, In’am
Fawwal.1971.Al-Mu’jam al-Mufasshol fi Ulum al-Balaghah. Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar