1. Syekh Ibnu Atha'illah
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu
Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648
H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau
As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar
belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang
paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali
Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan
Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan
menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut
sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang
produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang
tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya
itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut
sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain
oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan
Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir
fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan
Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan
tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam
satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas
tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai
praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak
semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang
dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan
menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para
juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga
dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili
dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga
khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan
berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat
saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai
kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama
Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai
hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di
Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab
Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar
spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik,
menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua
selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas
pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para
tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan
para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah
bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi
diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara
syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak
Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh
sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut
adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan
profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,
dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa
syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan
akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan
dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah
SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu
Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at
Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir
searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang
dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus
menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain
daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan
memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai
keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas.
"Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang
akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi,"
ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum
salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung
pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun
jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang
salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak
dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang
mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual
yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif
yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa
dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi
Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan
akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa
nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara
sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat
Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari
tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan
diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh
melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa
,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Sayyidah
Nafisah ialah salah satu keturunan Rasulullah s.a.w.. Beliau puteri Imam Hasan
al-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin Imam Hasan bin Imam Ali r.a.. Beliau lahir di
Makkah, pada 11 Rabiulawal 145H, hidup dan besar di Madinah.
v Hijrah
Ke Mesir
Demi
keamanan dan ketenangan hidup Sayyidah Nafisah berhijrah ke Mesir bersama
suaminya, Ishaq al-Mu’tasim bin Ja’far as-Siddiq, pada tahun 193H, setelah
sebelumnya ziarah ke makam Nabi Ibrahim a.s.. Di Mesir beliau tinggal di rumah
Ummi Hani’.
Sayyidah
Nafisah menetap di Mesir selama 7 tahun. Penduduk Mesir sangat menyayanginya
dan percaya akan karamahnya. Mereka selalu berduyun-duyun mendatanginya,
berdesakan mendengarkan mauizahnya dan memohon doanya. Hal ini membuat suaminya
berfikir untuk mengajaknya pindah ke tanah Hijaz, namun beliau menolak dan
menjawab: “Aku tidak bisa pergi ke Hijaz kerana aku bermimpi bertemu Rasulullah
s.a.w.. Beliau berkata kepadaku: “Janganlah kamu pergi dari Mesir kerana nanti
Allah akan mewafatkanmu di sana (di Mesir).”
v Peribadinya
Sayyidah
Nafisah adalah seorang yang sangat kuat beribadah kepada Allah. Siang hari dia
berpuasa sunat sedangkan pada malamnya dia bertahajjud menghidupkan malam
dengan berzikir dan membaca Al Quran. Dia sungguh zuhud dengan kehidupannya.
Hatinya langsung tidak terpaut dengan kehidupan dunia yang menipu daya. Jiwanya
rindu dengan syurga Allah dan sangat takut dengan syurga Allah. Disamping itu
Sayyidah Nafisah sangat taatkan suaminya. Beliau sangat mematuhi perintah suami
dan melayan suaminya dengan sebaik-baiknya.
Sayyidah
Nafisah adalah seorang yang terkenal zuhud dan mengasihi manusia yang lain.
Pernah satu ketika, beliau menerima wang sebanyak 1000 dirham dari raja untuk
keperluan dirinya. Beliau telah membahagikan wang tersebut kepada fakir miskin
sebelum sempat memasuki rumahnya. Wang hadiah dari raja itu sedikit pun tidak
diambilnya untuk kepentingan dirinya. Semuanya disedekahkan kepada fakir dan
miskin. Demikianlah dermawannya Sayyidah Nafisah terhadap fakir miskin.
v Keutamaannya
Sayyidah
yang mulia ini sudah mendapatkan keutamaan sejak kecil lagi. Suatu ketika,
demikian al-Hafiz Abu Muhammad dalam kitabnya Tuhfatul Asyraf bercerita:
Al-Hasan, ayahanda Sayyidah Nafisah membawa Nafisah semasa kecil ke makam
Rasulullah s.a.w.. Di sini sang ayah berkata : “Tuanku, Bagindaku Rasulullah,
ini puteriku. Aku redha dengannya. Kemudian keduanya pulang. Di malam hari sang
ayah bertemu Rasulullah bersabda: “Wahai Hasan Aku redha dengan puterimu
Nafisah kerana keredhaanmu itu. Dan Allah SWT juga redha kerana redhaku itu.
Salah
satu keutamaan Sayyidah Nafisah adalah selama hidupnya beliau telah
mengkhatamkan al-Quran sebanyak 4000 kali. Selain itu, meskipun tinggal jauh
dari tanah suci, beliau melakukan ibadah haji sebanyak 17 kali.
v Sayyidah
Nafisah dan Imam Syafie
Sejarah
sepakat mengatakan bahawa Sayyidah Nafisah semasa dengan Imam Syafie. Keduanya
saling menghormati. Di ceritakan bahawa Imam Syafie meriwayatkan hadis dari
Sayyidah Nafisah. Setiap berkunjung ke kediaman Sayyidah Nafisah Imam Syafie
dan pengikutnya sangat menjunjung tinggi adab sopan santun terhadap beliau.
Imam
Syafie setiap tertimpa penyakit selalu mengirim utusan ke Sayyidah Nafisah agar
berkenan mendoakannya dengan kesembuhannya. Dan benar, setelah itu Imam Syafie
mendapatkan kesembuhan. Ketika Imam Syafie tertimpa penyakit yang menyebabkan
beliau wafat, Sayyidah Nafisah berkata pada utusan Imam Syafie: “Semoga Allah
memberikan kenikmatan pada Syafie dengan melihat wajahNya yang mulia.”
v Karamahnya
Sebelum
menceritakan karamah-karamah Sayyidah yang mulia ini, perlu diketahui bahwa
suami Sayyidah Nafisah (Ishaq bin al Mu’taman bin Ja’far ash Shadiq) pernah
berkeinginan untuk memindah makam beliau ke pemakaman Baqi’ (Madinah). Kemudian
penduduk Mesir meminta suami Sayyidah Nafisah untuk mengurungkan keinginannya,
kerana penduduk Mesir ingin mendapatkan berkah darinya. Akhirnya, pada suatu
malam suami Sayyidah Nafisah bermimpi bertemu Rasulullah s.a.w.. Rasulullah
bersabda, “Wahai Abu Ishaq, janganlah kamu menentang keinginan penduduk Mesir,
karena Allah akan memberikan berkahNya kepada penduduk Mesir melalui Sayyidah
Nafisah”.
Di
antara karamahnya ialah ketika pembantu Sayyidah Nafisah yang bernama Jauharah
keluar rumah untuk membawakan air wudhu untuk beliau, pada waktu itu hujan
deras sekali. Akan tetapi, tapak kaki Jauharah tidak basah dengan air hujan.
Di
antara karamahnya juga ialah, ada sebuah keluarga Yahudi yang tinggal di dekat
kediaman Sayyidah Nafisah di Mesir. Keluarga itu mempunyai seorang anak
perempuan yang lumpuh. Suatu ketika ibu anak itu berkata: “Nak, kamu mahu apa ?
Kamu mahu ke kamar mandi ?. Si anak tiba-tiba berkata: “Aku ingin ke tempat
perempuan mulia tetangga kita itu.” Setelah si ibu minta izin pada Sayyidah
Nafisah dan beliau memperkenankannya, keduanya datang ke kediaman Sayyidah
Nafisah. Si anak didudukkan di pinggir rumah. Ketika datang waktu solat Zuhur,
Sayyidah Nafisah beranjak untuk berwudhuk di dekat gadis kecil itu. Air wudhuk
beliau mengalir ke tubuh anak tersebut. Seperti mendapatkan ilham anak itu
mengusap anggota tubuhnya dengan air berkah tersebut. Dan seketika itu juga ia
sembuh dan bisa berjalan seperti tidak pernah sakit sama sekali.
Kemudian
si anak pulang dan mengetuk pintu. Pintu dibuka oleh ibunya. Dengan hairan dia
bertanya: “Kamu siapa Nak?” “Aku puterimu.” Sambil memeluk si ibu bertanya
bagaimana ini bisa terjadi. Si anak kemudian bercerita dan akhirnya keluarga
itu semuanya masuk Islam.
Selain
itu, pernah suatu ketika sungai Nil berhenti mengalir dan mengering.
Orang-orang mendatangi Sayyidah Nafisah dan memohon doanya. Beliau memberikan
selendangnya agar dilempar ke sungai Nil. Mereka melakukannya. Dan seketika itu
juga sungai Nil mengalir kembali dan melimpah.
Karamah-karamah
beliau setelah wafat juga banyak. Di antaranya, pada tahun 638H, beberapa
pencuri menyelinap ke masjidnya dan mencuri enam belas lampu dari perak. Salah
seorang pencuri itu dapat diketahui, lalu dihukum dengan diikat pada pohon.
Hukuman itu dilaksanakan di depan masjid agar menjadi pelajaran bagi yang lain.
Pada tahun 1940, seseorang yang tinggal di daerah itu bersembunyi di masjid itu
pada malam hari. Ia mencuri syal dari Kasymir yang ada di makam itu. Namun, ia
tidak menemukan jalan keluar dari masjid itu dan tetap terkurung di sana sampai
pelayan mesjid datang di waktu subuh dan menangkapnya.
v Wafatnya
Al-Sakhawi
bercerita, “Ketika Sayyidah Nafisah merasakan ajalnya sudah dekat, beliau
menulis surat wasiat untuk suaminya, dan menggali kubur beliau sendiri di
rumahnya. Kubur yang digalinya itu ialah untuk beliau sentiasa mengingatkan
akan kematian. Kemudian beliau turun ke liang kubur itu, memperbanyak solat dan
mengkhatamkan al-Quran sebanyak 109 kali. Kalau tidak mampu berdiri, beliau
solat dengan duduk, memperbanyak tasbih dan menangis. Ketika sudah sampai
ajalnya dan beliau sampai pada ayat: “Bagi mereka (disediakan) tempat kedamaian
(syurga) di sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal
soleh yang selalu mereka kerjakan.” (Surah Al-An’am: 127), beliau pengsan kemudian
dan menghembuskan nafas terakhir menghadap Sang Maha Kasih Abadi pada hari
Jumaat, bulan Ramadhan 208H.
Sewaktu
disembahyangkan sangat ramai orang yang menghadirinya. Sehingga kini maqamnya
diziarahi oleh pengunjung dari seluruh pelusuk dunia. Demikian kehebatan yang
Allah anugerahkan kepada Sayyidah Nafisah yang terkenal dengan kewarakan kepada
Allah dan ketaatannya kepada suami. Semoga ianya menjadi contoh buat generasi
wanita akhir zaman ini.
Husain
ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang
ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah,
Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna
Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia
terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran“, ucapan yang membuatnya
dieksekusi secara brutal.
Bagi
sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab
Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah
dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti
bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan
al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang
sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada
orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan
berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat
dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan
tersebut
Meskipun
al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir
semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang
diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada
kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya
heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada
percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta
meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa
menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah
sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata
‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah
Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”
v Masa kanak-kanak Al-Hallaj
Al-Hallaj
di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara,
pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan
keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya
memeluk islam.
Ketika
al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah
seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian
bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar.
Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal
batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad,
Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan
kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya
al-Hallaj.
v Masa
remaja
Di
usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan
tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi
merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya.
Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi
berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki
Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan
terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi
dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar
empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan
mengabdi kepada sufi ini.
Dua
tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di
Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya
dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat
itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia
meninggalkan Amr juga.
v Ibadah
haji
Pada
tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum
Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama
hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj
tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari
dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj
melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya
menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar
sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan
membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi,
dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya
adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
v Menjadi
guru
Usai
membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun
negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk
kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar,
memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya
bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan
ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar,
bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia
terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang
tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang
terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj,
situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri
dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam
kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj
meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan.
Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan
timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke
Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari
berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga
mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali
di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang
berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati
jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna
rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau
Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar
pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah
ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun
kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji
sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan
perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim
di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua
diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada
906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan
orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara
wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung
selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang
dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
v Akulah
Kebenaran!’ dan hari-hari terakhir
Tahun
913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan
ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua
tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M
inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang
menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat
inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase.
Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan
cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan
hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi
dosa-dosa segenap manusia.
Di
jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar:
“Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia,
Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian
semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin
si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj
berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas
dosa-dosa mereka.”
Tetapi,
kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan
dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu
menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut
agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain
menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak
pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di
luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid
al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya
di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa
membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada
akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama,
menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa.
Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj
dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku
sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan
kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh
sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang
keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan
al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia
menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya,
al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan
dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan
sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal,
tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi
sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
4. Al-Khidir
Kalau
ada manusia paling misterius di muka bumi ini, maka al-Khidirlah orangnya.
Beliau tokoh yang amat terkenal, tapi jejaknya lepas dari pengamatan sejarah.
Hanya cerita pribadi dari mulut ke mulut, tak meninggalkan bukti sejarah
apapun. Bahkan, meski memiliki kisah yang unik dengan Nabi Musa, Taurat
maupun Injil
tidak menceritakannya. Kisah itu hanya diceritakan dalam al-Qur’an, meski tak
secara langsung menyebut namanya.
Sisi
misterius memang memainkan peran tersendiri dalam membentuk ketokohan
al-Khidir. Atas dasar itu, kalangan sufi menyebutnya sebagai tokoh rijâlul
ghaib. Syekh Abdul Qadir al-Jilani menyatakan, “Di antara para wali ada
orang yang sudah fanâ’ (menghilang) dari kebutuhan makan dan minum,
menghindar dari umat manusia dan tak terlihat oleh pandangan mata mereka, ia
diberi umur panjang, tidak mati-mati, seperti al-Khidir alaihis salam….”
Dalam
banyak hal, kisah beliau bersama Nabi Musa menjadi sumber inspirasi kehidupan
batin para sufi, meski dalam beberapa hal pula, ada beberapa oknum dari
kelompok sufi yang salah paham, dan justru menganggap kisah tersebut sebagai
perseteruan antara ilmu zahir dan ilmu batin, atau antara syariat dan hakikat.
Bahkan, atas dasar kisah itu, aliran Bathiniyah beranggapan bahwa syariat hanya
berlaku untuk para nabi dan kalangan awam, tidak berlaku untuk kalangan wali
atau kalangan khawâsh.
Al-Khidir
memang begitu lekat dengan benak kaum sufi. Syekh Muhammad al-Kasanzan,
Khalifah Tarekat Qadiriyah dunia pada akhir Abad 14 Hijriah, menyatakan bahwa
al-Khidir adalah ramzun lit-tharîq al-mûshil ilal-hayât al-khadhrâ’
al-abadiyah. Berarti dalam anggapan beliau, al-Khidir adalah semacam
perlambang bagi jalan tasawuf.
Menurutnya,
kata “khidr” adalah lambang kehidupan. Khidr memiliki akar kata
yang sama dengan khudrah yang berarti hijau. Hijau adalah lambang
kehidupan. Secara jasmani beliau hidup dalam masa yang panjang, dan secara
ruhani beliau adalah lambang kehidupan batin.
Kenyataannya,
al-Khidir memang menjadi ikon yang tak tergantikan dalam perjalanan kehidupan
sufistik. Kisah para tokoh sufi, baik para wali yang masyhur di tingkat dunia
ataupun para wali yang masyhur di tingkat lokal, nyaris tak pernah lepas dari
dengan “bumbu” kedatangan beliau. Bahkan, beliau terkesan seperti menjadi
pemberi stempel bagi status kewalian.
Karena
banyaknya pengalaman mistik para sufi dengan al-Khidir ini, maka mereka menjadi
kelompok yang paling gigih dalam membela pandangan teologis bahwa al-Khidir
masih hidup. Bagi kalangan sufi, keberadaan al-Khidir adalah nyata dan
bersentuhan langsung dengan dunia empiris mereka.
Dalam
referensi-referensi tasawuf tidak terlalu sulit menemukan kisah-kisah pertemuan
para sufi dengan al-Khidir u. Seperti dalam kisah-kisah Umar bin Abdil Aziz,
Ibrahim bin Adham, Abdullah bin al-Mubarak, al-Junaid al-Baghdadi, al-Khawwash,
Ahmad ar-Rifa’i, dan tokoh-tokoh sufi masyhur yang lain.
Syekh
Abdul Qadir al-Jilani, tercatat memiliki kisah yang cukup banyak dengan
Al-Khidir. Al-Khidir menjadi semacam pembimbing bagi beliau, mulai sejak tirakat
pengembaraan selama 25 tahun, hingga beliau menetap di Baghdad dan menjadi
tokoh besar yang didatangi oleh para salik dari seluruh penjuru dunia. Sebelum
masuk ke Baghdad dan mengakhiri tirâkat pengembaraannya, konon al-Khidir
menyuruhnya untuk tirâkat di pinggir sungai di tepi Baghdad selama 7
tahun. Beliau makan dari rumput dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya, hingga warna
hijau rumput membekas di lehernya. Setelah itu, al-Khidir mengatakan, “Hai
Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”
Selain
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tokoh sufi lain yang memiliki banyak kisah dengan
al-Khidir adalah Ibnu Arabi. Beliau menceritakan sendiri kisah-kisah itu dalam
kitabnya al-Futûhât al-Makkiyah
Maka,
tidak heran jika Muhammad Ghazi Arabi, seorang peneliti tasawuf di jazirah Arab
yang masih semasa dengan Syekh al-Kasanzan, menyatakan, “Khidir adalah guru
kalangan sufi. Beliaulah yang menjadi penuntun dalam perjalanan panjang mereka.
Maka, bagi para sufi, Khidir adalah guru, teman bicara, dan kawan terbaik yang
pernah menyertai mereka. Dialah gurunya para syekh. Ia membimbing dan
menuntun para salik, langkah demi langkah.”
Apa
yang diungkapkan oleh Ghazi Arabi itu sangat pas dengan konsepsi para sufi
tentang al-Khidir. Pertemuan dengan al-Khidir selalu membawa pesan yang sangat
berharga bagi jalan suluk yang mereka tempuh. Bagi mereka, al-Khidir memang
pembimbing yang paling teduh, seteduh warna hijau yang terpantul di dalam
namanya
5. Bilal bin Rabah R.A.
(Pengumandang Adzan Pertama)
Siapakah gerangan lelaki yang ketika didera
siksa dahsyat Kafir Quraisy, hanya kata-kata “ Ahadun-Ahad “ yang
keluar dari mulutnya, Siapakah pula lelaki yang pada hari-hari
akhirnya mengulang-ulang kata-kata, “Besok kita akan bertemu dengan para
kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)” ?
Dialah Bilal Bin Rabah,
Semoga Allah meridloinya, lelaki yang lahir di Mekah, sekitar 43 tahun
sebelum hijrah itu tumbuh di Mekah sebagai seorang hamba sahaya milik anak-anak
yatim keluarga Bani Abdud Dar yang berada di bawah asuhan Umaiyah bin Khalaf.
Ketika pada masa permulaan datangnya Islam,
Bilal masuk dalam deretan kelompok yang pertama-tama memeluk Islam
(Assabiqunal Awwalin). Taslimnya Bilal saat di atas permukaan bumi
baru hanya ada segelintir pemeluk Islam, Khadijah binti Khuwailid,
Abu Bakar Sidik, Ali bin Abi Talib, Ammar bin Yasir dan ibunya; Sumaiyah,
Shuhaib Ar-Rumi dan Miqdad bin Aswad.
Bilal adalah salah seorang sahabat Nabi
yang paling banyak merasakan siksa dan kekerasan kaum musyrikin Quraisy. Para
pemeluk Islam saat itu, rata-rata mempunyai pelindung dari keluarga mereka
kecuali dia, Ammar bin Yasir beserta bapak dan ibunya, dan Shuhaib. Karenanya
mereka ini banyak menjadi sasaran kesewenang-wenangan kaum musyrikin Quraisy.
Pada suatu hari, ketika matahari di atas
kepala dan pasir Mekah seolah mendidih karena sangat panasnya, Umaiyah bin
Khalaf dan sekelompok kaum musyrikin melepas bajunya, lalu memakaikan baju besi
dan menjemurnya di terik matahari. Selama itu tidak henti-hentinya dia
dicambuki dan disuruh mencela Nabi Muhammad saw.Tetapi selama itu juga, tidak
ada kata-kata yang keluar dari mulut Bilal kecuali, “Yang Mahaesa! Yang
Mahaesa! “ Ahadun-Ahad “
Bila mereka sudah lelah menyiksanya,
Umaiyah mengikat lehernya dengan tali besar lalu menyerahkannya kepada
anak-anak untuk mereka seret berkeliling kota Mekah.
Setelah itu Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar Sidik ra. setelah dia beli seharga 9 uqiah emas (1 uqiah = 31, 7475). Umaiyah bin Khalaf menjualnya mahal, dengan harapan Abu Bakar enggan membelinya, padahal dalam hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah pun akan saya jual.” Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika tidak mau menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”
Setelah itu Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar Sidik ra. setelah dia beli seharga 9 uqiah emas (1 uqiah = 31, 7475). Umaiyah bin Khalaf menjualnya mahal, dengan harapan Abu Bakar enggan membelinya, padahal dalam hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah pun akan saya jual.” Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika tidak mau menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”
Hal itu membuat Bilal gembira sekali. Dia memulai
fase hidup baru. Di kemudian hari dia ikut hijrah ke Madinah bersama kaum
Muslimin yang lain.
Muazin Rasul saw. sepanjang hidup beliau. Suatu ketika, setelah Nabi wafat, dia mengumandangkan azan, tetapi setelah sampai pada kata-kata, “Asyhadu anna Muahammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah)” dia menangis terisak-isak dan meminta kepada Abu Bakar agar dibebaskan dari tugas itu. Dia tidak mampu lagi melakukannya setelah Nabi tidak ada.
Bilal termasuk anggota delegasi dakwah Muslimin pertama yang berangkat ke Syam, dia menetap di Darya (dekat Damaskus) hingga Umar bin Khatab datang ke Damaskus dan menyuruhnya untuk mengumandangkan azan kembali. Umar sangat mencintai dan menghormatinya, dia pernah mengatakan, “Abu Bakar tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).” Setelah suara azan Bilal mengumandang Umar dan seluruh yang hadir menangis terisak-isak. Mereka teringat saat-saat mendengarkan suara itu pada saat Nabi masih hidup.
Muazin Rasul saw. sepanjang hidup beliau. Suatu ketika, setelah Nabi wafat, dia mengumandangkan azan, tetapi setelah sampai pada kata-kata, “Asyhadu anna Muahammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah)” dia menangis terisak-isak dan meminta kepada Abu Bakar agar dibebaskan dari tugas itu. Dia tidak mampu lagi melakukannya setelah Nabi tidak ada.
Bilal termasuk anggota delegasi dakwah Muslimin pertama yang berangkat ke Syam, dia menetap di Darya (dekat Damaskus) hingga Umar bin Khatab datang ke Damaskus dan menyuruhnya untuk mengumandangkan azan kembali. Umar sangat mencintai dan menghormatinya, dia pernah mengatakan, “Abu Bakar tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).” Setelah suara azan Bilal mengumandang Umar dan seluruh yang hadir menangis terisak-isak. Mereka teringat saat-saat mendengarkan suara itu pada saat Nabi masih hidup.
Bilal berpulang ke rahmatullah setelah pada
hari-hari akhirnya mengulang-ulang kata-kata, “Besok kita akan bertemu dengan
para kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)”. Semoga Allah meridlai dan
memberinya pahala yang baik atas kontribusi yang dia persembahkan kepada Islam
dan Muslimin.
v
Lahir dan pertumbuhannya:
Beliau lahir di Mekah, sekitar 43 tahun
sebelum hijrah. Bilal tumbuh di Mekah sebagai seorang hamba sahaya milik
anak-anak yatim keluarga Bani Abdud Dar yang berada di bawah asuhan Umaiyah bin
Khalaf.
Pada saat datangnya Islam, Bilal termasuk
dalam kelompok yang pertama-tama memeluk Islam. Dia memeluk Islam pada saat di
atas permukaan bumi hanya ada segelintir pemeluk Islam. Yaitu; Khadijah binti
Khuwailid, Abu Bakar Sidik, Ali bin Abi Talib, Ammar bin Yasir dan ibunya;
Sumaiyah, Shuhaib Ar-Rumi dan Miqdad bin Aswad.
v
Kesabarannya ketika disiksa:
Bilal adalah salah seorang sahabat Nabi
yang paling banyak merasakan siksa dan kekerasan kaum musyrikin Quraisy. Para
pemeluk Islam saat itu, rata-rata mempunyai pelindung dari keluarga mereka kecuali
dia, Ammar bin Yasir beserta bapak dan ibunya, dan Shuhaib. Karenanya mereka
ini banyak menjadi sasaran kesewenang-wenangan kaum musyrikin Quraisy.
Pada suatu hari, ketika matahari di atas
kepala dan pasir Mekah seolah mendidih karena sangat panasnya, Umaiyah bin
Khalaf dan sekelompok kaum musyrikin melepas bajunya, lalu memakaikan baju besi
dan menjemurnya di terik matahari. Selama itu tidak henti-hentinya dia
dicambuki dan disuruh mencela Nabi Muhammad saw.
Tetapi selama itu juga, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Bilal kecuali, “Yang Mahaesa! Yang Mahaesa!” Bila mereka sudah lelah menyiksanya, Umaiyah mengikat lehernya dengan tali besar lalu menyerahkannya kepada anak- anak untuk mereka seret berkeliling kota Mekah.
Tetapi selama itu juga, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Bilal kecuali, “Yang Mahaesa! Yang Mahaesa!” Bila mereka sudah lelah menyiksanya, Umaiyah mengikat lehernya dengan tali besar lalu menyerahkannya kepada anak- anak untuk mereka seret berkeliling kota Mekah.
Setelah itu Bilal dimerdekakan oleh Abu
Bakar Sidik ra. setelah dia beli seharga 9 uqiah emas (1 uqiah = 31, 7475).
Umaiyah bin Khalaf menjualnya mahal, dengan harapan Abu Bakar enggan
membelinya, padahal dalam hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah
pun akan saya jual.” Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika
tidak mau menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”Hal itu
membuat Bilal gembira sekali. Dia memulai fase hidup baru. Di kemudian hari dia
ikut hijrah ke Madinah bersama kaum Muslimin yang lain.
v
Kelebihan-kelebihannya:
Muazin Rasul saw. sepanjang hidup beliau.
Suatu ketika, setelah Nabi wafat, dia mengumandangkan azan, tetapi setelah
sampai pada kata-kata, “Asyhadu anna Muahammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah Rasul Allah)” dia menangis terisak-isak dan meminta kepada Abu
Bakar agar dibebaskan dari tugas itu. Dia tidak mampu lagi melakukannya setelah
Nabi tidak ada.
Bilal termasuk anggota delegasi dakwah
Muslimin pertama yang berangkat ke Syam, dia menetap di Darya (dekat Damaskus)
hingga Umar bin Khatab datang ke Damaskus dan menyuruhnya untuk mengumandangkan
azan kembali. Umar sangat mencintai dan menghormatinya, dia pernah mengatakan,
“Abu Bakar tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).” Setelah
suara azan Bilal mengumandang Umar dan seluruh yang hadir menangis
terisak-isak. Mereka teringat saat-saat mendengarkan suara itu pada saat Nabi
masih hidup.
v
Wafatnya:
Bilal berpulang ke rahmatullah setelah pada
hari-hari akhirnya mengulang-ulang kata-kata, ?Besok kita akan bertemu dengan
para kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)?. Semoga Allah meridai dan
memberinya pahala yang baik atas sumbangan yang dia persembahkan kepada Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar