BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aliran-aliran
(Firqoh) muncul setelah Rasulullah SAW wafat, pada zaman Nabi Muhammad SAW umat
Islam dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk di bidang aqidah. Kalau ada
hal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang diperselisihkan di antara para
sahabat, mereka mengembalikan persoalannya kepada nabi. Maka penjelasan beliau
itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.
Namun setelah
Rasulullah wafat mulailah bermunculah aliran-aliran (firqoh) ilmu kalam, terutama
pada masa pemerintahan Kholifah Usman bin affan. Syi’ah merupakan firqoh
pertama yang kemudian disusul oleh firqoh-firqoh lainnya, salah satunya adalah
firqoh Qadariyah.
Persoalan Iman
(aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh
Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas
pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini,
persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan
syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama
periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[[1]]
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam
berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”.
Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang
pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau
ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari
teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah
digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama
muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan
tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat
menjadi persoalan teologi.[[2]]
Perbedaan
teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk
praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi
patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek
filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para
malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada
peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak
manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian
memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij,
Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini
akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam makalah ini penulis
hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Qadariyah.
Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan
ajaran-ajarannya secara umum. .
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami perlu merumuskan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana Awal kemunculan aliran Qadariyah?
2. Siapa
tokoh-tokoh Aliran Qadariyah?
3. Bagaimana
ajaran-ajaran aliran Qadariyah ?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penyususan makalah ini memiliki
tujuan sebagai berikut :
- Dapat
mengetahui firqoh-firqoh ilmu kalam dalam Islam
- Dapat
menjadi referensi dalam mempelajari firqoh-firqoh dalam Islam pada umumnya
serta aliran qadariyah pada umumnya.
D.
Manfaat
Berdasarkan tujuan di atas, maka penyusunan makalah ini memberikan manfaat
sebagai berikut :
.
Kita dapat mengetahui sejarah munculnya aliran Qadariyah
.
Memahami tokoh-tokoh faham qadariyah
.
Memahami ajaran-ajaran aliran Qadariyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ALIRAN QADARIYAH
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal
dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun
secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[1]
Menurut Ahmad
Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham
Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[2]
B.
SEJARAH MUNCULNYA QADARIYAH
Sejarah
lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad
al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[3]
Ibnu Nabatah
menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W.
Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah
terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh
Hasan al-Basri sekitar tahun 700M [4]
Ada pula
pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan pertama
kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani
dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
(685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan
al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak.
Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada Washil bin Atho’,
pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah, karena
ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang
baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn
al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam
pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Sedangkan
Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang pernah
bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa
pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum
mati karena faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di
Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut
Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah
lakunya.
Di sini tak terdapat
faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan
bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya
yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan
juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham
Qadariyah antara lain : Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh
Qubbah
Kaum Qadariyah
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama
Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau
kadar Tuhan.
Dalam istilah
inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act. Mereka, kaum
Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan
Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau
perbuatan manusia sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi
pahala kalau berbuat baik dan disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang
membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah Ta’ala.
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat, yang artinya :
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat, yang artinya :
“Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang yang ingim ( kafir ) biarlah ia kafir ( Qs. Al-kahfi: 29 ). Menurut
Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada
orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang
menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan
ajaran dengan Mu’tazilah.
Ditinjau dari
segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani
Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu
mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah
dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam
perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[5]
C.
CIRI-CIRI PENGANUT ALIRAN QADARIYAH
Di antara cirri-ciri paham Qadariyah adalah
sebagai berikut.
1.
Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan
dan nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri,
tanpa ada campur tangan Allah SWT.
2.
Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi
iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
3.
Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan
amal-amal kebajikan.
D.
AJARAN-AJARAN QADARIYAH
Harun Nasution
menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa
atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik
atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan
atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh
an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia
dapat berkuasa atas segala perbuatannya[6]
Dengan demikian
bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri,
baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman
atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan
balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak
di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir
Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya
sesuai dengan tindakannya.[7]
Faham takdir
yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai
oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan
demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta
beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran
adalah sunnatullah.
Secara alamiah
sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia
dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang
mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan
seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan
pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang
berbicara dan mendukung paham itu
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki
sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu,
barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir
maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa
musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua
kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata:
"Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari
(kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah
Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah
Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.]
yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11) [8]
Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah
adalah sebagai berikut :
1. Mengingkari
takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.
2. Melampau di
dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas berkehendak
(iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu)
mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah
tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
3. Mereka
berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu
mereka menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
4. Mereka
berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran
mereka terhadap sifat Allah.
5. Mengenal Allah
wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
6. Mereka
mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih).
7. Mereka
mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas
ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.
E.
REFLEKSI ALIRAN QADARIYAH DAN ALIRAN JABARIYAH
(Sebuah Perbandingan Tentang Musibah)
Dalam
pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam khususnya dalam hal aliran-aliran yang
ada di dalamnya, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah selalu dikaitkan, karena
aliran keduanya ini sangatlah berbeda pandangan, di satu sisi Aliran Qadariyah
beranggapan bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah
artinya segala tingkah laku manusia tidak ada campur tangan Allah SWT sama
sekali, di lain pihak Aliran Jabariyah berbeda pandangan dan bertolak belakang
yaitu aliran Jabariyah beranggapan bahwa segala tingkah laku manusia semuanya
ditentukan oleh Allah, manusia sangat tidak berdaya.
Dalam paham
Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang
melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham
Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh
manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya,
manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada
perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga
sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam
tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman
masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) -
dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham
Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu
dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan
perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham
Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak
dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di
mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham
teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah
semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang
sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat
investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan
(perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu
investigasi.
Dengan
demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang
merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari
perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di
dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal
musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak
dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan
membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat
yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa
mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan
tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan
pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat
satelit kawasan yang dilanda musibah
F.
KEKELIRUAN QADARIYAH TERHADAP TAKDIR ALLAH
Iman kepada taqdir
merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap muslim. Orang
yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah
merealisasikan tauhid kepada-Nya dan berjalan di atas petunjuk Rabb-nya.
Sebab, beriman kepada qadar termasuk mendapatkan petunjuk.
Allah Azza wa
Jalla berfirman, "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah
petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan)
ketakwaannya." [Muhammad: 17]Dia juga berfirman, "Tidak ada suatu
musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya …
." [At-Taghaabun: 11]
‘Alqamah
rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang tertimpa
musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka dia pun pasrah dan ridha.” ( Zaadul Masiir VIII/283, Ibnul Jauzi)
Kemudian orang
yang beriman kepada tadir akan sadar bahwa semua makhluk berada dalam
kekuasaan-Nya, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semua mahluk tidak memiliki
suatu kekuasaan pun, termasuk terhadap dirinya, terlebih terhadap
selainnya, baik kemanfaatan maupun kemudharatan. Karena itu kita harus yakin
bahwa segala urusan itu berada di tangan Allah. Karena Dialah yang
memberi kepada siapa yang dikehendaki dan mencegah dari siapa yang
dikehendaki. Tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ditanya oleh Malaikat
Jibril tentang iman. Beliau menjawab bahwa salah satu tanda iman adalah percaya
pada taqdir baik dan buruk yang telah ditentukan Allah Ta'ala. (Arbain
An-Nawawi hadits ke 2, Imam Nawawi) Pemahaman seperti inilah yang
dipegang teguh oleh para ulama salaf.
Imam
Syahrastani dalam kitabnya, al-Milal wa al-Nihal hal.61, menyebutkan bahwa
keyakinan terhadap taqdir sudah menjadi ijmak para sahabat. Orang-orang yang
dicintai Rasulullah ini berkeyakinan bahwa qadar yang baik dan buruk pada
hakekatnya berasal dari Allah SWT.
Dari keterangan
inilah kemudian para ulama menyimpulkan bahwa pada dasarnya manusia hanyalah
punya kemampuan berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya ada di
tangan Allah SWT. Sebab tidak ada satu kekuasaanpun diluar kekuasaan-Nya.
G.
BANTAHAN TERHADAP KAUM QADARIYAH
Meski ayat dan
hadits tentang iman kepada taqdir sudah jelas, namun masih ada sekelompok orang
yang tidak mempercayainya. Terutama berkaitan dengan taqdir buruk. Mereka
berpendapat bahwa Allah tidak mungkin memberi taqdir buruk kepada hamba-Nya.
Sebab jika itu dilakukan, berarti Allah telah berbuat dhalim. Dan ini tidak
mungkin dilakukan Allah. Kalau ada seseorang tertimpa musibah berarti itu
karena kesalahannya semata, bukan taqdir Allah.
Pendapat ini
sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana pemikiran Islam. Kelompok yang
berpendapat seperti itu adalah kaum Qadariyyah yang muncul pada
akhir masa sahabat. Keyakinan seperti ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani,
Gilan al-Damisqi dan Yunus al-Ashwa yang mengingkari terhadap penyandaran baik
dan buruk terhadap qadar. Mereka juga berpendapat bahwa segala sesuatu
mempunyai sebab, sebagaimana pemahaman para filosof Yunani . Menurut
kelompok ini, Allah wajib mewujudkan yang baik (al-ashlah) untuk kemaslahatan
manusia. Bisa saja Allah bertindak zalim dan berdusta, tetapi mustahil akan
berbuat begitu. Sebab kalau Dia mentakdirkan atau membuat yang buruk bagi
seseorang dan menghukum orang tersebut, maka berarti hilanglah keadilan-Nya.
Intinya, menurut kaum Qadariyyah, Allah hanya membuat yang baik dan
tidak yang buruk. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan kecuali yang
baik, karena Allah berkewajiban memelihara kepentingan hamba-Nya.
Pendapat sesat
ini telah dijawab oleh para ulama. Yang benar, segala yang terjadi di jagad
raya ini adalah taqdir dan ciptaan-Nya. Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Dan
karena yang diperbuat adalah milik-Nya sendiri, maka tidak ada alasan untuk
mengatakan Allah berlaku aniaya. Karena tidak ada milik atau hak orang lain
yang dirampas atau ditindas-Nya. Mengenai paham Qadariyyah ini Rasulullah
bersabda,
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِنْ
مَرِضُوا فَلاَ تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلاَ
تَشْهَدُوهُمْ
"Al-Qadariyyah adalah
Majusinya umat (Islam) ini. Jika mereka sakit jangan dijenguk. Jika mereka mati
jangan disaksikan" (HR. Sunan Abu Daud, Sunan Baihaqi)
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha.
disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan
"Qadariyyah adalah musuh Allah di
dunia"
Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh
mengenai taqdir Allah, karena taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan.
Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari dua macam yaitu baik dan buruk.
Dalam kitab As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim
meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam
Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang kelompok Qadariyyah adalah,
mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum
mati".
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa
pemahaman seperti kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu
kaum muslimin hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang memiliki
pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci, tidak mungkin
kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba
memiliki keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak
dan keinginan Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan
yang mengikuti kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.
H.
SEJARAH SINGKAT PERPECAHAN DALAM ISLAM
Perpecahan
dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karna aliran
tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah
tokoh-tokoh bid’ah yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :
1.
Pelopor perpecahan : Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi, seorang Yahudi
yang mengaku-ngaku beragama Islam. berikut pengikut dan konco-konconya. Ide
kotornya pertama kali muncul sekitar tahun 34H. Ibnu Sauda' ini memadukan
antara bid'ah Khawarij dan Syi'ah.
2.
Setelah itu Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80H) meluncurkan pemikiran
bid'ah seputar masalah takdir sekitar tahun 64H. Ia menggugat ilmu Allah dan
takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan sehingga banyak
meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun
bid'ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk
di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhuma.
3.
Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup besar
seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98H. Dan juga dalam masalah
ta'wil, ta'thil (mengingkari sebagian siaft-sifat Allah) dan masalah irja [2]
Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya
adalah Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga
Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun
setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat
dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid'ah.
Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan
kembali kepada bid'ahnya. Ghailan ini akhirnya dibunuh setelah dimintai taubat
namun menolak bertaubat pada tahun 105H.
4.
Setelah itu muncullah Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H). Ia
mengembangkan pendapat pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid'ah Qadariyah
dengan bid'ah Mu'aththilah [3] dan ahli ta'wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran
rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf
memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia
menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-Ja'd ini dan
menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum
muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati
atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin
Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato
seusai menunaikan shalat 'Idul Adha : "Sembelihlah hewan kurban kalian,
semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja'd
bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak
menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa
berbicara ...... dan seterusnya". Kemudian beliau turun dari mimbar dam
menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124H.
5.
Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga
kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi
bid'ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta menambah bid'ah baru. Akibat
ulahnya muncullah bid'ah Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya
yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan
Ghailan dan Al-Ja'd, bahkan ia menambah lagi dengan bid'ah ta'thil (penolakan
sifat-sifat Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja', bid'ah Jabariyah [4], bid'ah
Kalam [5], tidak meyakini Allah bersemayam di atas Arsy, menolak sifat Al-'Uluw
(yang maha tinggi) bagi Allah, menolak Rukyah. [6]. Al-Jahm
dihukum mati pada tahun 128H.
6.
Dalam waktu yang bersamaan, munculah pula Washil bin Atha' dan Amr bin Ubeid.
Mereka berdua meletakkan dasar-dasar
pemikiran mu’tazilah Qadariyah, Setelah itu terbukalah pintu perpecahan.
Kelompok Rafidhah mulai berani menyatakan terang-terangan aqidah dan
keyakinannya. Kemudian sekte Syi'ah ini terpecah belah menjadi beberapa
golongan. Lalu muncullah kaum Musyabbihah.
7.
dari kalangan Syi'ah melalui tokoh-tokohnya seperti Daud Al-Jawaribi, Hisyam
bin Al-Hakam, Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak dasar
ajaran Musyabbihah dan pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut ajaran Syi'ah.
8.
Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah,
Al-Asy'ariyah dan Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan
ahli-ahli filsafat. dengan demikian, pintu perpecahan terbuka luas bagi setiap
orang sesat, ahli bid'ah dan pengiku hawa nafsu. Sehingga tertancaplah
dasar-dasar perpecahan di antara kaum muslimin sekarang ini.
Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih
terlihat di antara kaum muslimin. Bahkan terus bertambah dengan muculnya
bid'ah-bid'ah dan penyimpangan-penyimpangan baru di samping perpecahan yang
sudah ada, sejalan dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu akrab dengan
bid'ah kesesatan.
Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok
bid'ah ini sudah sirna dan sudah menjadi koleksi sejarah masa lalu. Entah
karena kejahilan mereka atau karena pura-pura tidak tahu! Asumsi seperti itu
jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu masih
tetap ada sampai sekarang di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan semakin
banyak, semakin berbahaya dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan
sekte-sektenya yang batil serta golongan Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah,
Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, Kaum Sufi dan Ahli Filsafat, masih berusaha
menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani menampakkan taring, mempromosikan
aqidah mereka dengan cara yang lebih keji dari pada sebelumnya. Karena pada
hari ini mereka mengklaim ajaran mereka sebagai ilmu pengetahun, wawasan dan
pemikiran. Disamping minimnya pemaham kaum muslimin tentang agama mereka dan
kejahilan mereka tentang aqidah yang benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung
kita, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.
I.
PERSEPSI KELIRU TENTANG PERPECAHAN DALAM ISLAM
Aliran
Qadariyah termasuk yang cukup cepat berkembang dan mendapat dukungan cukup luas
di kalangan masyarakat, sebelum akhirnya pemimpinnya, Ma’bad dan beberapa
tokohnya, berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh penguasa Damsyiq pada tahun
80 H/699 M, karena menyebarkan ajaran sesat. Sejak terbunuhnya pentolan
Qadariyah tersebut, aliran Qadariyah mulai pudar, sehingga akhirnya sirna
dimakan zaman dan kini tinggal sebuah nama yang tertulis di dalam buku. Namun,
sebagai pahamnya masih dianut oleh sebagian orang.
Banyak sekali
faidah yang dapat dipetik dari pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat.
Berbagai peristiwa yang terjadi di awal Islam tersebut sarat dengan ibrah
(pelajaran). Tentunya kami tidak mampu menyuguhkan sejarah perpecahan itu
secara terperinci, akan tetapi ada beberapa point yang dapat kita jadikan
pelajaran. Sembari meluruskan beberapa persepsi keliru sebagian orang sekitar
masalah tersebut dewasa in.
Pertama Sumbu
perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa i'tiqad dan pemikiran yang
tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali di dengar oleh kaum muslimin
dan para sahabat adalah aqidah Saba'iyah yang merupakan cikal bakal aqidah
Syi'ah dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan di
tengah-tengah kaum muslimin. Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara
terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama yang memunculkan juga asing, nama
dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'.
Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah
tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang
merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda
ingusan. Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan
kerajaan mereka telah ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang
baru memeluk Islam dari kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka
membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat makar tersembunyi atas kaum
muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari mereka.
Hal ini
ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama kali muncul
yang menyelisihi asas Islam dan Sunnah.
Adapun kelompok
sempalan yang pertama kali muncul yang memisahkan diri dari imam kaum muslimin
adalah kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari
aqidah Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal
sebenarnya cikal bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba'iyah. Perlu
diketahui bahwa Saba'iyah ini terpecah menjadi dua kelompok utama : Khawarij
dan Syi'ah.
Kendati antara
keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar
pemikirannya setali tiga uang. Baik Khawarij maupun Syi'ah meuncul pada
peristiwa fitnah atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu.
Fitnah diprakarsai oleh Abdullah bin Saba' lewat ide, keyakinan dan gerakannya.
Dari situlah muncrat aqidah sesat, yaitu aqidah Syi'ah dan Khawarij.
Perbedaan
antara Khawarij dan Syi'ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya
supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam
benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian
membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna
memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan
oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin, yakni dengan istilah
yang mereka namakan blok kanan dan blok kiri. Mereka mengkotak-kotakan kaum
muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan dan partai sayap kiri.
Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak permainan baru
dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif, ekstrimisme,
radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber
yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu juga demikian pula tujuannya,
hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini
mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu sama lain saling bermusuhan.
Kedua ada satu point
penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para
sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi diantara mereka
hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma'
(kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap
komitment terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat. Tidak ada
seorang sahabat-pun yang memisahkan diri dari jama'ah. Tidak ada satupun
diantara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada perkara baru
dalam agama. Sungguh, para sahabat merupakan imam dalam agama yang mesti
diteladani oleh kaum muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah
dari jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan
sumber perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan
oleh sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar! Hanyalah dusta dan
kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat. Sangat keliru bila
Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai
sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal bakal kaum sufi,
Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai sumber
Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu,
mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal!
Jelas itu semua merupakan kebatilan murni!
Iftiraq
(perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu
'anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang
serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah.
Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar
Radhiyallahu 'anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu 'anhu,
belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat
justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira
para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini.
Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini,
baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan
mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji
dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala
tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah pasti terjadi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bagi aliran Qodariyah
manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran,
ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Qodariyah
tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Penganut
Aliran Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat
yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan
menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan
kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak
mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula,
mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat
B.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka kami memberi saran sebagai berikut:
·
Organisasi NU ini harus bisa membentengi
dirinya sendiri agar tidak lagi dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki
nafsu politik.
·
Mengembalikan NU ke dalam
ruh-nya semula, sebagaimana yang tercantum dalam Qonun Asasi pendirian
organisasi, bahwa NU adalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah, organisasi sosial
keagamaan.
Catatan kaki
DAFTAR PUSTAKA
·
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata
Setia, 2006), cet ke-2
·
Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar
Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996)
·
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1997)
·
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi
dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
·
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam
dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
·
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar