KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya bagi Allah SWT yang memiliki
sifat Rahman dan Rahim. Dan dengan ridho serta hidayah nya yang menyertai
usaha-usaha hambanya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat pada
waktunya.
Adapun penyusunan
makalah ini yang berjudul “Ijtihad dan Ruang Ligkupnya". Penulis
menyadari, bahwa makalah ini tidak dapat diselesaikan tanpa dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada
semua pihak yang memberikan kontribusi dan dukungan dalam penyusunan makalah
ini.
Dalam menyusun
makalah, tentunya banyak kekurangan-kekurangan. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membantu agar dalam penyusunan makalah selanjutnya dapat
lebih baik. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk
mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan terutama
untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem hukum di
setiap masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri. Sama
halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan figh. Hukum
Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang sempit: ia mencakup seluruh
bidang kehidupan-etika. keagamaan, politik dan ekonomi. Ia bersumber dari wahyu
Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep dasar hukum Islam serta dalam banyak
hal merintis dobrakan terhada adat dan sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus pada zaman
Rasululloh saw yang tidak ada ketetuan dalam al-qur’an, para ulama ushul
fiqih menyimpulkan bahwa ada isyarat Rasululloh saw, Beliau menetapkannya
melalaui ijtihad. Hasil ijtihad Rasululloh inilah yang secara otomatis menjadai
sunah, sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam. Tokoh mujtahid yamg
termashur dikalangan sahabat ialah umar ibn al khatab, ali ibn abi talib, dan
abdulloh bin mas’ud.
Ijtihad
sebagai sumber dan nilai dalam ajaran islam yang merupakan sumber tambahan,
karena ijtihad sebagai sumber tambahan ajaran islam tidak dapat berdiri
sendiri, sebagaimana dengan Al-Qur’an dan hadits. Pemakaian ijtihad adalah
sesuai dengan anjuran Al-Qur’an untuk mempergunakan akal fikiran atau
berijtihad yang merupakan suatu proses alamiah bagi manusia dalam menilai
setiap masalah yang dihadapinya.
Dalam berijtihad umar bin kathab sering kali
mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara
zahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Ali ibn abi tholib melakukan
ijtihad juga menggunakan qiyas.
Sekarang,
dalam melakukan ijtihad, ruang lingkup qiyas haruslah diperluas untuk
menjadikannya lebih praktis dan mujarrab untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang merupakan kebutuhan yang
mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh para ahli yang berkompeten
dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang Islamis) sehingga ia dapat
diberlakukan menjadi perundang- undangan: kalau tidak ia akan tetap tinggal
bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara para ahli dan pemerintah
akan terus berlangsung. Karena ijma' memantapkan dirinya hanya secara bertahap
dan hampir secara tak terasa bersamaan dengan jalannya waktu.
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu:
Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum
yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatuhukum yang tidak secara jelas
ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian,tidak boleh
bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
disajikan mengenai ijtihad dan ruanglingkupnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah dari makalah ini yaitu :
1.
Apa yang
dimaksud dengan Ijtihad?
2.
Bagamana ruang
lingkup Ijtihad?
3.
Bagaimana
dasar hukum Ijtihad?
4.
Bagaimana
fungsi dan kedudukan Ijtihad?
5.
Apa saja macam-macam
Ijtihad?
6.
Apa saja syarat-syarat
Ijtihad?
7.
Bagaimana
contoh kaus berijtihad?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Ijtihad
2.
Untuk
mengetahui bagamana ruang lingkup Ijtihad
3.
Untuk
mengetahui bagaimana dasar hukum Ijtihad
4.
Untuk
mengetahui bagaimana fungsi dan kedudukan Ijtihad
5.
Untuk
mengetahui apa saja macam-macam Ijtihad
6.
Untuk
mengetahui apa saja syarat-syarat
Ijtihad
7.
Untuk
mengetahui bagaimana contoh kaus
berijtihad?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Ijtihad
Menurut bahasa ijtihad adalah
bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Ijtihad berasal dari kata
ijtihada (اجتهد) artinya ialah : sungguh-sungguh,
rajin dan giat.
Sedang apabila kita meneliti ma'na ja-ha-da, artinya ialah mencurahkan segala
kemampuan. Jadi dengan demikian, menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau
berupaya yang sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan
di dalam sesuatu yang tidak mengandung
kesulitan dan keberatan.
Menurut istilah, ijtihad berarti pengarahan segenap kemampuan untuk
menemukan hukum syarak melalui dalil-dalil yang yang rinci dengan metode
tertentu. Definisi ijtihad menurut para ulama adalah sebagai brikut :
1.
Menurut
imam ghozali ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang fiqih(mujtahid)
dalam rangka menghasilkan hukum syarak.
2.
Menurut
abdul wahab kholaf ijtihad adalah pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum
syara’ dri dalil-dalil yang rinci yang bersumber dari dalil-dalil syara’.
3.
Menurut
Muhammad Khudhari Berijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengistimbatkan
hukum syara’ dari apa yang dipandang pembuat syara’ sebagai dalil, yaitu
kitabullah dan sunnah nabi-Nya. (Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat,
Jeddah:Al-Haramain : 10)
Dengan
demikian dapat dapat dinamakan ijtihad apabila memenuhi 3 unsur yaitu : usaha
yang bersungguh-sungguh, menemukan atau mengistimbatkan hukum islam, dan
menggunakan dalil-dalil yang rinci.
1.
Pertama,
tidak dinamakan ijtihad apa bila usaha yang dilakukan tdak bersunguh-sungguh.
Persyaratan ini sekaligus membatasi pelaksanaan ijtihad, yaitu hanya kepada
mereka yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan masalah
yang di ijtihadi.
2.
Kedua,
tujuan ijtihad adalah untuk menemukan atau merumuskan ketetapan hukum islam,
yang belum ada kepastian hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadits.
3.
Ketiga,
menggunakan dalil-dalil yang rinci yaitu dalil yang bersumber dari nash
al-Qur’an dan hadits.
Oleh
karena itu, penguasa terhadap metode istimbat hukum menjdi sangat pentina dalam
pelasanaan ijtihad. Karena metode inilah yang akan menghasilkan ketetapan hum
yang dihasilkan dengan nash al-quran dan hadits yang menjadi dasar hukumnya.
Ketika unsur diatas adalah satu kesatuan, jadi jika salah stunya ada yang tidak
terpenuhi maka usaha tersebut tidak disebut ijtihad.
Ijtihad
sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad saw.,sebab ketika Nabi berdialog dengan
Muaz bin Jabal yang diangkat sebagai gubernur Yaman tentang cara menghadapi
suatu masalah/kenyataan, dan Muaz bin Jabal akan melakukannya dengan ijtihad
yakni apabila masalah tersebut tidak tercantum dalam Al-Quran dan Hadits dan
Nabi pun menyetujuinya.
2.2
Ruang
Lingkup Ijtihad
Ruang lingkup Ijtihad merupakan bahasan-bahasan apa saja yang masuk
atau boleh untuk dilakukannya ijtihad. Adapun ruang lingkup ijtihad adalah
sebagai berikut:
1.
Hukum yang
dibawa oleh nash-nash yang zhanny, baik dari segi wurud-nya maupun dari segi
pengertiannya (dalalah) yaitu hadis ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi
sanad dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari.
2.
Hukum yang
dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ijtihadnya hanya
dari segi dalalahnya saja.
3.
Nash yang
wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka obyek ijtihadnya adalah pada
sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4.
Tidak ada
nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode
dan cara.
Kemudian dalam ijtihad peristiwa-peristiwa yang dihadapi haruslah
peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam nash. Dan berdasarkan ini, maka
ruang ijtihad dapat meangkum kegiatan-kegiatan panggilan hukum bagi
peristiwa-peristiwa hukum baru pada saat tidak terdapatnya nash.
2.3
Dasar Hukum Ijtihad
Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1. Al-Qur’an
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ
وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ
شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), danulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian, Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(QS.An-nisa:59) dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai
orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama,
yang dimaksud dengan dikembalikankepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang
yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada
alsannya, agar bisaditerapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan
hal ini adalahijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan
merenungkandiperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti
mengharuskan merekauntuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada
ulama-ulama yang harusmelakukan ijtihad. firman-Nya yang lain :
وَالَّذِيْنَ
جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِيْنَ
ࣖ
“Dan orang -orang
yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-
orang yang berbuat baik”.(
Q.S. Al-Ankabut:69 )
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ
الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا
تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawakebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allahwahyukan kepadamu. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
Sabda Nabi SAW : Ijtihadlah kamu,
karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya.
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat
mencapai kebenaran maka iamendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan
pahala kebenaranhasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai
kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menerangkan dialog
Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim
di Yaman berikut ini:
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz
ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?
Muadz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur‟an. Nabi bertanya lagi:
Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al -Qur‟an?, Muadz menjawab ,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur‟an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengantangan beliau,
seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.” (HR.Abu Dawud)
Para ulama’ membagi hukum melakukan
ijtihad menjadi 3 bagian yaitu:
1. Wajib ‘ain,
bagi orang yang diminta fatwa h]ukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, dan
dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukunya. Atau ia
sendiri mengalamisuatu peristiwa dan ia ingin mengetahui humnya.
2. Wajib kifayah,
bagi orany yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan lenyap peristiwa
itu,sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya. Maka apabila
kesempatan mujtahid itutidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua,
tetapi bila ada seorang dan mereka memberikanfatwa hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad
atas diri mereka.
3. Sunnah, apabila
melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.
2.4
Fungsi dan
Kedudukan Ijtihad
Fungsi utama ijtihad adalah
mengistimbatkan hukum (mencari, menggali, dan menemukan) hukum syara’. Ijtihad
merupakan alat ilmiah dan pandangan yang diperlukan untuk menghampiri berbagai
segi kehidupan baru dari segi ajaran islam. Melalui ijtihad, hukum islam akan
selalu up to date dan fungsional dalamkehidupan pribadi dan sosial. Dalam
kajian fiqih dan ushul fiqih ijtihad menjadi sumber hukum yang ketiga setelah
al-quran dan hadits.meskipun menjadi sumber hukum yang ketiga, tetapi kedudukan
ijtihad sangat penting karena nash tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri
tanpa bantuan akal manusia. Dasar hukum berlakunya ijtihad adalah Al-qur’an,
yaitu surat an-nisaa’ ayat 105 :
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ
الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا
تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ
Artinya :
Sesungguhnya kami
Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela)
orang-orang yang khianat [347],
Ayat Ini dan beberapa ayat berikutnya
diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia
menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu’mah tidak
mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang
Yahudi. hal Ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada nabi s.a.w. dan
mereka meminta agar nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi,
kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, nabi
sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap
orang Yahudi. ( Ali sodiqin : 102)
Tentang kebenaran hasil ijtihad, ulama terbelah
dalam 2 pendapat, yaitu kelompok musawwibat dan kelompok mukhatti’at. Kelompok
musawwibat berpndapat bahwa : mujtahid berfungsi sebagai penemu dan pembuat
hukum (munsy al-hukmi). Kedudukannya sama dengan Allah swt. Sehngga al-qur’an
dan hadits dapat sebagai sumber hukum. Kelompok mkhatti’at berpendapat lain,
bahwa fungsi mujtahid adalah pengungkap hukum (kasy al-hukmi), bukan pembuat
hukum. Hasil ijtihadnya relatif, bisa benar bisa juga salah. Ijtihad
berkedudukan sebagai metode bukan sumber hukum.
Menempatkan
ijtihad sebagai sumber hukum ketiga dalam ajaran Islam setelah Al Quran dan
sunah. Adapun beberapa Fungsi Ijtihad yaitu :
1. Sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran
dan hadis.
2. Sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul
dengan tetap berpegang pada Al Quran dan sunah.
3. Suatu cara yang disyariatkan untuk menyesuaikan perubahan- perubahan
sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
Berbeda dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijtihad
terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya
ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak
absolute, sebab ijtihad merupakan
aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Oleh karena produk pemikiran manusia adalah relative, maka keputusan
suatu ijtihad adalah relative pula
b. Sesuatu
keputusan yang ditetapkan oleh ijtihsd mungkin berlaku bagi seseorang tetapi
tidak berlaku bagi orang lain, berlaku untuk suatu masa atau tempat yang lain.
Ijtihad tidak berlaku dalam penambahan ibadah mahdhah, sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasul-Nya.
c. Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
d. Dalam proses
ijtihad hendaknya dipertimbangkan factor-faktor, motivasi, akibat, kemaslahatan
umum, kemamfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi cirri dan jiwa dari pada
ajaran
2.5
Macam-Macam Ijtihad
1. Dengan segala
kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni
dalalahnya. Dalam hal ini kita berijtihad dalam batas memahami nash dan
mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad dan jalannya
sampai kepada kita.
2. Dengan segala
kesungguhan berupaya memperoleh suatu hukum yang tidak ada nash qoth’i, nash
dhnny dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu denagn
berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’
seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut dengan ijtihad birro’yi.
3. Dengan segala
kesungguhan berupaya memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan
kaidah-kaidah kulliah. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin
diambildari kaidah dan nash-nash kulliah, tidak adanya suatu nash tertentu,
tidak ada pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan.
Pada
masa sekarang ini, bentuk-bentuk ijtihad yang dapat dilaksanakan, dapat berupa
penyusunan undang-undang, fatwa, maupun melakukan penelitian ilmiah, ketiga hal
tersebut termasuk dalam kategori ijtihad karena, dalam pelaksanaannya penuh
dengan kesungguhan, dilakukan oleh orang-orang yang ahli, dan ketetapan atau
pendapat yang dihasilkan sesuai dengan ajaran atau ketentuan hukum syara'.
2.6
Syarat-syarat Ijtihad
1. Syarat umum :
a. Baliqh
b. Berakal sehat
c. Memahami masalah
d. Beriman
2. Syarat-syarat
khusus:
a. Mengetahui ayat al-quran yang berhubungan dengan masalah
yang dianalisis.
b. Mengetahui
sunah nabi yang berhubunagn dengan yang dianalisis.
c. Mengetahui
maksud dan rahasia hukum islam.
d. Mengetahui
kaidah kulliah yaitu kaidah2 fiqih.
e. Mengetahui
kaidah b.arab
f. Mengetahui ilmu
mantiq
g. Mengetahui
bahwa tidak ada dalil qot’i yang berkaitan dengan masalah yang akan di tetapkan
hukumnya.
h. Mengetahui
masalah yang diperselisihkan oleh ulama dan yang akan mereka sepakati.
i.
Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak
bersifat mutlak.
2.7
Contoh
Kasus Berijtihad
Contoh kasus cara yang dilakukan dengan cara berijtihad antara lain
(Qias, Ikhtisan, dan Masalihul Mursalah) mulai dari proses kerjanya sampai
menghasilkan hukum :
1.
Qiyas,
yaitu menetapkan hukum suatu persoalan atau masalah yang belum
disebutkan secara konkret dalam Al Quran dan hadis dengan cara menyamakan
hukumnya dengan masalah yang sudah ada Contoh: menyamakan hukum nabidz (sari
buah yg memabukkan, alkohol dan sejenisnya) dengan Khamr, karena keduanya
memiliki kesamaan, yaitu sama - sama dihukumi haram. Karena meminum Khamr
hukumnya haram berdasarkan Al Quran dan Hadits, maka meminum nabidz haram pula
hukumnya sebab kesamaan illat, walaupun nabidz tidak tercantum dalam Al quran
maupun Hadits
2.
Istihsan,
yaitu menetapkan hukum suatu masalah yang tidak dijelaskan secara
rinci dalam Al Quran dan hadis yang didasarkan atas kepentingan (kemaslahatan)
umum dan demi keadilan atau suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat
menurut suatu keadaan. Contohnya : Peristiwa meninggalkan hukum potong tangan
(qisash) bagi pencuri pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Padahal seharusnya
pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah hukum asal. Namun kemudian hukum
ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, yang berupa tidak memotong tangan
pencuri.
3.
Maslahah Mursalah,
yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudharatan yang dalam rangka
untuk memelihara tujuan tujuan syara’. Contohnya : Dalam Al - Qur’an dan Al -
Hadist Rasul tidak ada nash yang melarang mengumpulkan Al - Qur’an dari hafalan
kedalam tulisan, meskipun demikian, para sahabat di zaman Abu Bakar bersepakat
untuk menulis dan mengumpulkannya, karena mengingat sebagai kemaslahatan umat,
yang saat itu sahabat penghafal Al - Qur’an banyak yang meninggal dunia sehingga
generus berikutnya dapat mempelajari ayat melalui tulisan yang ditinggalkan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Menurut bahasa
ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Menurut
istilah, ijtihad berarti pengarahan segenap kemampuan untuk menemukan hukum
syarak melalui dalil-dalil yang yang rinci dengan metode tertentu.
Adapun ruang
lingkup ijtihad adalah sebagai berikut: 1) Hukum yang dibawa oleh nash-nash
yang zhanny, baik dari segi wurud-nya maupun dari segi pengertiannya (dalalah)
yaitu hadis ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan penshahihannya
serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari. 2) Hukum yang dibawa oleh nash
qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ijtihadnya hanya dari segi
dalalahnya saja. 3) Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka
obyek ijtihadnya adalah pada sanad, kesahihan serta kesinambungannya. Dan 4)
Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan
segenap metode dan cara.
3.2
Saran
Terkait dengan
pembahasan ijthad diatas, dengan demikian ijtihad menjadi sangat penting
sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an dan al-Sunnah dalam memecahkan
berbagai problematika masa kini.
DAFTAR
PUSTAKA
Amrullah,
M. Jazuli (2014) Metode Ijtihad Dalam Hukum Islam: Studi Pemikiran K.H. Ali
Yafie dan H. M. Atho’ Mudzhar. Al-Mazahib, Volume 2, No. 2.
Badruddin,
Wilda Muhajir (2017) Ijtihad Dalam Metodelogi Studi Islam. Academia.edu, https://www.academia.edu/10299689/makalah_ijtihad_dalam_metodelogi_studi_islam diakses tanggal 08 Maret 2023.
Gudang
Ilmu (2015) Pengertian Ijtihad, Ruang Lingkup dan Kedudukan Ijtihad.
Ilmusaudara.com, https://www.ilmusaudara.com/2015/09/pengertian-ijtihad-ruang-lingkup-dan.html diakses tanggal 08 Maret 2023
Naseh,
Ahmad Hanany (2012) Ijtihad Dalam Hukum Islam. Jurnal An-Nûr, Vol. IV,
No. 2
Nurhidayat,
M. Taufik, dkk. (2020) Ijtihad. Slideshare.net, https://www.slideshare.net/NurDh2/makalah-ijtihad-214711045 diakses tanggal 08 Maret 2023
Makarim,
Nabil (2019) Analisis Terhadap Istinbath Hukum Dalam Fatwa Dewan
Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad Tentang Go-Pay Tahun 2018 Menurut Hukum Islam
Dan Hukum Positif Indonesia. Undergraduate (S1) thesis, University of
Muhammadiyah Malang.
Rog,
Faiq (2017) Ijtihad Dalam Hukum Islam. Academia.edu, https://www.academia.edu/15916297/MAKALAH_IJTIHAD_DALAM_HUKUM_ISLAM_Ijtihad_dalam_Hukum_Islam_I diakses tanggal 08 Maret 2023.
Syahra, Vanisa
(2019) Pendidikan Agama Islam Ijtihad. University of Brawijaya
Undergraduate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar