ALIRAN MU’TAZILAH
DAN ASYARIYAH
Nama :Aldi
purwanto
Nim :012010101123
Jurusan :Tarbiyah
PAI
PENDAHULUAN
Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta perbedaan
aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-golongan
atau aliran-aliran adalah bermula dari persoalan-persoalan politik pasca
wafatnya nabi Muhammad SAW, dan puncaknya terjadi pada masa khalifah Ali bin
Abi Thalib pada tahun 661 M [1].
Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ini banyak mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang berambisi menjadi khalifah, diantaranya
adalah Thalhah bin Zubair dan Muawiyah.
Bermula dari persoalan politik tersebut, pada akhirnya
membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Peristiwa arbitrase yang terjadi
pada saat pertentangan Ali dan Mu’awiyah pada akhirnya dibawa kepada persoalan
Teologi. Permasalahan ini terus berkembang hingga akhirnya memunculkan
aliran-aliran. Aliran-aliran yang dilatarbelakangi permasalahan politik seperti
halnya Khawarij, Syi’ah, Murjiah pada akhirnya memunculkan aliran Teologi
seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Dua aliran yang disebut terakhir inilah yang sangat besar
pengaruhnya dalam dalam dunia teologi. Walaupun kemudian timbul aliran-aliran
lain yang (mungkin) berpengaruh, namun semua itu masih berdasar kepada
pemikiran awal dua aliran ini. Mu’atazilah dalam pembahasannya banyak
menggunakan akal, sehingga mereka mendapatkan nama “kaum rasionalis Islam”,[2] sedangkan
Asy’ariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan metode
sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan Tuhan,
sedangkan akal ada di bawah wahyu.
Dengan melihat bahwa dua aliran ini sangat dominan
menentukan pola pikir manusia dalam hal teologi, maka penulis hendak membahas
perbedaan mendasar yang ada pada dua aliran ini, Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
GAMBARAN TENTANG
MU’TAZILAH
Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazila merupakan aliran teologi Islam yang
terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia Islam.[3] Pada
awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut sebagai
kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl
al-tauhid wa al-adl.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad
pertama hijriyah di Basrah (Irak), sebagai pusat perpaduan segala macam ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang
hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal dari dalam Islam
sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih membawa aqidah agama
lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat itu sudah terpecah
menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Dan
aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit dipersatukan.
Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu al-tauhid wa
al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam.
Mu’taazilah timbul sebagai reaksi atas pertentangan antara
aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa besar seorang muslim.
Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan Al-Basri, dan
menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati posisi di antara
dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya, ia tidak bisa
disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai kafir, akan
tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah lebih
banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut sebagai aliran
rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar Tuhan
mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia
merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh akrena itu bagi Mu’taazilah, keraguan
adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan
keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu metode untuk
menemukan suatu kebenaran.[5]
Pada awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak mendapat
simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan memahami ajaran-ajaran yang
rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar dan mendapat banyak pengikut
pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah menjadi mazhab resmi negara.[6]
Aliran Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al Mutawakil.
Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil membatalkan
pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah.[7]
Pokok-pokok Pikiran Mu’tazilah
Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal pokok dalam
pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni; al-Tauhid,
al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf
nahi munkar.
Al Tauhid
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang
mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang
mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat
Tuhan bersifat qadim.[8] Kalau
dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan bahwa
Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu maha
Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak
seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak
berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).[9] Dengan
demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat
disebut sebagai syirik.
Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui,
berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya.
Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah
mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan
berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup
dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya. Al
Syahrastani memberikan teks dari pertanyaan tersebut sebagai berikut:[10]
Al Adl
Manusia diciptakan Tuhan dengan membawa kemerdekaan pribadi.
Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan bebas. Perbuatan-perbuatan yang
ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan kehendak siapapun, termasuk Tuhan.
Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk adalah atas kehendak dan kemauannya
sendiri, karena ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan daya (istita’ah)
terdapat dalam diri manusia sebelum ia melakukan suatu perbuatan.[11] Sebagaimana
diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan membuat manusia
sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam
diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah
yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia.[12]
Dengan melihat bahwa manusia bebas berbuat baik artaupun
buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka manusia berhak untuk
menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut untuk
berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan harus menganugerahinya
dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat buruk maka Tuhan harus
mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat demikian maka
Tuhan dikatakan tidak adil.
Untuk menguatkan pendapatnya itu, mu’tazilah juga
menggunakan dasar al-Qur’an, semisal surat an-Nisa’ ayat 79:
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
Tuhan, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu
sendiri”.
Al Manzilu baina al-Manzilatain
Prinsip ini berlatarbelakang kedudukan orang mu’min yang
melakukan dosa besar. Menurut beberapa aliran sebelumnya, Khawarij, misalnya,
mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia adalah disebut
kafir, karena itu wajib dibunuh. Pendapat ini ditentang oleh kaum murji’ah yang
mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap seorang
mu’min. Dari berbagai pendapat ini, Washil bin Atha’ merasa tidak puas,
sehingga ia mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah
seorang kafir dan bukan pula seorang muslim tetapi adalah fasiq.
Al Wa’du wa al Wa’id
Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia dapat
diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini disebabkan
oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan serta
janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak berubah-ubah, sebagaimana
disebutkan dalam al Qur’an.[13]
Kebebasan yang didapat manusia baru akan mempunyai makna
jika Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Sebab, kebebasan menurut
mu’taazilah membawa konsekwensi bahwa Tuhan harus membalas perbuatan manusia
atas dasar perbuatan manusia itu sendiri, sebagaimana janji-janji Tuhan yang
dituangkan dalam al Qur’an.
Telah banyak janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al
Qur’an. Semisal bagi orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan
sesuai kebaikannya dan yang melakukan kejahatan akan menerima balasan sesuai
dengan perbuatannya pula. Dengan demikian Tuhan haruslah menepati janji-janji
yang telah disebutkannya sendiri, jika tidak, maka Tuhan tidak menepati
janjinya.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Benar bahwa manusia bebas berkehendak sesuai dengan
keinginannya, namun wajib pula bagi manusia untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sebagai
khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa akal dan daya yang tidak
dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya pula untuk mencegah orang
lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada kebaikan-kebaikan, serta
memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada orang lain.
Dengan usaha-usahanya tersebut maka tidak mnutup kemungkinan
oranglain akan berbuat kebaikan sebagaimana yang kita anjurkan, sebab manusia,
sekali lagi, mempunyai kebebasan untuk berbuat dan memilih sesuatu.
GAMBARAN TENTANG
ASY’ARIYAH
Sejarah Lahirnya Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham Mu’tazilah
yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’ umat Islam. Mu’tazilah pada masa al
Ma’mun melakukan mihnahyang mendapat tanggapan negatif dari
berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar di mata masyarakat.
Pada saat inilah muncul Al Asy’ari, seorang yang dididik dan
dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah
melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka ia menjadi
murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum diskusi dan
perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil dalam berdebat
dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia sering merasa
kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada usia 40 tahun, Al
Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan baru, yang
akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah.
Pemikiran Teologis Asy’ariyah merupakan sintesa dari
pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum konservatif tradisional.
Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di kalangan masyarakat muslim.[14] Pokok-pokok
pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan antara golongan
rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk dipahami karena
sederhana dan tidak terlalu filosofis.
Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus berkembang. Bahkan
pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi keyakinan seluruh
anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.[15] Aliran
ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang menjadikannya
sebagai mazhab resmi negara.
Pokok-pokok Pikiran Asy’ariyah
Faham Asy’ariyah dalam ajaran-ajarannya hampir seluruhnya
berseberangan dengan pemikiran Mu’tazilah. Termasuk penggunaan akal, Asy’ariyah
memberikan fungsi strukstural yang lebih rendah daripada wahyu.[16] Dan
dalam pandangannya ada tiga garis besar yang dapat disebutkan, yakni mengenai
sifat dan zat Tuhan, perbuatan-perbuatan manusia, dan kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan.
Sifat dan Zat Tuhan
Sifat dan zat Tuhan menurut Asy’ariyah sangat berbeda dengan
pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap mempunyai sifat di dalam zat-Nya.
Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui dengan zatNya,
karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan, berarti pula Tuhan adalah
pengetahuan.
Sifat-sifat mengetahui, hidup, berkuasa dan lain sebagainya
adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa dipisahkan dari zatNya,
tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah zat. Artinya, sifat
bukanlah zat dan bukan pula selain zat.[17]
Ada dua kesulitan yang dihadapi Asy’ariyah, di satu pihak
mereka tidak bisa menyangkal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah lain dari Dia,
akan tetapi di lain pihak juga tidak dapat menyatakan bahwa sifat-sifat itu
tidak terpisah dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil jalan tengah dalam
menyelesaikan dua kesulitasn ini.
Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang nampaknya membingungkan
ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’. Sejauh menyangkut
maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda dengan Allah; akan
tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat itu tidak terpisah
dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.[18] Oleh
karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu tidak
akan membawa kepada faham adanya banyak qadim.
Perbuatan-perbuatan Manusia
Dapat dikatakan bahwa faham Asy’ariyah lebih condong ke
faham Jabariyah. Manusia dipandang lemah, sehingga banyak tergantung pada
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Segala perbuatan yang dilakukan manusia adalah
kehendak dari Tuhan. Kita berbuat baik, Tuhanlah yang menggerakkan dan kalaupun
kita berbuat jelek maka itu sudah dikehendaki Tuhan.
Dalam masalah ini Asy’ari menampilkan adanya teori Al Kasb.
Pengertiannya adalah sesuatu yang timbul dari Al Muktasib dengan perantaraan
daya yang diciptakan.[19]Perbuatan
yang dilakukan oleh manusia memnag dikehendaki oleh Tuhan, tetapi hasil
perbuatan itu adalah hasil dari manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh
perbuatan, karena al Kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan dan Tuhan
tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.
Dalil yang digunakan Asy’ariyah ada pada ayat berikut:
Dalam memahami ayat itu, Al Asy’ari memaknai ayat wa
ta’malun dengan “apa yang kamu perbuat” bukan apa yang kamu buat”. Dengan
demikian ayat tersebut mempunyai pengertian bahwa Tuhan menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu.
Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa al Kasb adalah “berbarengnya
kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan”, artinya jika manusia hendak
mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan
manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan
perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.[20]
Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan
Pada dasarnya Asy’ariyah meyakini bahwa Tuhan adalah
penguasa tertinggi, diatasnya tidak ada zat selain dari padaNya dan Ia tidak
tunduk kepada siapapun. Kekuasaan Tuhan adalah di atas segala-galanya, dapat
berbuata apa saja yang dikehendakiNya, sungguhpun perbuatan itu dipandang tidak
baik dan tidak adil menurut akal manusia.[21]
Dengan demikian tidak salah jika memasukkan seluruh manusia
ke dalam Syurga dan tidaklah bersifat zalim jika Tuhan memasukkan seluruh umat
manusia ke dalam neraka.[22] Artinya,
bahwa Tuhan dengan kekuasannyalah yang menjadikan seseorang baik ataupun buruk,
dan dengan kuasanyalah manusia dimasukkan ke dalam surga ataupun neraka.
ANALISIS POKOK
PIKIRAN MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH
Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan perpecahan dan
pertikaian. Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan dalam satu agama
dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai dinamika pemikiran
keagamaan. Dua paham terbesar, yakni Aasy’ariyah dan Mu’tazilah telah
memberikan pengertian dan pemahaman teologi yang berbeda. Walaupun dalam
kenyataan yang ada sekarang, aliran-aliran atau golongan-golongan yang terpecah
tidak hanya dua itu, namun pada dasarnya mereka tetap mengacu pada pokok
pikiran dua aliran ini.
Memang, pada awalnya perpecahan umat Islam menjadi berbagai
golongan diawali dengan motif politik, yang kemudian berkembang pada perbedaan
teologi. Namun, perbedaan inipun terkadang dibawa pula kearah politik, dimana
golongan satu menghancurkan golongan yang lain demi kejayaan dan penguasaan
golongannya.
Persaingan dan perang intelektual yang dilakukan orang-orang
yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan sebuah kejelekan. Bahkan
dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran tentang keagamaan dipicu
oleh persaingan dan perang ini. Pemikiran-pemikiran baru akan lahir sedikit
demi sedikit atas adanya perdebatan. Namun, sekali lagi, seseorang tidak dapat
menerima perbedaan itu sebagai sebuah anugerah tetapi menimbulkan kecemasan dan
ketakutan kepada pihak lain, sehingga yang ia lakukan adalah menghancurkan
mereka terlebih dahulu sebelum (apabila) mereka menghancurkan kita. Mereka
terkadang lupa tentang siapa yang dihancurkannya, ada siapa diantara mereka,
siapa yang berhak atas kehidupan mereka. Bahkan mereka pun lupa apa sebenarnya
yang menjadi perdebatan awal sehingga mereka berseberangan.
Diantara dua faham, Mu’tazilah dan Asy’ariyah, paling tidak
ada tiga garis besar perbedaan, yakni; tentang ketuhanan, kekuasaan Tuhan, dan
manusia.
Ketuhanan
Satu hal yang bukan menjadi perbedaan adalah Tuhan adalah
satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh alam, dan Ia adalah ada yang
pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah ataupun kelompok-kelompok lain
tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam ini tiada lain adalah Tuhan,
Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya, Ia tetap sebagai Tuhan, yang
telah menciptakan bumi beserta isinya, langit beserta misteri-misteri yang
tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu dipegang oleh seluruh kaum,
sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu menyembah, yang disembah
tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin.
Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya bukanlah
perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan. Mu’tazilah
dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan yang
menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya. Sedangkan Asy’ariyah
memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak dapat terlepas dari sifat-sifat
yang melekat padaNya.
Kedua pendapat itu sulit untuk tidak diterima salah satunya.
Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari segala sesuatu,
termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada sifat Tuhan
berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu sendiri. Sedangkan
dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan antara zat dan
sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula bersifat cair, api
mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal tersebut tidak
mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan sifatnya. Air, biarpun
bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap berupa zat cair. Demikian
pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya. Sama halnya dengan Tuhan,
sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara Tuhan dengan apa yang
melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan bahwa sifat merupakan
bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja dan air berbentuk
cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan dengan bahasa
manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan berada pada
dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah bahasa manusia
untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan maha-maha yang lain,
dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu memasukinya.
Kekuasaan Tuhan
Tidak jarang kita terbentur dengan pemikiran-pemikiran yang
menyangkut tentang kekuasaan Tuhan. Tuhan dengan sebutan Sang Penguasa akankah
sebagai ‘dalang’ yang menggerakkan seluruh kegiatan dan gerak ‘wayangnya’
termasuk gerak tangan sang wayang. Ataukah Tuhan hanya sebagai pencipta manusia
dan potensinya saja, dan membiarkan manusia berbuat sekehendak hatinya, tanpa
harus ‘campur tangan’ dan hanya menunggu dan memberikan balasan yang sesuai ?
Apabila kita meyakini hal yang pertama, maka hal itu akan
menimbulkan rasa pesimisme, yang dengan bahasa Plato disebut Tymos,[23] bahwa
apa yang telah ia peroleh dan dapatkan adalah memang sudah garis Tuhan dan kita
tidak mempunyai daya apapun untuk merubahnya. Sedangkan apabila kita
mempercayai hal yang kedua, maka mungkin ada yang mempertanyakan apakah Tuhan
tidak berkuasa dan tidak peduli terhadap diri manusia? Lalu apa kegunaan Tuhan
memberikan potensi beruapa akal dan daya-daya yang lain?
Benar bahwa Tuhan telah memberikan anugerah terbesar bagi
manusia yakni berupa akal dan hati. Bahkan dengan karunia ini pula, manusia
menjadi berbeda dengan makhluk lain. Namun ini juga tidak berarti bahwa Tuhan
membebaskan manusia berkehendak sesuka hati dengan tanpa campur tangan Tuhan
(takdir). Manusia, alam dan seluruh semesta raya diciptakan Tuhan sebagaimana
digambarkan seorang tukang jam yang membuat jam. Ia tahu dan telah memprogram
bahwa jarum yang ia ciptakan akan bergerak dengan arah demikian, laju sekian
dan melewati angka demi angka seperti yang ia perkirakan waktunya. Sedangkan
jarumnya tidak perlu digerakkan terus menerus oleh tukang jam itu, karena ia
telah memprogramnya dengan baik dan cermat.
Sama halnya dengan manusia. Manusia digambarkan adalah jam
yang digerakkan dan mengikuti laju dan nasib sebagaimana yang telah diprogram
dan digariskan oleh pembuat jam, Tuhan. Ia bebas bergerak dengan kekuatannya
sendiri tetapi ia tetap harus mengikuti arah dan program yang telah ditetapkan.
Ia tidak bisa melawan kehendak penciptanya karena ia lemah dan kalah oleh
kekuasaan Tuhan.
Manusia
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa manusia diciptakan
menurut aturan dan takdir dari sang pencipta. Ia tidak mempunyai kehendak dan
kekuatan yang diandalkan untuk melawan kehendak Ilahi. Lalu pertanyaan yang
mungkin timbul selanjutnya, apakah fungsi Tuhan menciptakan akal dan daya-daya
yang dianugerahkan kepada manusia, kalau toh ia harus mengikuti aturan Tuhan?
Dalam bertingkah laku dan menjalani kehidupan, manusia tetap
diberikan kesempatan untuk berbuat sesuka hati karena ia mampu untuk itu. Namun
akal dan daya-daya yang dmiliki manusia itu sesungguhnya tidak lain adalah pada
hakekatnya dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawabnya menjalankan garis
kehidupan yang telah ditetapkan Tuhan. Jika kemudian ia tidak memenuhi
tanggungjawabnya, bahkan bertentangan dengan garis yang telah ditetapkan dan
benar-benar tidak dapat diperbaiki, maka ia dapat dikategorikan sebagai ‘jam
yang rusak’ dan perlu masuk tong sampah. Namun apabila kerusakan yang diderita
manusia itu hanya kerusakan-kerusakan ringan, Tuhan tentu tidak akan membiarkan
ia berlarut-larut dalam kebimbangan. Hidayah dan ‘perbaikan-perbaikan
seperlunya’ tentu akan diberikan Tuhan dengan jalan yang tidak terduga-duga.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara Mu’tazzilah
dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar sebagai
berikut:
Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan
oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah
dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan
keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di
samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap
rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam.
Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah
sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila
diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup
optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak
orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan
nafas kita.
PENUTUP
Demikianlah sedikit coretan hasil buah pemikiran seorang
yang masih awam dalam hal keilmuan. Tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan
yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran, kritik dan masukan yang
konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan
kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi
kita bersama, amin.
Sumber : Dikutip dari Mahbub Al Junaidi
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Prof. Dr. H. Sejarah Filsafat
Islam. Solo: Ramadhani. 1989.
Al Syahrastani, Abi Al Fath Muhammad Abd. Al Karim Ibn Abi
Bakr. Al Milal wa Al Nihal.Beirut: Darl Al Fikr. t.t..
Amin, M. Mansyur, ed.. Teologi Pembangunan. Yogyakarta:
LKPS NU. 1989.
Ensiklopedi Islam. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 1993.
Fukuyama, Francis. Kemenangan Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam. 2001.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta:
Pustaka al-Husna. 1992.
—————-. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar