BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
adalah sesuatu yang esensial bagi manusia, melalui pendidikan manusia bisa
belajar menghadapi alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Karena
pentingnya pendidikan, islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting
dan tinggi dalam doktrin islam.
Dalam
Al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia agar menjadikan tujuan
akhir atau hasil dari segala aktivitasnya sebagai pengabdian-Nya kepada-Nya.
Aktivitas yang dimaksudkan oleh Allah tersimpul dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
menegaskan bahwa manusia adalah Khalifah Allah. Dalam setatusnya sebagai
khalifah ini, manusia hidup di alam mendapat kuasa atau tugas dari Allah, yaitu
memakmurkan dan membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh
Allah.
Selain
Al-Qur’an dan hadist nabi yang secara jelas menyerukan umat islam untuk
belajar, dan spek lain yang mendorong umat islam untuk belajar sehingga
pendidikan selalu mendapat perhatian umat islam. Aspek itu adalah bahwa islma
memilki Al-Qur’an sebagai sumber dasar ajaran islam dan hadist nabi sebagai
penjelas kehendak Tuhan.
Dalam
hadist Nabi dijelaskan “carilah ilmu meski kenegeri cina karena mencari ilmu
itu wajib bagi setiap muslim” hadist ini menunjukan bahwa mencari ilmu tidak terbatas
pada belajardasar-dasar dan hukum agama.
B. Rumusan masalah
“ bagaimana proses perkembangan islam pada masa Ali Bin
Abi Thalib “
C. Tujuan masalah
” mengetahui proses perkembangan islam pada masa Ali Bin
Abi Thalib”.
D. Manfaat
Menjadi bahan penetahuan dan referensi bagi pembaca pada
umumnya juga khususnya bagi penulis.
BABII.
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA ALI BIN ABI THALIB
Islam
adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar manusiawi dengan
landasan petunjuk Allah. Pendidikan islam berarti menumbuhkan dan mengembangkan
potensi fitrah tersebut, dan mewujudkannya dalam siistem budaya manusiawi yang
islami. Oleh karena itu, wajarlah kalau islam menerima sebagian dari
unsur-unsur budaya manusiawi yang telah berkembang tersebut sepanjang bisa
diarahkan dan diwarnai sebagai budaya yang islami. Adapun budaya manusia yang
telah berkembang tersebut yang menyimpang dari potensi fitrah manusiawi dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip budaya islami, islam menolaknya dan
menggantinya dengan budaya baru yang islami.
Dengan
demikian, pada masa pertumbuhan budaya islam ini, sebenarnya terdapat dialog
yang seru antara budaya prinsip-prinsip islami sebagaimana yang terangkum dalam
Al-Qur’an dengan budaya manusiawi yang telah berkembang pada masa itu. Dialog
itu terjadi dalam pemikiran sahabat yang berhadapan langsung dengan sistem
budaya dari masyarakat yang baru memeluk islam. Dialog tersebut nampak dalam
perbedaan-perbedaan pemikiran dan pandangan, yang menimbulkan sikap
kebijaksanaan yang berbeda-beda pula dalam menghadapi masalah-masalah baru yang
timbul sebagai akibat bertambah banyak pemeluk agama islam. Bentuk kongkritnya
adalah tumbuhnya berbagai aliran dan madzhab dalam berbagai aspek budaya islam.
Pendidikan
dalam kehidupan manusia, mempunyai peranan yang sangat penting. Ia dapat
membentuk kepribadian seseorang. Ia diakui sebagai kekuatan yang dapat
menentukan prestasi dan produktivitas seseorang.
Masa
Khulafaurrasyidin sering disebut pula masa Shahabat-sahabat besar yang
berlangsung dari tahun 11-40 H, adapun Khulafaurrasyidin ini adalah
pemimpin-pemimpin Islam yang arif dan bijaksana didalamnya terdapat 4 orang
khalifah yaitu Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib.
Masalah
yang pertama-tama dihadapi oleh para sahabat begitu Rasulallah wafat adalah
masalah siapa dan bagaimana pengganti menggantikannya, beliau tidak memberikan
petunjuk dalam hal ini. Berbagai pandangan berkembang dikalangan sahabat
tentang siapa yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Sementara itu Ali bin Abi Thalib merasa berhak atas dasar
dekatnya kekerabatan dan sebagai pewaris dari Nabi, untuk memegang kepemimpinan
tertinggi.
Berbeda
dengan para khalifah sebelumnya, khalifah usman bin affan tidak membentuk dewan
pemilihan atau penunjuk calon pengganti dirinya kelak. Mungkin karena itu
beliau meninggal dunia akibat pembunuhan oleh orang-orang yang tidak setuju
dengan kebijakannya. Oleh sebab itu, sepeninggal Usman bin Affan, kota madinah
dilanda huru hara selama 5 hari, pada saat itu Abdullah bin Saba sebagai
gubernur Mesir mengusulkan agar Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah pengganti
Usman bin Affan. Usulan gubernur mesir itu disetujui oleh mayoritas umat islam.
Pada
mulanya Ali tidak mau menerima usulan tersebut dalam kondisi kritis seperti
itu. Namun setelah mendapat desakan dari berbagai pihak. Ali pun menerimanya
demi kepentingan islam dan kaum muslimin. Mayoritas kaum muslimin menyatakan
setuju dan membaiatnya sebagai khalifah, kecuali Muawiyah bin abi sufyan
Gubernur Syiria. Namun demikian Ali tetap menjadi khalifah yang sah dan
ditetapkan sebagai khalifah Rasyidin ke empat.[1]
Sejak
kekuasaannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib selalu diselimuti pemberontakan
hingga berakhir tragis dengan terbunuhnya khalifah pada awal pemerintahannya,
sudah digoncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi). karena kesalah pahaman
dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman, peperangan di antara mereka disebut
Peperangan Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta. Setelah
berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehingga
masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada zaman empat khalifah belum
berkembang seperti masa-masa sesudahnya. Pelaksanaanya tidak jauh berbeda
dengan masa Nabi, yang menekankan pada baca tulis dan ajaran-ajaran islam yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, hal ini disebabkan oleh konsentrasi
umat islam terhadap perluasan wilayah islam dan terjadinya pergolakan politik,
khususnya dimasa Ali bin Abi Thalib.[2]
Pada
masa ini, penaklukkan ke timur dan ke barat dan kaum muslimin memerintah dari
Amir atas sebagian besar persi hingga sampai sungai jihan (Amudariya) dari
utara atas suriyah dan negeri Armenia, dari Barat atas Mesir. Dan dibukanya
kota kota besar Islam seperti Fusthat, Kufah, dan Damaskus.
Dengan
demikian agama Islam tersebar seluruh Negara Islam yang luas dipeluk oleh
penduduk dengan segala suka hati, bukan dengan paksa atau kekerasan. Pusat
pendidikan bukan hanya di Madinah saja, bahkan telah tersebar pula di kota-kota
besar sebagai berikut :
a. Kota Mekkah dan Madinah (Hijaz)
b. Kota Bashrah dan Kufah (Iraq)
c. Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
Sahabat-sahabat
bertebaran ke berbagai daerah dan disana mereka menjadipemimpin sekaligus
menjadi pendidik muslim di tempat masing masing sehingga pendidikan tidak
berpusat da Madrasah saja. Selanjutnya praktek pengelolaan pendidikan pada masa
ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Prinsip prinsip pendidikan:
a) Pendidikan diarahkan pada
mengajarkan isi
Al-Quran.
timbul perselisihan dalam bacaan
Al-Quran. Untuk itu Usman bin Affan mengambil kebijaksanaan menyusun Al-Quran
dalam satu Mushaf.
2) Sumber pendidikan diambil dari
Al-Quran, Hadits, alam sekitar (millu) da ijtihad dalam bentuk ijma dan Qiyas.
3) Kurikulum atau rencana pelajaran meliputi
:
a) Bidang keagamaan yang mencakup
aqidah, Ubudiyah, Akhlaq dan Muamalah.
b) Pada masa Umar digalakan
pendidikan keterampilan hal ini termaktub dalam instruksi Umar bin Khattab yang
dikirimkan kepada penduduk-penduduk kota yang isinya “Amma ba’du”. Ajarkanlah
kepada anak-anak kamu berenang, kepandaian menunggang kuda, dan tuturkanlah
kepada mereka pepatah-pepatah yang masyhur dan syair-syair yang baik.
c) Rencana pelajaran disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat.
d) Pada masa Ali bin Abi Thalib
digalakkan motivasi belajar.
4) Lembaga pendidikan pada masa
Khulafaurrasyidin tidak berbeda dengan masa Nabi SAW, yaitu :
a) Kuttab sebagai lembaga pendidikan
rendah yang didalamnya mengajarkan kepada anak-anak dalam hal baca dan tulis
dan sedikit pengetahuan-pengetahuan agama.
b) Masjid sebagai pusat pendidikan
umat Islam yang telah mukallaf pada masa permulaan Islam belum terdapat sekolah
formal seperti pada masa sekarang.[4]
Muawiyah
sebagai gubernur di Damaskus memberontak untuk menggulingkan kekuasannya.
Peperangan ini disebut dengan peperangan Shiffin, karena terjadi di Shiffin.
Ketika tentara Muawiyah terdesak oleh pasukan Ali, maka Muawiyah segera
mengambil siasat untuk menyatakan tahkim (penyelesaian dengan adil dan damai).
Semula Ali menolak, tetapi desakan sebagian tentaranya akhirnya Ali
menerimanya, namun tahkim malah menimbulkan kekacauan, sebab Muawiyah bersifat
curang. Dan dengan tahkim Muawiyah berhasil mengalahkan Ali dan mendirikan
pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara itu, sebagian tentara yang
menentang keputusan Ali dengan cara tahkim, meninggalkan Ali dan membuat
kelompok tersendiri yaitu khawarij.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Ali telah terjadi kekacauan
dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil.
Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam
mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali tidak sempat memikirkan
masalah pedidikan sebab keseluruhan perhatiannya ditumpahkan pada masalah
keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.[5]
B. KURIKULUM
PENDIDIKAN
Kurikulum
pendidikan di madinah selain berisi materi pengajaran yang berkaitan dengan
pendidikan keagamaan, yakni Al-Qur’an, Al-Hadits, hukum Islam, kemasyarakatan,
ketatanegaraan, pertahanan keamanan dan kesejahteraan sosial.
C. SASARAN (PESERTA DIDIK)
Peserta
didik di zaman Khulafaur Rasyidin terdiri dari masyarakat yang tinggal di
Mekkah dan Madinah. Namun yang khusus mendalami bidang kajian keagamaan hingga
menjadi seorang ynag mahir, alim dan medalam penguasaannya di bidang ilmu agama
jumlahnya masih terbatas. Sasaran pendidikan dalam arti umum yakni membentuk
sikap mental keagamaan adalah seluruh umat Islam yang ada di Mekkah dan
Madinah. Adapun sasaran pendidikan dalam arti khusus, yakni membentuk ahli ilmu
agama adalah sebagian kecil dari kalangan tabi’in yang selanjutnya menjadi
Ulama.
D.
TENAGA
PENDIDIK
Yang menjadi pendidik di zam Khulafaur Rasyidin antara
lain adalah Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Anas bin
Malik, Zaid bin Tsabut, Abu Dzar Al-Ghifari. Dari mereka itulah kemudian lahir
para siswa yang kemudian menjadi Ulama dan pendidik.
Khulafaur
Rasyidin kemudian menentukan criteria pendidik, sebagaimana criteria yang
diberikan oleh Rasulullah SAW, yaitu professional, memiliki kompetensi
pedagogik, memiliki kompetensi kepribadian dan akhlaq mulia, serta memiliki
kompetensi sosial, tampil rapih dan bersih, dan selalu menjaga kesehatan.
E. METODE DAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Metode
yang digunakan dalam mengajar yaitu dengan bentuk halaqah. Yakni guru duduk
dibagian ruangan masjid kemudian dikelilingi oleh para siswa. Guru menyampaikan
ajaran kata demi kata dengan artinya dan kemudian menjelaskan kandungannya.
Sementara para siswa menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dikemukakan
oleh para guru.
F. PUSAT-PUSAT DAN LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga
pendidikan yang digunakan masih sama dengan lembaga pendidikan yang digunakan
di zaman Rasulullah SAW, yaitu masjid, suffah, kuttab, danrumah.
G.
PEMBIAYAAN
DAN FASILITAS PENDIDIKAN
Pada masa Khulafaur Rasyidin sebagian besar waktu banyak
digunakan untuk melakukan konsolidasi ke dalam, yakni memantapkan komitmen
sebagian umat Islam kepada ajaran Islam, memadamkan berbagai pemberontakan
serta perluasan wilayah dakwah Islam.dengan demikian kesempatan untuk melakukan
pembangunan dan mengadakan berbagai kebutuhan fasilitas masih belum mendapatkan
perhatian yang memadai.
H.
EVALUASI DAN
LULUSAN PENDIDIKAN
Kegiatan evaluasi pendidikan masih berlangsung secara
lisan dan perbuatan, yakni bahwa kemampuan seseorang dalam menguasai bahan
pelajaran dilihat pada kemampuannya mengemukakan, mengajarkan, dan mengamalkan
ajaran tersebut. Para shahabat yang dinilai memiliki kecakapan dalam ilmu
agama, seperti tafsir, hadits, fatwa, dan sejarah kemudian dipercaya oleh
masyarakat untuk menagajar atau menyampaikan ilmunya itu kepada orang lain.[6]
Ulama
sahabat yang tinggal di kuffah ialah Ali Bin Abi thalib dan Abdullah bin
Mas’ud. Ali Bin Abi Thalib mengurus masalah politik dan urusan pemerintahan,
sedangkan Abdullah bin mas’ud adalah utusan resmi khalifah Umar untuk menjadi
guru agama di Kuffah.
Sahabat
Ali bin Abi Thalib juga mengajar di madrasah madinah saat kekuasaan dibawah
tangan khalifah Abu Bakar. Kurikulum pendidikan islam merupakan salah satu
sarana untuk mencapai tujuan pendidikan islam pada masa KhulafaUrrasyidin ini
meliputi bidang keagamaan yang mencakup tentang akidah, ubudiyah, akhlak dan
muamalah. Barulah pada masa Ali bin Abi Thalib digalakkan motivasi untuk
belajar.
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa meluasnya daerah kekuasaan islam dibarengi dengan usaha
penyampaian ajaran islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik yang ikut
sebagai anggota pasukan, maupun yang kemudian dikirim oleh khalifah dengan
tugas khusus mengajar dan mendidik. Maka diluar madinah, dipusat-pusat wilayah
yang baru dikuasi, berdirilah pusat-pusat pendidikan dibawah pengurusan para
sahabat yang kemudian diteruskan oleh para penggantinya (tabi’in) dan
seterusnya.
Mahmud
Yunus dalam bukunya “sejarah pendidikan islam” menerangkan bahwa pusat-pusat
pendidikan tersebut tersebar dikota-kota besar sebagai berikut:
(a) Di kota Makkah dan Madinah
(Hijaz)
(b) Di
kota Basrah dan Kuffah (Irak)
(c) Di
kota Damsyik dan Palestina (Syam)
(d) Di kota Fistat (Mesir)
Dipusat-pusat
pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran agama islam pada muridnya,
baik yang berasal dari penduduk setempat maupun dari daerah lain. Dipusat-pusat
pendidikan tersebut, timbullah madrasah-madrasah, yang masih merupakan sekedar
tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah dimasjid atau tempat
pertemuan yang lainnya.
Akan
tetapi madrasah madinah disini termasyhur karena disanlah tempat para sahabat
berkumpul dan mengajar begitu pula sahabat ali Bin Abi Thalib menjadi salah
satu guru dimadrasah madinah.[7]
Penyampaian
sumber-sumber hukum islam disampaikan dengan metode-metode yang disesuaikan
dengan kondisi budaya masyarakat. Walaupun menyesuaikan dengan budaya
masyarakat setempat, tetapi untuk tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda
terhadap sumber hukum hukum maka dibuatlah standar Al-qur’an pada masa Khalifah
Umar.
BABIII
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sejarah itu sangatlah penting dalam kehidupan kita dimasa
yang akan datang, dan sejarah adalah sebagai alat evaluasi agar kedepanya jauh
lebih baik lagi. Sebagaimana sejarah pendidikan
pada masa Rasulalah hingga sahabat Ali Bin Abi Thalib sistem dalam pengajaran
pendidikan masih terararah dengan Al-Qur’an dan hadist.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Ali telah terjadi kekacauan
dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil.
Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam
mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali tidak sempat memikirkan
masalah pedidikan sebab keseluruhan perhatiannya ditumpahkan pada masalah
keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.
Meskipun
sempat mengalami pemberontakan-pemberontakan pada masanya, Sahabat Ali Bin Abi
Thalib tetap menggalakkan kaumnya untuk tetap belajar walawpun tidak terlalu
terfokus dalam dunia pendidikan karena Ali Bin Abi Thalib lebih memfokuskan
diri terhadap keamanan masyarakatnya saat itu yang sempat mengalami
pertumpahan.
Demikian
lah dasar-dasar pandangan islam tentang pendidikan yang memilki kedudukan
penting dalam ajaran islam sehingga pendidikan selalu diutamakan oleh umat
islam.
B. SARAN
Selaku manusia biasa tentnya tidak luput dari
salah dan khilaf. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya
yang dapat membangun wawasan kami demi kesempurnaan penyusunan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Wahid. 2009. Sejarah
kebudayaan Islam Madrasah Aliyah. Bandung :CV. Armic
Natta, Abadin. 2011. Sejarah
Pendidikan Islam. Ciputat : Kencana Prenada Media Group.
Wahidin, Khoirul dkk. 1996. Sejarah
Pendidikan Islam dan Indonesia. Cirebon : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Gunung Jati.
Yunus, Muhammad. 1989. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta : Hidakarya Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar