Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Juni 2014

biografi tokoh sufi

1.      Syekh Ibnu Atha'illah

Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali
Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf  pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. 
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.






2.     Sayyidah Nafisah

Sayyidah Nafisah ialah salah satu keturunan Rasulullah s.a.w.. Beliau puteri Imam Hasan al-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin Imam Hasan bin Imam Ali r.a.. Beliau lahir di Makkah, pada 11 Rabiulawal 145H, hidup dan besar di Madinah.
v  Hijrah Ke Mesir
Demi keamanan dan ketenangan hidup Sayyidah Nafisah berhijrah ke Mesir bersama suaminya, Ishaq al-Mu’tasim bin Ja’far as-Siddiq, pada tahun 193H, setelah sebelumnya ziarah ke makam Nabi Ibrahim a.s.. Di Mesir beliau tinggal di rumah Ummi Hani’.
Sayyidah Nafisah menetap di Mesir selama 7 tahun. Penduduk Mesir sangat menyayanginya dan percaya akan karamahnya. Mereka selalu berduyun-duyun mendatanginya, berdesakan mendengarkan mauizahnya dan memohon doanya. Hal ini membuat suaminya berfikir untuk mengajaknya pindah ke tanah Hijaz, namun beliau menolak dan menjawab: “Aku tidak bisa pergi ke Hijaz kerana aku bermimpi bertemu Rasulullah s.a.w.. Beliau berkata kepadaku: “Janganlah kamu pergi dari Mesir kerana nanti Allah akan mewafatkanmu di sana (di Mesir).”
v  Peribadinya
Sayyidah Nafisah adalah seorang yang sangat kuat beribadah kepada Allah. Siang hari dia berpuasa sunat sedangkan pada malamnya dia bertahajjud menghidupkan malam dengan berzikir dan membaca Al Quran. Dia sungguh zuhud dengan kehidupannya. Hatinya langsung tidak terpaut dengan kehidupan dunia yang menipu daya. Jiwanya rindu dengan syurga Allah dan sangat takut dengan syurga Allah. Disamping itu Sayyidah Nafisah sangat taatkan suaminya. Beliau sangat mematuhi perintah suami dan melayan suaminya dengan sebaik-baiknya.
Sayyidah Nafisah adalah seorang yang terkenal zuhud dan mengasihi manusia yang lain. Pernah satu ketika, beliau menerima wang sebanyak 1000 dirham dari raja untuk keperluan dirinya. Beliau telah membahagikan wang tersebut kepada fakir miskin sebelum sempat memasuki rumahnya. Wang hadiah dari raja itu sedikit pun tidak diambilnya untuk kepentingan dirinya. Semuanya disedekahkan kepada fakir dan miskin. Demikianlah dermawannya Sayyidah Nafisah terhadap fakir miskin.
v  Keutamaannya
Sayyidah yang mulia ini sudah mendapatkan keutamaan sejak kecil lagi. Suatu ketika, demikian al-Hafiz Abu Muhammad dalam kitabnya Tuhfatul Asyraf bercerita: Al-Hasan, ayahanda Sayyidah Nafisah membawa Nafisah semasa kecil ke makam Rasulullah s.a.w.. Di sini sang ayah berkata : “Tuanku, Bagindaku Rasulullah, ini puteriku. Aku redha dengannya. Kemudian keduanya pulang. Di malam hari sang ayah bertemu Rasulullah bersabda: “Wahai Hasan Aku redha dengan puterimu Nafisah kerana keredhaanmu itu. Dan Allah SWT juga redha kerana redhaku itu.
Salah satu keutamaan Sayyidah Nafisah adalah selama hidupnya beliau telah mengkhatamkan al-Quran sebanyak 4000 kali. Selain itu, meskipun tinggal jauh dari tanah suci, beliau melakukan ibadah haji sebanyak 17 kali.
v  Sayyidah Nafisah dan Imam Syafie
Sejarah sepakat mengatakan bahawa Sayyidah Nafisah semasa dengan Imam Syafie. Keduanya saling menghormati. Di ceritakan bahawa Imam Syafie meriwayatkan hadis dari Sayyidah Nafisah. Setiap berkunjung ke kediaman Sayyidah Nafisah Imam Syafie dan pengikutnya sangat menjunjung tinggi adab sopan santun terhadap beliau.
Imam Syafie setiap tertimpa penyakit selalu mengirim utusan ke Sayyidah Nafisah agar berkenan mendoakannya dengan kesembuhannya. Dan benar, setelah itu Imam Syafie mendapatkan kesembuhan. Ketika Imam Syafie tertimpa penyakit yang menyebabkan beliau wafat, Sayyidah Nafisah berkata pada utusan Imam Syafie: “Semoga Allah memberikan kenikmatan pada Syafie dengan melihat wajahNya yang mulia.”
v  Karamahnya
Sebelum menceritakan karamah-karamah Sayyidah yang mulia ini, perlu diketahui bahwa suami Sayyidah Nafisah (Ishaq bin al Mu’taman bin Ja’far ash Shadiq) pernah berkeinginan untuk memindah makam beliau ke pemakaman Baqi’ (Madinah). Kemudian penduduk Mesir meminta suami Sayyidah Nafisah untuk mengurungkan keinginannya, kerana penduduk Mesir ingin mendapatkan berkah darinya. Akhirnya, pada suatu malam suami Sayyidah Nafisah bermimpi bertemu Rasulullah s.a.w.. Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Ishaq, janganlah kamu menentang keinginan penduduk Mesir, karena Allah akan memberikan berkahNya kepada penduduk Mesir melalui Sayyidah Nafisah”.
Di antara karamahnya ialah ketika pembantu Sayyidah Nafisah yang bernama Jauharah keluar rumah untuk membawakan air wudhu untuk beliau, pada waktu itu hujan deras sekali. Akan tetapi, tapak kaki Jauharah tidak basah dengan air hujan.
Di antara karamahnya juga ialah, ada sebuah keluarga Yahudi yang tinggal di dekat kediaman Sayyidah Nafisah di Mesir. Keluarga itu mempunyai seorang anak perempuan yang lumpuh. Suatu ketika ibu anak itu berkata: “Nak, kamu mahu apa ? Kamu mahu ke kamar mandi ?. Si anak tiba-tiba berkata: “Aku ingin ke tempat perempuan mulia tetangga kita itu.” Setelah si ibu minta izin pada Sayyidah Nafisah dan beliau memperkenankannya, keduanya datang ke kediaman Sayyidah Nafisah. Si anak didudukkan di pinggir rumah. Ketika datang waktu solat Zuhur, Sayyidah Nafisah beranjak untuk berwudhuk di dekat gadis kecil itu. Air wudhuk beliau mengalir ke tubuh anak tersebut. Seperti mendapatkan ilham anak itu mengusap anggota tubuhnya dengan air berkah tersebut. Dan seketika itu juga ia sembuh dan bisa berjalan seperti tidak pernah sakit sama sekali.
Kemudian si anak pulang dan mengetuk pintu. Pintu dibuka oleh ibunya. Dengan hairan dia bertanya: “Kamu siapa Nak?” “Aku puterimu.” Sambil memeluk si ibu bertanya bagaimana ini bisa terjadi. Si anak kemudian bercerita dan akhirnya keluarga itu semuanya masuk Islam.
Selain itu, pernah suatu ketika sungai Nil berhenti mengalir dan mengering. Orang-orang mendatangi Sayyidah Nafisah dan memohon doanya. Beliau memberikan selendangnya agar dilempar ke sungai Nil. Mereka melakukannya. Dan seketika itu juga sungai Nil mengalir kembali dan melimpah.
Karamah-karamah beliau setelah wafat juga banyak. Di antaranya, pada tahun 638H, beberapa pencuri menyelinap ke masjidnya dan mencuri enam belas lampu dari perak. Salah seorang pencuri itu dapat diketahui, lalu dihukum dengan diikat pada pohon. Hukuman itu dilaksanakan di depan masjid agar menjadi pelajaran bagi yang lain. Pada tahun 1940, seseorang yang tinggal di daerah itu bersembunyi di masjid itu pada malam hari. Ia mencuri syal dari Kasymir yang ada di makam itu. Namun, ia tidak menemukan jalan keluar dari masjid itu dan tetap terkurung di sana sampai pelayan mesjid datang di waktu subuh dan menangkapnya.
v  Wafatnya
Al-Sakhawi bercerita, “Ketika Sayyidah Nafisah merasakan ajalnya sudah dekat, beliau menulis surat wasiat untuk suaminya, dan menggali kubur beliau sendiri di rumahnya. Kubur yang digalinya itu ialah untuk beliau sentiasa mengingatkan akan kematian. Kemudian beliau turun ke liang kubur itu, memperbanyak solat dan mengkhatamkan al-Quran sebanyak 109 kali. Kalau tidak mampu berdiri, beliau solat dengan duduk, memperbanyak tasbih dan menangis. Ketika sudah sampai ajalnya dan beliau sampai pada ayat: “Bagi mereka (disediakan) tempat kedamaian (syurga) di sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal soleh yang selalu mereka kerjakan.” (Surah Al-An’am: 127), beliau pengsan kemudian dan menghembuskan nafas terakhir menghadap Sang Maha Kasih Abadi pada hari Jumaat, bulan Ramadhan 208H.
Sewaktu disembahyangkan sangat ramai orang yang menghadirinya. Sehingga kini maqamnya diziarahi oleh pengunjung dari seluruh pelusuk dunia. Demikian kehebatan yang Allah anugerahkan kepada Sayyidah Nafisah yang terkenal dengan kewarakan kepada Allah dan ketaatannya kepada suami. Semoga ianya menjadi contoh buat generasi wanita akhir zaman ini.

3.     Mansur Al-Hallaj

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran“, ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”
v   Masa kanak-kanak Al-Hallaj
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
v  Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
v  Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
v  Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
v  Akulah Kebenaran!’ dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.


4.      Al-Khidir
Kalau ada manusia paling misterius di muka bumi ini, maka al-Khidirlah orangnya. Beliau tokoh yang amat terkenal, tapi jejaknya lepas dari pengamatan sejarah. Hanya cerita pribadi dari mulut ke mulut, tak meninggalkan bukti sejarah apapun. Bahkan, meski memiliki kisah yang unik dengan Nabi Musa, Taurat maupun Injil tidak menceritakannya. Kisah itu hanya diceritakan dalam al-Qur’an, meski tak secara langsung menyebut namanya.
Sisi misterius memang memainkan peran tersendiri dalam membentuk ketokohan al-Khidir. Atas dasar itu, kalangan sufi menyebutnya sebagai tokoh rijâlul ghaib. Syekh Abdul Qadir al-Jilani menyatakan, “Di antara para wali ada orang yang sudah fanâ’ (menghilang) dari kebutuhan makan dan minum, menghindar dari umat manusia dan tak terlihat oleh pandangan mata mereka, ia diberi umur panjang, tidak mati-mati, seperti al-Khidir alaihis salam….
Dalam banyak hal, kisah beliau bersama Nabi Musa menjadi sumber inspirasi kehidupan batin para sufi, meski dalam beberapa hal pula, ada beberapa oknum dari kelompok sufi yang salah paham, dan justru menganggap kisah tersebut sebagai perseteruan antara ilmu zahir dan ilmu batin, atau antara syariat dan hakikat. Bahkan, atas dasar kisah itu, aliran Bathiniyah beranggapan bahwa syariat hanya berlaku untuk para nabi dan kalangan awam, tidak berlaku untuk kalangan wali atau kalangan khawâsh.
Al-Khidir memang begitu lekat dengan benak kaum sufi. Syekh Muhammad al-Kasanzan, Khalifah Tarekat Qadiriyah dunia pada akhir Abad 14 Hijriah, menyatakan bahwa al-Khidir adalah ramzun lit-tharîq al-mûshil ilal-hayât al-khadhrâ’ al-abadiyah. Berarti dalam anggapan beliau, al-Khidir adalah semacam perlambang bagi jalan tasawuf.
Menurutnya, kata “khidr” adalah lambang kehidupan. Khidr memiliki akar kata yang sama dengan khudrah yang berarti hijau. Hijau adalah lambang kehidupan. Secara jasmani beliau hidup dalam masa yang panjang, dan secara ruhani beliau adalah lambang kehidupan batin.
Kenyataannya, al-Khidir memang menjadi ikon yang tak tergantikan dalam perjalanan kehidupan sufistik. Kisah para tokoh sufi, baik para wali yang masyhur di tingkat dunia ataupun para wali yang masyhur di tingkat lokal, nyaris tak pernah lepas dari dengan “bumbu” kedatangan beliau. Bahkan, beliau terkesan seperti menjadi pemberi stempel bagi status kewalian.
Karena banyaknya pengalaman mistik para sufi dengan al-Khidir ini, maka mereka menjadi kelompok yang paling gigih dalam membela pandangan teologis bahwa al-Khidir masih hidup. Bagi kalangan sufi, keberadaan al-Khidir adalah nyata dan bersentuhan langsung dengan dunia empiris mereka.
Dalam referensi-referensi tasawuf tidak terlalu sulit menemukan kisah-kisah pertemuan para sufi dengan al-Khidir u. Seperti dalam kisah-kisah Umar bin Abdil Aziz, Ibrahim bin Adham, Abdullah bin al-Mubarak, al-Junaid al-Baghdadi, al-Khawwash, Ahmad ar-Rifa’i, dan tokoh-tokoh sufi masyhur yang lain.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tercatat memiliki kisah yang cukup banyak dengan Al-Khidir. Al-Khidir menjadi semacam pembimbing bagi beliau, mulai sejak tirakat pengembaraan selama 25 tahun, hingga beliau menetap di Baghdad dan menjadi tokoh besar yang didatangi oleh para salik dari seluruh penjuru dunia. Sebelum masuk ke Baghdad dan mengakhiri tirâkat pengembaraannya, konon al-Khidir menyuruhnya untuk tirâkat di pinggir sungai di tepi Baghdad selama 7 tahun. Beliau makan dari rumput dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya, hingga warna hijau rumput membekas di lehernya. Setelah itu, al-Khidir mengatakan, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”
Selain Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tokoh sufi lain yang memiliki banyak kisah dengan al-Khidir adalah Ibnu Arabi. Beliau menceritakan sendiri kisah-kisah itu dalam kitabnya al-Futûhât al-Makkiyah
Maka, tidak heran jika Muhammad Ghazi Arabi, seorang peneliti tasawuf di jazirah Arab yang masih semasa dengan Syekh al-Kasanzan, menyatakan, “Khidir adalah guru kalangan sufi. Beliaulah yang menjadi penuntun dalam perjalanan panjang mereka. Maka, bagi para sufi, Khidir adalah guru, teman bicara, dan kawan terbaik yang pernah menyertai mereka. Dialah gurunya para syekh.  Ia membimbing dan menuntun para salik, langkah demi langkah.”
Apa yang diungkapkan oleh Ghazi Arabi itu sangat pas dengan konsepsi para sufi tentang al-Khidir. Pertemuan dengan al-Khidir selalu membawa pesan yang sangat berharga bagi jalan suluk yang mereka tempuh. Bagi mereka, al-Khidir memang pembimbing yang paling teduh, seteduh warna hijau yang terpantul di dalam namanya

5.   Bilal bin Rabah R.A.

(Pengumandang Adzan Pertama)
Siapakah gerangan lelaki yang ketika didera siksa dahsyat Kafir Quraisy, hanya kata-kata “ Ahadun-Ahad “ yang keluar dari mulutnya, Siapakah pula lelaki yang pada hari-hari akhirnya mengulang-ulang kata-kata, “Besok kita akan bertemu dengan para kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)” ?
Dialah Bilal Bin  Rabah, Semoga Allah meridloinya, lelaki yang lahir di Mekah, sekitar 43 tahun sebelum hijrah itu tumbuh di Mekah sebagai seorang hamba sahaya milik anak-anak yatim keluarga Bani Abdud Dar yang berada di bawah asuhan Umaiyah bin Khalaf.
Ketika pada masa permulaan datangnya Islam, Bilal  masuk dalam deretan kelompok yang pertama-tama memeluk Islam (Assabiqunal Awwalin). Taslimnya Bilal saat di atas permukaan bumi baru   hanya ada segelintir pemeluk Islam, Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar Sidik, Ali bin Abi Talib, Ammar bin Yasir dan ibunya; Sumaiyah, Shuhaib Ar-Rumi dan Miqdad bin Aswad.
Bilal adalah salah seorang sahabat Nabi yang paling banyak merasakan siksa dan kekerasan kaum musyrikin Quraisy. Para pemeluk Islam saat itu, rata-rata mempunyai pelindung dari keluarga mereka kecuali dia, Ammar bin Yasir beserta bapak dan ibunya, dan Shuhaib. Karenanya mereka ini banyak menjadi sasaran kesewenang-wenangan kaum musyrikin Quraisy.
Pada suatu hari, ketika matahari di atas kepala dan pasir Mekah seolah mendidih karena sangat panasnya, Umaiyah bin Khalaf dan sekelompok kaum musyrikin melepas bajunya, lalu memakaikan baju besi dan menjemurnya di terik matahari. Selama itu tidak henti-hentinya dia dicambuki dan disuruh mencela Nabi Muhammad saw.Tetapi selama itu juga, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Bilal kecuali, “Yang Mahaesa! Yang Mahaesa! “ Ahadun-Ahad “
Bila mereka sudah lelah menyiksanya, Umaiyah mengikat lehernya dengan tali besar lalu menyerahkannya kepada anak-anak untuk mereka seret berkeliling kota Mekah.
Setelah itu Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar Sidik ra. setelah dia beli seharga 9 uqiah emas (1 uqiah = 31, 7475). Umaiyah bin Khalaf menjualnya mahal, dengan harapan Abu Bakar enggan membelinya, padahal dalam hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah pun akan saya jual.” Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika tidak mau menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”
Hal itu membuat Bilal gembira sekali. Dia memulai fase hidup baru. Di kemudian hari dia ikut hijrah ke Madinah bersama kaum Muslimin yang lain.
Muazin Rasul saw. sepanjang hidup beliau. Suatu ketika, setelah Nabi wafat, dia mengumandangkan azan, tetapi setelah sampai pada kata-kata, “Asyhadu anna Muahammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah)” dia menangis terisak-isak dan meminta kepada Abu Bakar agar dibebaskan dari tugas itu. Dia tidak mampu lagi melakukannya setelah Nabi tidak ada.
Bilal termasuk anggota delegasi dakwah Muslimin pertama yang berangkat ke Syam, dia menetap di Darya (dekat Damaskus) hingga Umar bin Khatab datang ke Damaskus dan menyuruhnya untuk mengumandangkan azan kembali. Umar sangat mencintai dan menghormatinya, dia pernah mengatakan, “Abu Bakar tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).” Setelah suara azan Bilal mengumandang Umar dan seluruh yang hadir menangis terisak-isak. Mereka teringat saat-saat mendengarkan suara itu pada saat Nabi masih hidup.
Bilal berpulang ke rahmatullah setelah pada hari-hari akhirnya mengulang-ulang kata-kata, “Besok kita akan bertemu dengan para kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)”. Semoga Allah meridlai dan memberinya pahala yang baik atas kontribusi yang dia persembahkan kepada Islam dan Muslimin.
v  Lahir dan pertumbuhannya:
Beliau lahir di Mekah, sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Bilal tumbuh di Mekah sebagai seorang hamba sahaya milik anak-anak yatim keluarga Bani Abdud Dar yang berada di bawah asuhan Umaiyah bin Khalaf.
Pada saat datangnya Islam, Bilal termasuk dalam kelompok yang pertama-tama memeluk Islam. Dia memeluk Islam pada saat di atas permukaan bumi hanya ada segelintir pemeluk Islam. Yaitu; Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar Sidik, Ali bin Abi Talib, Ammar bin Yasir dan ibunya; Sumaiyah, Shuhaib Ar-Rumi dan Miqdad bin Aswad.
v  Kesabarannya ketika disiksa:
Bilal adalah salah seorang sahabat Nabi yang paling banyak merasakan siksa dan kekerasan kaum musyrikin Quraisy. Para pemeluk Islam saat itu, rata-rata mempunyai pelindung dari keluarga mereka kecuali dia, Ammar bin Yasir beserta bapak dan ibunya, dan Shuhaib. Karenanya mereka ini banyak menjadi sasaran kesewenang-wenangan kaum musyrikin Quraisy.
Pada suatu hari, ketika matahari di atas kepala dan pasir Mekah seolah mendidih karena sangat panasnya, Umaiyah bin Khalaf dan sekelompok kaum musyrikin melepas bajunya, lalu memakaikan baju besi dan menjemurnya di terik matahari. Selama itu tidak henti-hentinya dia dicambuki dan disuruh mencela Nabi Muhammad saw.
Tetapi selama itu juga, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Bilal kecuali, “Yang Mahaesa! Yang Mahaesa!” Bila mereka sudah lelah menyiksanya, Umaiyah mengikat lehernya dengan tali besar lalu menyerahkannya kepada anak- anak untuk mereka seret berkeliling kota Mekah.
Setelah itu Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar Sidik ra. setelah dia beli seharga 9 uqiah emas (1 uqiah = 31, 7475). Umaiyah bin Khalaf menjualnya mahal, dengan harapan Abu Bakar enggan membelinya, padahal dalam hatinya dia mengatakan, “Jika dia membelinya 1 uqiah pun akan saya jual.” Sebaliknya Abu Bakar juga mengatakan dalam hati, “Jika tidak mau menjualnya di bawah harga 100 uqiah pun akan saya beli.”Hal itu membuat Bilal gembira sekali. Dia memulai fase hidup baru. Di kemudian hari dia ikut hijrah ke Madinah bersama kaum Muslimin yang lain.
v  Kelebihan-kelebihannya:
Muazin Rasul saw. sepanjang hidup beliau. Suatu ketika, setelah Nabi wafat, dia mengumandangkan azan, tetapi setelah sampai pada kata-kata, “Asyhadu anna Muahammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah)” dia menangis terisak-isak dan meminta kepada Abu Bakar agar dibebaskan dari tugas itu. Dia tidak mampu lagi melakukannya setelah Nabi tidak ada.
Bilal termasuk anggota delegasi dakwah Muslimin pertama yang berangkat ke Syam, dia menetap di Darya (dekat Damaskus) hingga Umar bin Khatab datang ke Damaskus dan menyuruhnya untuk mengumandangkan azan kembali. Umar sangat mencintai dan menghormatinya, dia pernah mengatakan, “Abu Bakar tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).” Setelah suara azan Bilal mengumandang Umar dan seluruh yang hadir menangis terisak-isak. Mereka teringat saat-saat mendengarkan suara itu pada saat Nabi masih hidup.
v  Wafatnya:
Bilal berpulang ke rahmatullah setelah pada hari-hari akhirnya mengulang-ulang kata-kata, ?Besok kita akan bertemu dengan para kekasih (Muhammad dan para sahabatnya)?. Semoga Allah meridai dan memberinya pahala yang baik atas sumbangan yang dia persembahkan kepada Islam.



Tidak ada komentar: