BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi
Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan Bani
Umayyah. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola
keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah
akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang
berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang
cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk
mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan,
diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk
musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan
dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
B.
Rumusan Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah sejarah Pendirian
Dinasti Bani Umayyah?
2.
Bagaimana Sistem
Pendidikan Islam Dinasti bani Umayyah?
3.
Bagaimana Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz?
4.
Faktor-faktor apakah yang
menyebabkan Keruntuhan Dinasti Bani
Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian Dinasti Bani
Umayyah
1. Asal Mula Dinasti Bani
Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman
bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35
H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme
(mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau
gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk
memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di
pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima
tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas
merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung
Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17
Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat
terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang
yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah
Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat
madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya
Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang
ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah. Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan
pergi ke Syam untuk bertemu dengan
Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur
darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib
menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung
pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini
terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman
bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di
Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[1]. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam
yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim
baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah pengganti
Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus
mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan
mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak
mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil
mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan
orang yang dicurigai terlibat pembunuhan
tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan
menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi
dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil
individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra dan
Mesir.[2]
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu
Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di
ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu
di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk
penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan
kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib
tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari
penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa
khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan
politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh
Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini
tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali
dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan
dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah
mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan
pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada
peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat
khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah
yang dihadapi khalifah.
Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para
gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah.
Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap
masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan
masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di
ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya
seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi
perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu
Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu
dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya
utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin
Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir
melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin
Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat
dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan
segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin
Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan
secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung
menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan
sangat mengenaskan.
Ada beberapa
gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah
bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif.
Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat
Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan
gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang
terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
disebabkan karena kelalaian mereka.
2. Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya
khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan
pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses
penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah
setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk
ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah
Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi
Thalib.
Pengangkatan
Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak
mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya.
Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri
sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan
lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin
negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh
muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan
Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan –
pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia
melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena
kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu
Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali
perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk
itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi
pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia
menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
- Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi
hutang-hutangnya kepada pihak lain.
- Muawiyah tak lagi melakukan
cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya.
- Muawiyah menyerahkan pajak bumi
dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
- Setelah Muawiyah berkuasa
nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada
umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
- Muawiyah tidak boleh menarik
sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah
menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi
semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah
bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah.
Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di
ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi
Syama.
Setelah
kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang
dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.” . Itulah
salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan
kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama,
Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses
penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu
tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan
demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin
umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun
Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah,
usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara
defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin
Abi Sufyan.
Dengan demikian
berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah
gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan
Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun.
Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari
asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan
mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun
perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh
Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak
melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik
tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan
syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka
Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di
Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri
mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya
dikubur di Karbela.
3. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup
mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan.
Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka
aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku
akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya
dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok
Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan
seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti
besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti
Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami
kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik
adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan
seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak
kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan
masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan
kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat
secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan
Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan
Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan
interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian
“Penguasa” yang di angkat oleh Allah.
Karena proses
berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana
pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak
baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M)
akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang
sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya
pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang
pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661
M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra
mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan
Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan
konflik politik intern umat Islam
seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu,
sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah
untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa
Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan
sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan
para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan
ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi
perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga
terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana
setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi
sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah
kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah
Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
- Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60
H/661-680 M)
- Yazid bin Muawiyah (60-64
M/680-683 M)
- Muawiyah bin Yazid (64-64
H/683-683 M)
- Marwan bin Hakam (64-65
H/683-685 M)
- Abdul Malik bin Marwan (65-86
H/685-705 M)
- Walid bin Abdul Malik (86-96
H/705-715 M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (96-99
H/715-717 M)
- Umar bin Abdul Aziz (99-101
H/717-720 M)
- Yazid bin Abdul Malik (101-105
H/720-724)
- Hisyam bin Abdul Malik (105-125
H/724-743 M)
- Walid bin Yazid (125-126
H/743-744 M)
- Yazid bin Walid (126-127
H/744-745 M)
- Ibrahim bin Walid (127-127
H/745-745 M)
- Marwan bin Muhammad (127-132
H/745-750 M)[3][10][11]
B. Masa
Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul
Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar
khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum
ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya
raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan
uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang
raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.
Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada
jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa
pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan
yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua
kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh
saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan
tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang
tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,
sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa
pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi
islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara
dakwah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat
dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter
pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama.
Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
C. Sistem
Pendidikan Islam Pada Masa Umayyah
1. Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Pada masa ini
telah memasuki babak baru, dimana kesetabilan politik telah dirasakan oleh
negeri-negeri islam. Oleh karena itu, tidak heran jika perhatian orang-orang
islam sudah mengarah pada masa kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
peradaban-peradaban baru. Dalam waktu yang sama mereka memberi perhatian besar
pada ilmu bahsa, sastra, dan agama untuk memeliharanya dari pikiran-pikiran
luar.
Jadi, pada masa umayyah, dari segi pemikiran pendidikan adalah kelanjutan
pemikiran pendidikan pada masa nabi dan masa khulafaurrasyidin. Pemikiran dari
luar sangat terbatas.
Pemikiran pendidikan islam pada masa umayyah tampak dalam bentuk
nasehat-nasehat khalifah kepada pendidik anak-anaknya, yang memenuhi buku
sastra, yang menunjukan bagaimana teguhnya mereka berpegang pada tradisi Arab
dan Islam. Salah satu nasehat tersebut adalah nasehat Abdul Malik bin Marwan
kepada pendidik anknya, “ hendaklah pendidik mendidik akal, hati, dan jasmani
anak-anak.
Pemikiran pendidikan islam pada masa Umayah
ini juga tersebar pada beberapa tulisan para ahli nahwu, sastra, hadis,
dan tafsir. Pada masa ini para ahli tersebut mulai mencatat (modifikasi)
ilmu-ilmu bahasa, sastra dan agama untuk menjaganya agar tidak diselundupkan
pikiran-pikiran lain dan perubahan yang merusak,yang tanda-tandanya sudah
banyak terlihat pada waktu itu karena musuh islam selalu berusaha menghancurkan
islam dari dalam setelah mereka gagal menghancurkannya dengan kekuatan tentara.
Dengan upaya tersebut mereka berusaha memecahkan pengikut-pengikut islam dari
segi ideologi.[4] suki
masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah, pemerintahan
yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan
turun menurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak.
2. Tempat Dan
Lembaga Pendidikan
Dalam periode
Daulah bani Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan
kurikulumnya yaitu: pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus
adalah pendidikan diselenggarakan dan diperuntukan bagi anak-anak khafilah dan
anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan
memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan
keperluan dan kebutuhan pemerintahannya. Tetapi orang tua murid pun turut pula
menentukan.
Adapun rencana pelajaran bagi sekolah ini adalah menulis dan membaca
Al-Quran dan Hadits, Bahasa Arab dan syair-syair yang baik, sejarah bangsa arab
dan peperangan, adab kesopanan dalam perilaku pergaulan, pelajaran-pelajaran
keterampilan menggunakan senjata, menunggang kuda dan kepemimpinan berperang.
Pendidikan lainya adalah pendidikan yang diperuntukan bagi rakyat biasa
pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksanakan
sejak pada zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana pendidikan yang sangat
penting bagi kehidupan agama. Dengan demikian, maka tidaklah mengherankan
bila usaha kegiatan pendidikan dan pengembangan ilmu memperoleh kesempatan yang
baik. Para ulama bertanggung jawab terhadap kelancaran jalannya pendidikan dan
merekalah yang memikul tugas menggajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan
kepada rakyat.
Bila kita bandingkan tujuan dari kedua pendidikan tersebut akan diperoleh
kesimpulan bahwa yang pertama, bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dan
kekuataan politis sedangkan yang kedua, bertujuan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan hakikat kebenaran yang ditunjang oleh keyakinan agama.
Adanya perbedaan tujuan dan pendidikan menunjukan adanya perbedaan
pandangan hihup. Pertama, menghasilkan pimpinan formal yang
didukung oleh jabatan kenegaraan dengan wibawa kekuasaan. Kedua, menghasilkan
pimpinan informasi yang didukung oleh karisma dan ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, diantara para khalifah bani umayyah pun terdapat pula orang yang alim
seperti khalifah Umar Ibnu Abdul Azis.[5]
3. Metode
Pembelajaran
Dalam
pembelajaran Al-Quran, metode pembelajaran yang digunakan metode hapalan,
gimana anak-anak menghapal surat-surat singkat dan mereka pun membaca
bersama-sama, hal ini diulang berkali-kali sampai mereka hapal diluar kepala.
Dalam metode ini soal dari arti surat-surat yang mereka hapal tidak
dipentingkan, murid-murid mengapal ayat-ayat tersebut tanpa mengerti maksudnya
hanya untuk sekedar mengambil berkah Al-Quran dan menanamkan jiwa keagamaan
jiwa yang sholeh dan bertaqwa didalam di anak-anak yang masih muda itu dan
dengan keyakinan bahwa periode anak-anak adalah waktu yang sebaik-baiknya buat
penghapalan secara otomatis dan mempererat ingatan.
Metode
menghapal digunakan untuk pengajaran syair dan sajak bagi anak-anak. Sedangkan
untuk pembelajaran membaca dan menulis diajarakan metode praktek langsung.
Khusus untuk menulis diajarakan menulis indah. Kaum muslimin sangat
memperhatikan sekali soal menulis indah dan digolongkan dengan seni lukis.
Bedasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
pendidikan islam pada zaman Bani Umayyah adalah bersifat Arab dan islam tulen,
berusaha menangguhkan dasar-dasar agama islam yang baru muncul itu,
mempreriotaskan pada penterjemahan kedalam bahasa arab, menunjukan perhatian
pada bahan tertulis sebagai media komunikasi, menggunakan surau dan masjid.[6]
Dalam bidang ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu
pengetahuan agama saja, tetapi ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran,
ilmu pasti, filsafat, astronomi, geografi, sejarah, bahasa dan sebagainya. Kota
yang menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan antara lain, Damaskus, Kufah,
Makkah, Madinah, Mesir, Cordova, Granada dan lain-lain, dengan masjid sebagai
pusat pengajarannya, selain madrasah atau lembaga pendidikan yang ada.
Dinasti Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang,
Muawiyah bin Abi Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tentu yang
menyediakan kuda lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Menertibkan
angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Spesialisasi jabatan Qadhi atau
hakim yang berkembang menjadi profesi tersendiri. Abdul Malik bin Marwan
mengubah mata uang Byzantium dan Persia dengan mencetak uang tersendiri pada
tahun 659 M yang memakai kata-kata dan tulisan Arab, kemudian melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada masa Al-Walid bin
Abdul Malik (705-715 M) banyak membangun panti-panti untuk orang cacat, jalan
raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[7]
1.
Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah
mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Mencetak mata uang sendiri
tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
2.
Jabatan khusus bagi
seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .
3.
Keberhasilan kholifah
Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan
memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M)
yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
4.
Membangun panti-panti
untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di
gaji tetap oleh Negeri.
5.
Membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
6.
Membangun
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
7.
Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf,
Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut
karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami
sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan Al-sunnah).
8.
Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa
penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai
penjelasan secara sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara
ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam
dan Sirah/Tarikh.
C. Faktor
Penyebab runtuhnya Dinasti Bani Umayyah
Berawal dari
berakhirnya kekuasaan umar II (717-720), suasana perpolitikan Dinasti Umayyah
di Andalusia semakin memanas, seperti terjadinya sebagai masyarakat tidak mau
membayat zakat, pemberontakan terjadi dimana-mana sampai pada masa kekhalifahan
Yazid II dan Hisyam I. pada masa ini pula kaum Syiah mulai melancarkan serangan
secara berlahan. ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena
itu kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah
menunjuk Ibn Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang
yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah
kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya
Hisyam
(724-743) adalah khalifah yang kuat dan efektif, yang mampu mengembalikan
kerajaan pada basis ekonomi yang lebih kuat, tetapi dia mencapai itu semua
dengan menjadikan negaranya lebih cenderung pada sentralisasi dan
kekkuasaaannya lebih otokratis. Ada beberapa hal yang menyebabkan runtuhnya
Bani Umayyah di Spanyol di antaranya adalah faktor intern (dalam) dan ekstern
(luar) [8]berikut
ini:
1.
Faktor dari dalam (intern)
a.
Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan.
Dalam hal ini menyebabkan terjadinya persaingan
tidak sehat di antara kalangan keluarga istana. Yaitu perebutan kekuasaan di
antara ahli waris. Dan Ketika kekhalifahan Hisyam ibn Hakam, timbulnya
perselisihan di kalangan pejabat tinggi Negara dan orang istana, sehingga
terpecah menjadi dua kelompok; kelompok militer yang didominasi oleh Slav dan
kelompok sipil dengan tokohnya al-Hajib al-Mansur yang didukung oleh
menterinya.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa
kekhalifahan sebaiknya diserahkan kepada pamannya Hisyam, al-Mughirah ibn
Abdurrahman al-Natsir. Sementara kelompok sipil mengharapkan kekhalifahan
dipegang oleh Hisyam, agar kendali pemerintahan tetap dipegangn oleh para
penguasa bersama khalifah Hisyam kecil itu. Dari perdebatan tersebut
menyebabkan terbunuhnya al-Mughirah yang diduga pembunuhnya dari pihak sipil.
Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam
terakhir di Spanyol jatuh ketangan Ferdinan dan Isabella, di antaranya juga
disebabkan permasalahan ini. Dari perselisihan tersebut memberikan peluang bagi
mereka untuk melancarkan serangan mereka.
b.
Tidak adanya ideologi pemersatu
Dengan ini terjadi konflik politik, sehingga
timbulnya kelompok oposisi. Persaingan terjadi antara Arab Utara dengan Arab
Selatan, di samping itu pula timbulnya kerajaan kecil (Muluk al-Thawaif),
mengakibatkan terjadi pemberontakan dimana-mana dan pengacauan politik.
Kelompok tersebut mengadakan pemberontakan yang berdampak bagi stabilitas
politik kekuasaan Bani Umayyah di Spanyol.
Kalau di tempat-tempat lain para muallaf
diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana
politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah
menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka
masih memberi istilah 'ibad dan muwalladun kepada para muallaf itu, suatu ungkapan
yang dinilai merendahkan.
Akibat dari kelompok – kelompok etnis tersebut
yang non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu
mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal
ini menunjukan tidak adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan,
disamping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.
c.
Para penguasa islam cukup puas dengan menerima
upeti dan tidak melakukan islamisasi secara sempurna
Tidak hanya itu dilakukan pemerintahan tersebut
akan tetapi ketika melakukan islamisasi membiarkan mereka mempertahankan hukum
dan adat kebiasaan orang nasrani.
Akibatnya dengan kehadiran bangsa Arab
menimbulkan rasa iri dan membangkitkan rasa kebangsaan bangsa spanyol yang
Kristen. Berbagai usaha yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab
itu, untuk berupaya semaksimal mungkin untuk mengadu domba sesama muslim.
2.
Faktor dari luar (ekstern)
a.
Timbulnya semangat orang-orang Eropa untuk
menguasai kembali Andalusia
Hal ini merupakan keinginan bangsa Eropa yang
sudah lama terpendam, mereka ingin merebut kembali tanah air mereka dari tangan
penguasa muslim. akan tetapi keinginan mereka masih belum terlaksana, karena
islam pada waktu itu mempunyai kekuatan besar. Ketika kekuatan islam melemah,
ini merupakan kesempatan emas bagi sekelompok komunitas yang tidak senang
dengan kedatangan islam.
Beberapa daerah belum dikuasai Islam Berawal dari saat Thariq dan Musa ketika
menaklukkan wilayah Andalusia karena ada perintah untuk segera pulang sehingga
menyebabkan mereka tidak berhasil untuk menaklukkan daerah yang terletak di
Barat Laut.
Penyebab keruntuhan dan kehancuran kekuasaan
islam di Andalusia disebabkan ada beberapa daerah yang belum diduduki
sepenuhnya waktu ekspansi islam seperti daerah Galicia. Daerah tersebut menjadi
pusat Kristen. Yang kemudian berdirinya kerajaan Castile dan Aragon yang
menjadi basisnya Kristen untuk menyerang kaum muslim dalam rangka menguasai
wilayah kekuasaannya
Daerah tersebut dijadikan benteng pertahanan,
pelatihan dan sekolah siasat yang dipersiapkan untuk perlawanan dikemudian
hari, dan dari benteng tersebut dikomando upaya untuk memecahkan belah
persatuan dan kesatuan umat islam, bahkan sering menyerang saat ada kesempatan.
b.
Konflik Islam dengan Kristen
Dalam pertempuran tersebut Ferdianan dan
Isabella melibatkan diri bersama 5.000 peronil dengan mendengungkan perang
suci. Serangan ini dipelopori oleh raja Ferdinan dari Arogon dan Isabela dari
Castila. Akibat konflik itu runtuhnya benteng Al-Hambra yang direbut oleh
kristen. Dengan kemenangan mereka itu dari pihak Kristen merayakan kekalahan
islam terakhir di spanyol The Deum, sebuah Hyne rasa syukur yang dinyanyikan di
Cathedral St. Paul di London. Granada saat itu semasa dinasti Nasr, yang
dipimpin oleh Maula Ali Abi al-Hasan yang merasa cemas dengan kombinasi antara
kerajaan Castile dan Aragon. Sehingga terjadilah perang dingin dengan kaum
Nasrani.
al-Hasan sendiri wafat, diracun oleh anaknya, Abdullah dan kekuasaan dipegang saudaranya, al-Zaghlul (al-Zaghal). Jatuhnya Granada ketangan Kristen, pendeta Kristen memberikan pilihan kepada umat muslim dan Yahudi, yakni pindah agama atau tinggal di wilayah itu. Dengan demikian “salib telah menyingkirkan bulan sabit”. Artinya adalah kekuasaan islam telah dikalahkan oleh kekuasan Kristen.
al-Hasan sendiri wafat, diracun oleh anaknya, Abdullah dan kekuasaan dipegang saudaranya, al-Zaghlul (al-Zaghal). Jatuhnya Granada ketangan Kristen, pendeta Kristen memberikan pilihan kepada umat muslim dan Yahudi, yakni pindah agama atau tinggal di wilayah itu. Dengan demikian “salib telah menyingkirkan bulan sabit”. Artinya adalah kekuasaan islam telah dikalahkan oleh kekuasan Kristen.
c.
Kesulitan ekonomi
Masa-masa runtuhnya Bani Umayyah ini,
disebabkan para penguasa lebih mementingkan pembangunan, sehingga lalai
membinaan perekonominan. Di samping itu pula diakibatkan oleh etnis-etnis non
–Arab sering menjadi perusak dan menggrogoti perdamaian, sehingga mempengaruhi
terhadap kondisi perekonomian. Akibat dari pembangunan bidang fisik untuk
keindahan kota dan peningkatan ilmu pengetahuan yang terlalu serius telah
melalaikan pembangunan bidang perekonomian yang menjadi pendukung perekonomian
persatuan dan kesatuan. Akibatnya perekonomian yang lemah itu, juga menyebabkan
kondisi politik dan militer tak menentu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah
dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang
Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan
di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah
wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia (
bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.. Dinasti
umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini
sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan
namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan
kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali
yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam
satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah)
tahun 41 H (661 M).
2.
Periode Daulah bani Umayyah terdapat dua jenis
pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya yaitu: pendidikan khusus dan
pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan diselenggarakan dan diperuntukan
bagi anak-anak khafilah dan anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan
untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada
sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahannya. Tetapi orang
tua murid pun turut pula menentukan.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi runtuhnya
Daulah Bani Umayyah yang dapat kami paparkan, ada dua faktor yaitu faktor
internal-dan faktor external. Konflik internal yang berujung perebutan
kekuasaan terjadi di antara para pemimpin muslim. Umat Islam menjadi lemah.
Akhirnya, Raja Ferninand dan isterinya Ratu Isabella berhasil menaklukkan
kekuasaan Islam setelah Granada, benteng terakhir kaum muslimin di Andalusia,
jatuh ke tangan bangsa Eropa yang kafir. Daulah Umayyah II juga mengalami
keruntuhan akibat perebutan kekuasaan.
Meskipun
penyebab terburuknya adalah serangan kaum Kristen, namun kondisi umat.Islam di
Andalusia saat itu sedang melemah sedangkan kondisi umat Kristen berada dalam
kemajuan yang pesat.
SARAN
Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut
kami telah kami susun secara sistematis
agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah
merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas
adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa “meskipun” berkisah
mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa.
Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita,
belajar menghargai tetes darah dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati
saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan
menjadikannya sebagai modal berharga untuk melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar dengan
perjalanan sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali lebih
jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi menguatkan
keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang kita peluk
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Supriadi
dan Soekarno , Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa,
2001
Badri Yatim , Sejarah
Peradaban Islam., Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2003
Maidir
Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban
Islam jilid II, Padang : IAIN-IB Press, 2001
Susanto, Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2019
Taqiyuddin, Sejarah
Pendidikan, Bandung: Mulia Press, 2018
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah#6.Penyebab_Kemunduran_dan_Kehancuran, Kendari 4
Juni 2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr.Wb
Puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan
keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat
beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw,
yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami menulis
makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang “Sejarah Pendidikan Islam ”. Selain bertujuan untuk memenuhi
tugas, tujuan penulis selanjutnya adalah untuk mengetahui proses pendirian bani
Umayah, Sistem pendidikan islam bani Umayah, pemerintahan umar bin abdul Aziz
dan keruntuhan dinasti Umayah.
Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan
kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan
baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang
masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di
masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat
dan maslahat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum
Wr.Wb
Kendari , Juni
2014
Penyusun
Herman
Tugas Makalah
SEJARAH
PENDIDIKAN ISLAM
”MASA
DINASTI BANI UMAYyAH”
O L E H :
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN
QAIMUDDIN
KENDARI
2014
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah
1
BAB II PEMBAHASAN 2
A.
Sejarah
Pendirian Dinasti Bani Umayyah 2
1.
Asal mula Berdirinya Dinasti Bani Umayyah 5
2.
Usaha-usaha
Memperoleh Kekuasaan 7
3.
Pola
Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah 10
B.
Sistem
Pendidikan Islam dinasti Bani
umayyah………………... 10
1.
Pendidikan
Islam Dinasti Umayyah……………………... 10
2.
Tempat Dan
Lembaga Pendidikan ……………………… 12
3.
Metode
Pembelajaran……………………………………. 14
C.
Pemerintahan
Umar Ibn Abdul Aziz ……………………………. 16
D.
Faktor-Faktor
Penyebab Keruntuhan Dinasti Umayyah ……….. 18
BAB III PENUTUP 18
A.
Kesimpulan 18
B.
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
[2]
Prof. Dr. H. Harun,
Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam jilid II, Padang
: IAIN-IB Press, 2001
[4]
Susanto, 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah h. 27-28
[5]
Soekarno dan Supardi Ahmad, 2001. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: Angkasa h. 78-80
[6]Taqiyuddin,
2008. Sejarah Pendidikan. Bandung: Mulia Press h. 81-82
[8](http://id.wikipedia.org/wiki/Bani
Umayyah#6.Penyebab Kemunduran dan Kehancuran), Kendari 4 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar