Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Senin, 09 Juni 2014

TARIKH TASYRI’

BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN TARIKH TASYRI’

Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Wajidi Sayadi, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Sedangkan pengertian tarikh tasyri' menurut Ali As Sayis adalah Ilmu yang membahas keadaan hukum pada zaman Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid dalam merumuskan hukum itu. Dengan demikian secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.

B.  RUANG LINGKUP
Ruang lingkup tarikh tasyri' yakni terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil Musa dalam al-madhkal ila tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu.
Diantara ruang lingkup Tarikh Tasyri', adalah:
1)      Ibadah bagian ini membicarakan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya
2)      Hukum keluarga
3)      Hukum privaat
4)      Hukum Pidana
5)      Siyasah Syar'iyyah
6)      Hukum Internasional


C. SUMBER TASYRI’
Pengertian tasyri’ menurut istilah syara’ dan undang undang adalah pembuatan/pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. 
Kalau pembentukan undang undang ini sumbernya datanmg dari Allah dengan perantara Rasul serta kitab Nya, maka hal itu dinamai perundang-undangan Allah (At-Tasri’ul Illahiyu)
Sedangkan kalau sumbernya dating dari manusia baik secara individual maupun kolektif (berkelompok), maka hal itu dinamai perundang-undangan buatan manusia (At-Tasyri’ul Wad’iyu).
Jadi perundang-undangan islam terbagi menjadi dua:
1.      Perundang-undangan yang langsung dibuat oleh Allah dengan ayat Al-Qur’an, diilhamkan kepada Rasul-Nya, yang dengan ilham itu ditetapkan hukum-hukumnya oleh Rasulullah. Perundang-undangan ini dinamai perundang-undangan Tuhan yang murni (Tasyri’ illahi Mahdi).
2.      Perundang-undangan yang dibuat oleh segenap mujtahid muslim baik dari kalanagan sahabat, tabiin maupun para imam mujtahid dengan cara menggali hukum dan nash/ketetapan Tasyri’ Illahi, jiwanya, pengertiannya, serta sumber-sumber yang ditujuki olehnya. Perundang-undangan ini bisa dipandang sebagai tasyri’ illahi kalau ditinjau dari segi tempat pengambilan/sumber-sumbernya dan juga bisa dipandang sebagai Tasyri’ Wadh’iyu kalau ditinjau dari segi usaha jerih payah para imam mujtahid di dalam mengambil dan mengolah perundang-undangan itu. Dan yang kami kehendaki dengan At-Tasri’ul islami disini ialah pembuatan perundang-undangan yang mencakup dua jenis tersebut

D.    PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM

Sebelum kita berbicara tentang  prinsip-prinsip hukum islam sebagai yang menjadi pusat kajian kita harus memahami terlebih dahulu makna Islam (sebagai agama) yang menjadi induk hukum Islam itu sendiri. Kata Islam terdapat dalam Al-qur’an, kata benda yang berasal dari kata kerja salima, arti yang dikandung kata Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri) dan kepatuhan.
Sedangkan arti Islam sebagai agama adalah agama yang telah diutuskan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk membahagiakan dan menguntungkan manusia. Orang yang secara bebas memilih Islam untuk patuh atas kehendak Allah SWT disebut Muslim, arti seorang muslim adalah orang yang menggunakan akal dan kebebasannya menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk Tuhan. Seorang muslim yang sudah baligh maka disebut mukallaf, yaitu orang yang sudah dibebani kewajiban dalam artian menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya.
           
Di antara beberapa prinsip hukum Islam yang patut disebutkan di sini adalah sebagai berikut:
1.   Tidak Memberatkan Dan Menyedikitkan Beban
Al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari. (Shalih ibn Abd Allah ibn Hamid).
                   
2.   Berangsur-angsur Dalam Menentukan Sebuah Hukum.
Hukum Islam dibentuk secara gradual atau tadrij, dan didasarkan pada al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Prinsip tadrij memberikan jalan kepada kita untuk melakukan pembaruan  karena hidup manusia mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang, terutama teknologi. Akan tetapi, prinsip ini sering dipraktikan oleh umat Islam pada umumnya sebagai perubahan yang tidak terukur. Sesuai dengan tuntutan modernitas, hendaklah setiap perubahan menggunakan tujuan dan target sehingga berjalan secara sistematis.
Tiap tiap masyarakat tentu mempunyai adat kebiasaan, baik yang tidak membahayakan pertumbuhannya maupun yang membahayakannya, baik yang sudah berakar kuat, maupun yang mendangkal saja. Demikian pula dengan bangsa arab yang dimana agama islam diturunkan untuk pertama kalinya. Mereka telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dan kesenangan-kesenangan yang sukar dihilangkan sekaligus dan apabila dihilangkan sekaligus maka benar benar kan mengakibatkan kesukaran dan ketegangan bathin.
           
3.Kemashlahatan Ummat
Maslahat berasal dari kata as-sulh atau al-islah yang berarti damai dan tenteram. Damai berorientasi pada fisik, sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaskud maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Maslahat adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan  yang kuat dalam al-Quran.
.
4.Menegakkan Keadilan
Keadilan memiliki beberapa arti. Secara bahasa, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia untuk  menyatukan urusan dalam ruang limgkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan.

                 Dalam bebrapa ayat al-Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil, diantaranya sebagai berikut:
    
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Maidah: 8),
  
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl: 90),

E.               PERIODESASI
Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;2.Periode para sahabat besar;3.Periode sahabat kecil danthabi’in; 4.Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H; 5.Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan6.Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.

Periode Pertama

Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.


Periode Kedua

Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara’at tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.

Periode Ketiga

Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyara’at setempat.

Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi’in. Para thabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyara’at setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.

Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.

Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.

Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara’at yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.

Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftiradi (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).

Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra'yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama'ah (imam yang empat).

Periode Keempat

Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra'yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.

Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra'yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa' (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.

Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi’i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftiradi semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.

Periode Kelima

Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.

Periode Keenam

Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.

Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah.

Periode Ketujuh

Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1)      Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2)      Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3)      Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.

Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.

Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.

Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai.
Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.

Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.

Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.

Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
















PENUTUP
A.     KEIMPULAN
Pengertian tarikh tasyri' itu sendiri menurut Ali As Sayis adalah Ilmu yang membahas keadaan hukum pada zaman Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid dalam merumuskan hukum itu. Dengan demikian secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.
Ruruang lingkupnya yakni terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan Islam.
Tujuannya adalah untuk mengetahui latar belakang munculnya suatu hukum atau sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum syari'at, dalam hal ini penetapan hukum atas suatu masalah yang terjadi pada periode Rasulullah saw adalah tidak sama atau memungkinkan adanya perbedaan dengan periode-periode setelahnya, untuk mengetahui dan mampu memaparkan sejarah perkembangan hukum dari periode Rasulullah saw sampai sekarang, dalam rangka meningkatkan pengetahuan terhadap hukum Islam, agar membangkitkan dan menghidupkan kembali semangat kita dalam mempelajari tarikh tasyri' dan agar kita mampu memahami perkembangan syari'at Islam.

B.     SARAN

Dalam makalah ini membahas masalah tentang tarikh tasyri’ ,tentunya sudah hal yang harus kita fahami bahwa ilmu itu bukan membuat kita tersesat atau terjebak dalam kebingungan, tetapi sebaliknya ilmu seharusnya dapat menambah khazanah keilmuan kita. Dalam makalah ini juga memuat ideology, semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. 

Tidak ada komentar: