BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
TARIKH TASYRI’
Tarikh artinya catatan tentang
perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan sederhana
diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf
yang dikutip oleh Wajidi Sayadi, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan
perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal
yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan
mereka.
Sedangkan
pengertian tarikh tasyri' menurut Ali As Sayis adalah Ilmu yang membahas
keadaan hukum pada zaman Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi
yang padanya hukum itu berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya
keadaan fuqoha dan mujtahid dalam merumuskan hukum itu. Dengan demikian secara
sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari
zaman Nabi sampai sekarang.
B. RUANG
LINGKUP
Ruang
lingkup tarikh tasyri' yakni terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam
dari zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya,
yang ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk
didalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta biografi
sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan
perundang-undangan Islam. Kamil Musa dalam al-madhkal ila tarikh at-Tasyri'
al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah
pembentukan al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan
ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu.
Diantara ruang lingkup Tarikh
Tasyri', adalah:
1)
Ibadah
bagian ini membicarakan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya
2)
Hukum
keluarga
3)
Hukum
privaat
4)
Hukum
Pidana
5)
Siyasah
Syar'iyyah
6)
Hukum
Internasional
C. SUMBER TASYRI’
Pengertian tasyri’ menurut istilah syara’ dan undang undang adalah pembuatan/pembentukan
undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan
ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Kalau pembentukan undang undang ini sumbernya datanmg dari Allah dengan perantara Rasul serta kitab Nya, maka hal itu dinamai perundang-undangan Allah (At-Tasri’ul Illahiyu)
Sedangkan kalau sumbernya dating dari manusia baik secara individual maupun kolektif (berkelompok), maka hal itu dinamai perundang-undangan buatan manusia (At-Tasyri’ul Wad’iyu).
Sedangkan kalau sumbernya dating dari manusia baik secara individual maupun kolektif (berkelompok), maka hal itu dinamai perundang-undangan buatan manusia (At-Tasyri’ul Wad’iyu).
Jadi perundang-undangan islam terbagi menjadi dua:
1. Perundang-undangan yang langsung
dibuat oleh Allah dengan ayat Al-Qur’an, diilhamkan kepada Rasul-Nya, yang
dengan ilham itu ditetapkan hukum-hukumnya oleh Rasulullah. Perundang-undangan
ini dinamai perundang-undangan Tuhan yang murni (Tasyri’ illahi Mahdi).
2.
Perundang-undangan
yang dibuat oleh segenap mujtahid muslim baik dari kalanagan sahabat, tabiin
maupun para imam mujtahid dengan cara menggali hukum dan nash/ketetapan Tasyri’
Illahi, jiwanya, pengertiannya, serta sumber-sumber yang ditujuki olehnya.
Perundang-undangan ini bisa dipandang sebagai tasyri’ illahi kalau ditinjau
dari segi tempat pengambilan/sumber-sumbernya dan juga bisa dipandang sebagai
Tasyri’ Wadh’iyu kalau ditinjau dari segi usaha jerih payah para imam mujtahid
di dalam mengambil dan mengolah perundang-undangan itu. Dan yang kami kehendaki
dengan At-Tasri’ul islami disini ialah pembuatan perundang-undangan yang
mencakup dua jenis tersebut
D. PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM
Sebelum kita berbicara
tentang prinsip-prinsip hukum islam sebagai yang menjadi pusat kajian
kita harus memahami terlebih dahulu makna Islam (sebagai agama) yang
menjadi induk hukum Islam itu sendiri. Kata Islam terdapat dalam Al-qur’an,
kata benda yang berasal dari kata kerja salima, arti yang dikandung kata
Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri) dan
kepatuhan.
Sedangkan arti
Islam sebagai agama adalah agama yang telah diutuskan oleh Allah kepada nabi
Muhammad SAW untuk membahagiakan dan menguntungkan manusia. Orang yang secara bebas memilih Islam untuk patuh atas kehendak Allah SWT
disebut Muslim, arti seorang muslim adalah orang yang menggunakan akal
dan kebebasannya menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk Tuhan. Seorang muslim
yang sudah baligh maka disebut mukallaf, yaitu orang yang sudah
dibebani kewajiban dalam artian menjalankan perintah Allah dan meninggalkan
larangannya.
Di antara beberapa prinsip hukum
Islam yang patut disebutkan di sini adalah sebagai berikut:
1. Tidak Memberatkan Dan Menyedikitkan Beban
Al-Haraj memiliki beberapa
arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya
adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara
berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari. (Shalih ibn Abd Allah ibn
Hamid).
2. Berangsur-angsur Dalam Menentukan Sebuah Hukum.
Hukum Islam dibentuk
secara gradual atau tadrij, dan didasarkan pada al-Quran yang
diturunkan secara berangsur-angsur. Prinsip tadrij memberikan jalan
kepada kita untuk melakukan pembaruan
karena hidup manusia mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah
memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan
manusia dalam berbagai bidang, terutama teknologi. Akan tetapi, prinsip ini
sering dipraktikan oleh umat Islam pada umumnya sebagai perubahan yang tidak
terukur. Sesuai dengan tuntutan modernitas, hendaklah setiap perubahan
menggunakan tujuan dan target sehingga berjalan secara sistematis.
Tiap tiap masyarakat tentu mempunyai
adat kebiasaan, baik yang tidak membahayakan pertumbuhannya maupun yang
membahayakannya, baik yang sudah berakar kuat, maupun yang mendangkal saja.
Demikian pula dengan bangsa arab yang dimana agama islam diturunkan untuk
pertama kalinya. Mereka telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dan
kesenangan-kesenangan yang sukar dihilangkan sekaligus dan apabila dihilangkan
sekaligus maka benar benar kan mengakibatkan kesukaran dan ketegangan bathin.
3.Kemashlahatan Ummat
Maslahat berasal dari
kata as-sulh atau al-islah yang berarti damai dan tenteram. Damai
berorientasi pada fisik, sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun
yang dimaskud maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan
penolakan terhadap kesulitan. Maslahat adalah dasar semua kaidah yang
dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan yang kuat dalam al-Quran.
.
4.Menegakkan Keadilan
Keadilan memiliki
beberapa arti. Secara bahasa, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya
(wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Salah satu keistimewaan syariat Islam
adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia untuk menyatukan urusan dalam ruang limgkup
kebenaran dan memadukan dalam kebaikan.
Dalam bebrapa ayat al-Quran dijumpai perintah untuk
berlaku adil, diantaranya sebagai berikut:
“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.(QS. Al-Maidah: 8),
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl: 90),
E.
PERIODESASI
Periode awal, sejak Muhammad bin
Abdullah diangkat menjadi rasul;2.Periode para sahabat besar;3.Periode sahabat
kecil danthabi’in; 4.Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5.Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan6.Periode
jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai
sekarang.
Periode Pertama
Masa Rasulullah SAW. Pada periode
ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum
Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia
menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum
sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah
fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum
dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW
mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Periode Kedua
Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat
Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para
sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa
bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya
tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan
ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara’at tidak
ditemukan di dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi,
bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin
berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.
Periode Ketiga
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal
abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman
Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabat sudah banyak yang
bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat
mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di
Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu
Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu
Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi
persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyara’at setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil
membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi’in. Para thabi’in
yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi
Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan
al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di
Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing
dan menjadi panutan untuk masyara’at setempat. Persoalan yang mereka hadapi di
daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda
pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad
sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap
para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang
dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah
al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu. Madrasah
al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah
al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah
al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua
aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah
al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak
mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka
hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam
berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih
banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena
hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan
kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara
kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz.
Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya
homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara’at yang relatif
majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan
jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian fiqh
sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu,
sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah
menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui
hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya
yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh
telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad,
seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam
perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga
menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftiradi (fiqh
berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada
periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra'yu; pemikiran tanpa berpedoman
kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang
karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh
mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal
berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama'ah (imam yang empat).
Periode Keempat
Pertengahan abad ke-2 sampai
pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena
fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai
mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan
Madrasah ar-ra'yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui
peranan ra’yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu
Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini
tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling
mempelajari kitab fiqh kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra'yu (Ahlulhadits
dan Ahlurra’yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari
kitabnya, al-Muwaththa' (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah
seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli
hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut
Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal
ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun
pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh
resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh
Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya
penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga
disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun
oleh Imam asy-Syafi’i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh
iftiradi semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh
tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan
teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi
pun sudah ditentukan.
Periode Kelima
Pertengahan abad ke-4 sampai
pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat
ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah
disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam
mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh
mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada
periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
Periode Keenam
Pertengahan abad ke-7 H sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini
diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta
ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi
mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan
pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan
fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah
mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan
mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan
kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari
kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal
yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam
masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh
(hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki
Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah.
Periode Ketujuh
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam
al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada
periode ini, yaitu:
1)
Munculnya
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan
dari fiqh Mazhab Hanafi;
2)
Berkembangnya
upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3)
Munculnya
pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab,
sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam
dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh
kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan,
sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu
masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai
kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping
memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat
bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di
pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini
dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia
ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam
al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan
penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri
Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun
kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai
pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil
pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat
diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari
mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat
bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai.
Bersumber dari berbagai pendapat
atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah
Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah)
yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat
berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu
bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun
1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga
yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan
demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan
boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara
Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai
dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali
khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan
saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang
berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa
penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam
telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab,
seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan,
Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya
penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi,
pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus
mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad
kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan
melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh,
tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan
sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika
dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
PENUTUP
A.
KEIMPULAN
Pengertian
tarikh tasyri' itu sendiri menurut Ali As Sayis adalah Ilmu yang membahas
keadaan hukum pada zaman Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi
yang padanya hukum itu berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya
keadaan fuqoha dan mujtahid dalam merumuskan hukum itu. Dengan demikian secara
sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari
zaman Nabi sampai sekarang.
Ruruang
lingkupnya yakni terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke
zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau
dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal
yang menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang
banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan
Islam.
Tujuannya
adalah untuk mengetahui latar belakang munculnya suatu hukum atau sebab-sebab
ditetapkannya suatu hukum syari'at, dalam hal ini penetapan hukum atas suatu
masalah yang terjadi pada periode Rasulullah saw adalah tidak sama atau
memungkinkan adanya perbedaan dengan periode-periode setelahnya, untuk
mengetahui dan mampu memaparkan sejarah perkembangan hukum dari periode
Rasulullah saw sampai sekarang, dalam rangka meningkatkan pengetahuan terhadap
hukum Islam, agar membangkitkan dan menghidupkan kembali semangat kita dalam
mempelajari tarikh tasyri' dan agar kita mampu memahami perkembangan syari'at
Islam.
B.
SARAN
Dalam makalah ini membahas
masalah tentang tarikh tasyri’ ,tentunya sudah hal yang harus kita fahami bahwa
ilmu itu bukan membuat kita tersesat atau terjebak dalam kebingungan, tetapi
sebaliknya ilmu seharusnya dapat menambah khazanah keilmuan kita. Dalam makalah
ini juga memuat ideology, semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar