BABI
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Sedangkan
secara syari’at, Nafkah artinya;
mencukupi kebutuhan siapapun yang ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman
pakaian, atau tempat tinggal
Maka dari itu seorang
laki- laki jika menikahi seorang wanita, maka wajib baginya memberinya nafkah,
hal ini didasari oleh beberapa hal:
- Allah berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ۚ
‘’Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah 228)
Ibnu Katsir berkata,’’maksudnya, para istri mempunyai hak
diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh
istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara
yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya,
sebagaimana hak- hak lainnya .’’ (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)
- Rasulullah bersabda;
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
‘’Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi
rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para
suami).’’ (HR. Muslim 2137).
- Para ulama bersepakat
atas kewajiban seorang suami memberi nafkah istrinya, seperti yang dikatakan
oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah dan lainnya
Perlu pula kita
ketahui bahwasanya, tidak menjadi suatu kewajiban seorang suami, jika sang
istri menolak, atau keluarga wanita tersebut menghalangi sang suami untuk
mendekati dan berhubungan dengan istrinya, hal itu lantaran kewajiban suami
memberi nafkah sebagai timbal- balik dari manfaat yang diberikan sang istri.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa yang menjadi hak dan
kewajiban suami-istri?
2.
Bagaimana etika melewatkan
malam pertama?
3.
Bagaimana etika
persetubuhan suami-istri?
4.
Apa yang dimaksud dengan
perceraian?
5.
Bagaimana dasar hukum
rhada’ah?
6.
Bagaimana saksi dalam
penyusuan?
C.
Tujuan masalah
1.
Mengetahui hak dan
kewajiban suami-istri.
2.
Mengetahui etika
melewatkan malam pertama.
3.
Mengetahui etika
melewatkan malam pertama.
4.
Mengetahui maksud dari
perceraian.
5.
Mengetahui dasar hukum
rhada’ah.
6.
Mengetahui saksi dalam
dalam penyusuan.
D.
Manfaat
“Menambah wawasan dan sebagai bahan referensi bagi
penulis khusunya dan sebagai bahan perbandingan bagi yang lainnya.”
BABII
PEMBAHASAN
A.
Hak Dan Kewajiban Suami
Istri
a.
Hak istri yang harus
dipenuhi oleh suami
Berikut ini adalah kami jabarkan beberapa hak dan
kewajiban yang mesti harus dipenuhi oleh suami:
1.
Kewajiban suami:
·
Memberi nafkah keluarga agar terpenuhi
kebutuhan sandang, pangan dan papan.
·
Membantu peran istri dalam mengurus anak
·
Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara
keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan
keluarga.
·
Siaga / Siap antar jaga ketika istri sedang
mengandung / hamil.
·
Menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan
tidak sewenang-wenang
·
Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada
istri sesuai ajaran agama agar tidak menderita lahir dan batin.
2. Hak suami:
·
Isteri melaksanakan kewajibannya dengan baik
sesuai ajaran agama seperti mendidik anak, menjalankan urusan rumah tangga, dan
sebagainya.
·
Mendapatkan pelayanan lahir batin dari istri
·
Menjadi kepala keluarga memimpin keluarga
b.
Hak suami yang harus
dipenuhi oleh istri.
Hak suami yang harus
dipenuhi oleh istri diantaranya meliputi:
1.
Kewajiban istri:
·
Mendidik dan memelihara anak dengan baik dan
penuh tanggung jawab.
·
Menghormati serta mentaati suami dalam batasan
wajar.
·
Menjaga kehormatan keluarga.
·
Menjaga dan mengatur pemberian suami (nafkah
suami) untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
·
Mengatur dan mengurusi rumah tangga keluarga
demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga.
2.
Hak istri:
·
Mendapatkan nafkah batin dan nafkah lahir dari
suami.
·
Menerima maskawin dari suami ketika menikah.
·
Diperlakukan secara manusiawi dan baik oleh
suami tanpa kekerasan dalam rumah tangga / kdrt.
·
Mendapat penjagaan, perlindungan dan perhatian
suami agar terhindar dari hal-hal buruk.
c.
Hak kolektif suami-istri:
Selain dari beberapa hak
diatas, terdapat pula hak kolektif dari suami istri. Diantaranya:
1. Kewajiban suami dan istri:
·
Saling mencintai, menghormati, setia dan saling
bantu lahir dan batin satu sama lain.
·
Memiliki tempat tinggal tetap yang ditentukan
kedua belah pihak.
·
Menegakkan rumah tangga.
·
Melakukan musyawarah dalam menyelesaikan
problema rumah tangga tanpa emosi.
·
Menerima kelebihan dan kekurangan pasangan
dengan ikhlas.
·
Menghormati keluarga dari kedua belah pihak
baik yang tua maupun yang muda.
·
Saling setia dan pengertian.
·
Tidak menyebarkan rahasia / aib keluarga.
2. Hak suami dan istri:
·
Mendapat kedudukan hak dan kewajiban yang sama
dan seimbang dalam keluarga dan masyarakat.
·
Berhak melakukan perbuatan hukum.
·
Berhak diakui sebagai suami isteri dan telah
menikah jika menikah dengan sah sesuai hukum yang berlaku.
·
Berhak memiliki keturunan langsung / anak
kandung dari hubungan suami isteri.
·
Berhak membentuk keluarga dan mengurus kartu
keluarga.
B.
Etika melewatkan malam
pertama
Persiapan
sebelum menghadapi malam pertama:
1. Rencanakanlah
dengan matang agar malam pertama begitu indah dan tidak akan terlupakan
selamanya. Bacalah buku-buku seputar etika malam pertama yang sesuai syariat
atau tanyakan kepada orang yang sudah berpengalaman. Jangan malu untuk
menyarankan istri untuk membaca dan bertanya juga demi kebaikan dan kesenangan
berdua.
2. Jagalah
kesehatan dan siapkan stamina sejak 3 hari sebelum malam pertama. Minumlah vitamin
dan istirahat yang cukup agar kondisi hubungan intim nantinya fit dan
menyenangkan.
3. Persiapkan
tempat tidur dan ruangan serta berikan minyak wangi atau aroma terapi, agar
suasana bertambah indah dan harum.
4. Ciptakan
kondisi nyaman, dan mandilah terlebih dahulu dan berwudhu agar tubuh lebih
bersih dan suci dari hadas serta higienis.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
sepasang mempelai pada malam pertama:
1. Suami
mengucapkan salam kepada istrinya.
2. Suami
memperlakukan istrinya dengan ramah, lemah lembut dengan tutur kata dan penuh
kemesraan.
Rasul biasa mengucapkan lantunan kata indah
“semoga kamu merasa tentram”.
3. Suami
meletakkan tangannya di atas kepala istri, lalu berdoa dan berselawat serta
ditiupkan diubun-ubun istri.
Rasulullah saw. bersabda:
“Jika salah
seorang di antara kalian menikah atau membeli pelayan, maka hendaklah ia
meletakkan tangannya di ubun-ubun istri atau pelayan tersebut, lalu menyebut
nama Allah yang Mahaagung dan memohon berkah. Kemudian hendaklah ia ucapkan doa
berikut:
Allahumma inniy
as’aluka khairohaa wakhoiro maa jabaltahaa ‘alaihi wa a’uudzu bika min
syarrihaa wa syarri maa jabaltahaa ‘alaih.
Artinya: ‘Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan pada dirinya dan kebaikan sifat-sifat
yang telah Engkau berikan kepada-Nya. Aku juga berlindung kepadamu dari
keburukan dirinya serta dari keburukan sifat-sifat yang telah Engkau berikan
kepadanya’ ”. (H.R. Abu Dawud, Nasa’I, dan Ibnu Majah).
4. Berwudhu dan
melakukan shalat 2 rakaat berjamaah sebagaimana dilakukan oleh para ulama
terdahulu.
“…Maka jika
istrimu datang menghampirimu (untuk bersetubuh),
perintahkanlah ia shalat dua rakaat di belakangmu”.
5. Siapkan minuman
hangat seperti susu atau madu. Cobalah rileks, mulailah mengajak istri dengan
obrolan ringan.
6. Sunnah bagi
suami untuk bermesraan (bercumbu rayu atau foreplay/mula’abah
alias pemanasan) dengan istrinya sebelum keduanya melakukan persetubuhan.
Nabi Muhammad s.a.w.
melarang suami melakukan persetubuhan sebelum membangkitkan syahwat isteri
dengan rayuan dan bercumbu terlebih dahulu (Hadits Riwayat Al-Khatib dari
Jabir).
7.
Sebelum
melakukan persetubuhan, disunnahkan baginya bersiwak (menggosok gigi) untuk
membersihkan mulut dan gigi. Bagi suami hendaklah mempersiapkan diri dengan
selalu tampil tampan dan menyenangkan bagi istrinya. Allah swt berfirman:
“…Dan para wanita memiliki hak yang seimbang
dengan kewajibannya menuntut cara yang ma’ruf…” (Q.S.
Al-Baqarah:228).
Adalah sahabat
Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Aku selalu
tampil tampan di depan istriku, seperti halnya ia selalu tampil cantik di
depanku”.
8. Sebelum
berhubungan membaca doa berikut.
“Bismillaah, Allaahumma
jannib-nisy-syaithaan wajannibsy-syay-thaana maa rozaqtanaa”.
Artinya: ‘Dengan nama
Allah. Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan itu dari apapun
yang Engkau anugerahkan kepada kami”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
9. berdo’a ketika hampir keluar mani ( ejakulasi ).
Dan apabila air manimu hampir keluar, katakan
dalam hatimu dan jangan menggerakkan kedua bibirmu kalimat ini :
"Alhamdulillaahil
ladzii khalaqa minal maa'i basyaron, faja’alahu nasaban washihro wakana robbuka
qodiro".
Artinya: “Segala pujian hanya untuk Allah yang
menciptakan manusia dari pada air sperma, lalu Allah jadikan manusia itu punya
keturunan dan keluarga sesungguhnya Allah adalah tuhan yang maha kuasa..”
C. Etika persetubuhan antara suami istri
1. Segala teknik
dan posisi persetubuhan boleh dilakukan sepanjang penetrasi dilakukan kepada
vagina istri.
“Istri-istrimu
adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang
kamu sukai…” (Q.S. Al Baqaraah [2] : 223).
Kemudian rasulullah saw. bersabda:
“Dari depan
maupun dari belakang, selama itu dilakukan di kemaluan”. (H.R. Thahawi).
2. Seluruh bagian
tubuh istri halal bagi suaminya selain duburnya (analseks).
“Terkutuklah
orang yang menyetubuhi isteri diduburnya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud dan an-Nasa'i dari
Abu Hurairah).
3. Tidak boleh
(Haram) mencampuri istri saat ia sedang haid.
Katakanlah:
"Haid itu adalah kotoran". Oleh
kerana itu, jauhilah diri kamu dengan wanita-wanita yang sedang Haid dan
janganlah kamu mendekati (menyetubuhi) mereka, sebelum mereka bersuci*. Apabila
mereka telah bersuci maka bolehlah kamu menyetubuhi mereka ditempat yang
diperintahkan Allah kepada kamu. Sesungguhnya Allah itu menyukai orang-orang
yang bertaubat dan Allah menyukai orang-orang yang mensucikan dirinya”. (Q.S.
Al Baqarah:222).
4. Jika suami hendak
melakukan persetubuhan kedua dan seterusnya, maka hendaklah ia mencuci
farji/kemaluan berwudhu sebelum melakukannya.
“Apabila diantara kamu
telah mecampuri isterinya kemudian ia akan mengulangi persetubuhannya itu maka
hendaklah ia mencuci zakarnya terlebih dahulu”. (Hadits Riwayat Baihaqi).
“Apabila salah seorang kamu telah bersetubuh dengan
istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali maka hendaklah ia berwudhu”. (H.R. Al-Imam
Muslin no.466).
5.
Sepasang suami
istri boleh melepas seluruh pakaian mereka saat melakukan persetubuhan.
6.
Istri tidak
boleh menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan seksual.
7.
Jika seorang
suami kagum melihat kecantikan perempuan lain, maka hendaklah ia bersetubuh dengan
istrinya.
8.
Suami maupun
istri tidak boleh (haram) menyebarkan rahasia hubungan seksual (masalah
ranjang/rahasia hubungan badan) antara keduanya kepada orang lain.
Rasulullah saw,
bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk
kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki yang
berhubungan intim dengan istrinya, kemudian ia menyebarkan rahasianya”. (H.R. Al-Imam
Muslim no. 2597).
9.
Jika seorang
suami datang dari perjalanan, ia sebaiknya memberitahu istrinya kapan ia akan dating
. Tujuannya, agar sang istri bisa melakukan menyambut kedatangan suaminya itu
dengan membersihkan diri, menggunakan wewangian, dan lain sebagainya.
10. Seorang suami
boleh menyetubuhi istri yang sedang hamil.
11. Melakukan ‘azl membiarkan ejakulasi berlangsung di
luar vagina, hukumnya makruh.
“Apabila seseorang diantara kamu bersetubuh
dengan isterinya maka janganlah ia menghentikan persetubuhannya itu sehingga
isterimu juga telah selesai melampiaskan hajatnya (syahwat atau mencapai
kepuasan) sebagaimana kamu juga menghendaki lepasnya hajatmu (syahwat atau
mencapai kepuasan)”. (Hadits Riwayat Ibnu Addi).
12. Usahakan agar istri
mencapai puncak kenikmatan (orgasme) terlebih dahulu atau paling tidak
bersamaan (karena wanita 9x dibanding pria dalam hal kemampuan, jadi wanita
mampu namun lebih lama mencapai orgasme, laki-laki mau tapi kemampuan 1/9 kali
dibanding wanita). Jika pria bisa orgasme satu kali, sedangkan
wanita bisa orgasme 9 kali (berkali-kali). Setelah selesai berhubungan intim,
wanita masih ingin merasakan cinta dari suaminya setelah melewati masa orgasme
menuju tahap resolusi, tahap setelah merasakan kenikmatan.
Belaian lembut
kepada istri cukup memberikan perasaan tenang dan kasih saying. Tetap dekap dan
berbicara hangat, jangan buru-buru meninggalkan tempat tidur, karena itu sangat
menyakiti hati dan perasaan pasangan. Belai mesra bila perlu hingga istri
tertidur. Dengan dmikian suami akan memberikan kesan tidak hanya membutuhkan
istrinya disaat berhubungan intim saja, sehingga istri akan bergairah lagi
mengulangi malam pertama yang begitu berkesan, tanpa kecanggungan, kekakuan
ataupun bentuk-bentuk keraguan dan ketakutan lainnya.
13. Disunnahkan
bagi kedua suami istri mencuci kemaluan dan berwudhu terlebih dahulu sebelum
tidur sesudah melakukan hubungan intim.
Aisyah r.a. menuturkan:
“Adalah Rasulullah saw jika beliau hendak makan
atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat”. Muttafaq ‘alaih).
D. Perceraian/Talak
a) Pengertian talak
Menurt bahasa, talak berarti meletu terlepas. Sedangkan menrut istilah
syariah berarti melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan
antara suami dan itri dalam waktu tertentu atau selamanya.
b) Hukum talak
Hukum talak itu beragam,
bisa wajib, sunnah, makruh, mubah, bahkan bisa jadi haram.
Talak wajib apabila:
·
Suami istri tidak dapat
didamaikan lagi.
·
Dua orang wakil dari suami
dan istri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumah tangga mereka.
·
Apabila pihak pengadilan
berpendapat bahwa talak adalah lebih baik
·
Jika tidak diceraikan
dalam keadaan demikain maka berdosalah suami.
Talak sunnah apabila:
·
Suami tadak dapat
menaggung nafkah istrinya.
·
Istrinya tidak menjaga
martabat dirinya.
Talak makruh apabila:
·
Suami menjatuhkan talak
kepada istrinya yang baik, berakhlak mulia dan berpengetahuan agama.
Talak mubah apabila:
·
Suami lemah keinginan
nafsunya atau istrinya belum datang haid.
Talak haram apabila:
·
Menceraikanistri ketika
haid atau nifas.
·
Ketika keaaan suci yang
telah disetubuhi.
·
Ketika suaminya sedang
saki yang bertujuan menghalang istrinya untuk menuntut Harta pusakanya.
·
Menceraikan istrinya
dengan talak tika sekaligus.
Mengenai dasar hukum yang
menjelaskan perceraian dijelaskan dalam Al-quran surah Al-baqarah: 229
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xÎô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 wur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$ss wr& $yJÉ)ã yrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz wr& $uKÉ)ã yrßãn «!$# xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ßrßãn «!$# xsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGt yrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah,
Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka Itulah orang-orang yang zalim.
[144] Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh.
Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut
'iwadh.
c)
Macam
– macam talak.
Secara garis besar ditinjau dari segi boleh
atu tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Talak raj'i 2. Talak ba'in
1. Talak raj'i yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepda istrinya yang dijatuhkan bukan sebgai ganti dari mahar yang dikembalikannya. Dan sebelumnya ia belum pernah menjatuhkan talak kepadanya
Sama sekali atau baru sekali saja. Firman allah swt :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا (الطلاق : 1
1. Talak raj'i 2. Talak ba'in
1. Talak raj'i yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepda istrinya yang dijatuhkan bukan sebgai ganti dari mahar yang dikembalikannya. Dan sebelumnya ia belum pernah menjatuhkan talak kepadanya
Sama sekali atau baru sekali saja. Firman allah swt :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا (الطلاق : 1
Artinya :Wahai nabi ? apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (
menghadapi ) iddahnya ( yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta
bertakwalah kepada allah tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya
dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji
yang jelas. Itulah hukum-hukum allah, dan barang
siapa melanggar hukum-hukum allah , maka sungguh, dia telah berbuat dzalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali setelah itu allah
mengadakan suatu ketentuan yang baru .( Q.S At-thalak [65 ]:1)
Dalam UUD no. 25 tahun 1929 pasal 5 disebutkan : " semua talak disebut raj'i kecuali sudah talak tiga, talak sebelum dikumpuli, talak sebagai ganti mahar yang dikembalikan dan lain-lain.Yang dikatakan ba'in dalam UU ini dan UU no 25 tahun 1920 M
Talak ba'in yang disebutkan dalam dua UU tersebut yaitu talak karena cacat suami atau pergi tanpa diketahui kabar dan tempatnya.
Suami boleh merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa iddah
Dalam ayat lain allah swt berfirman :
Dalam UUD no. 25 tahun 1929 pasal 5 disebutkan : " semua talak disebut raj'i kecuali sudah talak tiga, talak sebelum dikumpuli, talak sebagai ganti mahar yang dikembalikan dan lain-lain.Yang dikatakan ba'in dalam UU ini dan UU no 25 tahun 1920 M
Talak ba'in yang disebutkan dalam dua UU tersebut yaitu talak karena cacat suami atau pergi tanpa diketahui kabar dan tempatnya.
Suami boleh merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa iddah
Dalam ayat lain allah swt berfirman :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ (البقرة :229)
Artinya : Talak ( yang dapat dirujuki) itu dua
kali, ( setelah itu suami ) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik (
QS Al- baqoroh [2] : 229
2. talak ba'in
Talak ba'in adalah talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya.
Ibmu hazm berpendapat " talak ba'in adalah talak tiga kali dengan arti sesungguhnya atau talak sebelum dikumpuli saja.
Dalam kitab undang perdata mesir tentang talak ba'in ini terdapat ketentuan tambahan "talak karena cacat suami atau karena pergi tak tentu rimbanya atau karena dipenjara atau karena membahayakan jiwa istrinya.
Fuqoha sependapat bahwa talak ba'in terjadi karena belum terdapatnya pergaulan suami istri, karena adanya bilangan talak tertentu.
Talak ba'in dibagi menjadi dua macam, yaitu:
2. talak ba'in
Talak ba'in adalah talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya.
Ibmu hazm berpendapat " talak ba'in adalah talak tiga kali dengan arti sesungguhnya atau talak sebelum dikumpuli saja.
Dalam kitab undang perdata mesir tentang talak ba'in ini terdapat ketentuan tambahan "talak karena cacat suami atau karena pergi tak tentu rimbanya atau karena dipenjara atau karena membahayakan jiwa istrinya.
Fuqoha sependapat bahwa talak ba'in terjadi karena belum terdapatnya pergaulan suami istri, karena adanya bilangan talak tertentu.
Talak ba'in dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.
Talak ba'in sughra
Talak ba'in sughra yaitu talak yang terjadi
kurang dari kali, keduanya tidak ada hak rujuk dalam masa iddah, akan tetapi
boleh dan bisa menikah kembali dengan akad nikah yamg baru selama ia belum menikah
dengan laki-laki lain, istri yang ditalak dan belum digauli, maka baginya tidak
mempunyai iddah, maka harus akad nikah baru.
Firman allah swt. (S. al- ahzab : 49)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا(الأحزاب : 49)
Artinya: hai orang- orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. ( QS Al- ahzab 49)
Firman allah swt. (S. al- ahzab : 49)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا(الأحزاب : 49)
Artinya: hai orang- orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. ( QS Al- ahzab 49)
b.
Talak
ba'in kubra
Talak ba'in kubra yaitu talak yang terjadi sampai
tiga kali penuh dan tidak ada rujuk dalam masa iddah maupun dengan nikah baru,
kecuali dalam talak tiga sesudah ada tahlil.
Hukum talak ba'in kubra sama dengan ba'in sughra, yaitu memutuskan hubungan perkawinan dan suami tidak ada hak untuk rujuk kembali, kecuali setelah perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain dan telah digaulinya tanpa ada niat tahlil kemudian bercerai.
Allah swt berfirman :
Hukum talak ba'in kubra sama dengan ba'in sughra, yaitu memutuskan hubungan perkawinan dan suami tidak ada hak untuk rujuk kembali, kecuali setelah perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain dan telah digaulinya tanpa ada niat tahlil kemudian bercerai.
Allah swt berfirman :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَه .... (البقرة : 230
Artinya:Kemudian si suami menalaknya ( sesudah
talak yang kedua ), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain....... ( QS Al-baqoroh [2] : 230
d) Akibat hukum talak
1.
Hokum talak raj'iTalak raj'i tidak melarang mantan suami berkumpul
dengan mantan istrinya sebab akad perkawinannya tidak hilang kecuali
persetubuhan. Talak ini tidak menimbulkan akibat-akibat hukum selanjutnya
selama masih dalam masa iddah istrinya. Apabila masa iddah telah habis, maka
tidak boleh rujuk dan berarti perempuan itu telah tertalak ba'in. Bila salah seorang meninggal
dalam masa iddah, yang lain menjadi ahli warisnya dan mantan suami tetap wajib
memberi nafkah kepadanya, selama masa iddah ini zhar, illa' dan talak suaminya
berlaku.
Alasan syafi'i
tentang talak memutuskan perkawinan . syakauni berkata " tampaknya
[syafi'i] mengikuti pandapat para sahabat sebab iddah berarti masa memilih
dianggap sah kalau dinyatakan dengan ucapan dan perbuatan, yang mana tersirat
ayat. Dalam firman allah
disebutkan:.......وَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلاحًا....(البقرة:228)Artinya
: dan suami-suaminya yang berhak merujuknya dalammenanti itu...... (QSAl-baqoroh[2]:228) Imam syafi'i berpendapat bahwa rujuk
hanya diperbolehkan dengan ucapan terang dan jelas dimengerti. Tidak boleh
rujuk dengan rangsangan- rangsangan nafsu birahi. Menurut imam syafii bahwa
" talak itu memutuskan hubungan perkawinan".
Menurut abu hanifah dan malik " merujuk itu bisa dengan
perkataan. Misalnya: suami mengatakan "kurujuk istriku" danbisa dengan perbuatan. Menurut
ibnu hazm: jika ia merujuk tanpa saksi bukan disebut rujuk. Dalam firman allah
disebutkan:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ..... (الطلاق : 2)
Artinya : " apabila mereka telah mendekati akhir masa
iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil diantara kamu...." ( QS At-talaq [65] : 2)
2.
Hukum
talak ba'in sughra
Hukum talak ba'in sughra memutuskan tali
suami istri saat talak diucapkan karena ikatan perkawinannya telah putus. Mantan
suami berhak untuk kembali kepada mantan istrinya yang tertalak ba'in sughra
dengan akad nikah baru, dan mahar baru selama ia belum menikah dengan laki-laki
lain. Jika laki-laki ini telah merujuknya ia berhak terhadap sisa talaknya.
3.
Hukum talak ba'in kubra
Hukum talak ba'in kubra sama dengan talak
ba'in sugra yaitu memutuskan hubungan tali perkawinan antara suami dan istri
tapi talak ba'in kubra tidak menghalalkan bekas suami merujuknya kembali
kecuali sesudah bekas istri itu menikah dengan laki-laki lain dan telah
bercerai sesudah dikumpulinya tanpa adanya niat nikah tahlil.
Ingatsobat,Nabisaw,bersabda:
قالالنبيصلىاللهعليهوسلم:أَبْغَضَالحَلاَلَإِلَىاللهالطَّلاَق
قالالنبيصلىاللهعليهوسلم:أَبْغَضَالحَلاَلَإِلَىاللهالطَّلاَق
Artinya : " perbuatan halal
yang paling dibenci allah adalah talak ."
E. Dasar
hukum radha,ah
1) Pengertian radha’ah
Radha'ah
adalah penyusuan/menyusui bayi yang dilakukan oleh perempuan selain ibu
kandung. Hal ini terjadi karena banyak faktor. Seperti ibu asli bayi tidak
keluar ASI atau tidak mau menyusui atau ibu asli bayi meninggal dunia atau
memiliki penyakit yang menular sehingga dikuatirkan menular ke anaknya apabila
memaksa menyusui bayinya, dan lain sebagainya.
2) Dasar hukum radha’ah
Qs. Al-baqarah: 233
وَإِنْأَرَدتُّمْ أَن
تَسْتَرْضِعُوٓا۟أَوْلٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم
بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Qs. An-Nisa:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهٰتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوٰتُكُم مِّنَ
الرَّضٰعَةِ .
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan.
Dalil lainnya:
1. Hadits
Bukhari: إن الرضاعة تحرم ما تحرمه الولادة.
Mahram radha'ah sama dengan mahram karena kelahiran.
2. Hadits
Bukhari: يحرم من الرضاعة ما يحرم من النسب.
Mahran radha'ah sama dengan mahram karena kekerabatan (nasab).
3) Syarat radha’ah
1.Adanyaairsusumanusia(لبنالأدمية).
2. Air susu itu masuk ke dalam perut (bayi) (وصول إلي جوف طفل)
3. Bayi tersebut belum berusia dua tahun (دون الحولين).
2. Air susu itu masuk ke dalam perut (bayi) (وصول إلي جوف طفل)
3. Bayi tersebut belum berusia dua tahun (دون الحولين).
4)
Rukun
radha’ah
1. Anak yang menyusu (ألرضيع)
2. Perempuan yang menyusui (المرضعة)
3. Kadar air susu (مقدار اللبن) minimal yaitu 3 isapan.
Berdasarkan Hadits Muslim dan Ahmad , Nabi bersabda:
عن أم الفضل قالت دخل أعرابي على نبي الله صلى الله عليه و سلم وهو في بيتي فقال يا نبي الله إني كانت لي امرأة فتزوجت عليها أخرى فزعمت امرأتي الأولى أنها أرضعت امرأتي الحدثي رضعة أو رضعتين فقال نبي الله صلى الله عليه و سلم : لا تحرم الإملاجة والإملاجتان
Dari Ummu Fadhl Mengatakan bahwa “Seorang Arab pedalaman datang kepada Nabi yang ketika itu beliau ada dirumahku, lalu orang itu berkata, “Wahai Nabi! Saya mempunyai seorang isteri, lalu saya menikah lagi. Kemudian Isteriku yang meyakini bahwa dia pernah menyusui isteriku yang muda dengan sekali atau dua kali susuan?.” Nabi SAW bersabda: “ Sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan mahram.”
5) Yang mahram sebab radha’ah
Ibu yang menyusui (murdhi'ah) tidak ada
hubungan mahram dengan keluarga bayi yang disusui. Hanya si bayi (radhi') yang
ada hubungan mahram dengan seluruh keluarga dekat ibu susuan (murdhi'ah).
Rinciannya sebagai berikut:
1. Perempuan yang menyusui (murdhi'ah)
2. Suami ibu susuan
3. Ibu bapa dari murdhi'ah/ibu susuan
4. Ibu bapa dari suami ibu susuan
5. Adik beradik dari ibu susuan
6. Adik beradik dari bapa susuan
7. Anak-anak dari ibu dan bapa susuan
8. Anak-anak dari ibu susuan
10. Anak-anak dari bapa susuan.
1. Perempuan yang menyusui (murdhi'ah)
2. Suami ibu susuan
3. Ibu bapa dari murdhi'ah/ibu susuan
4. Ibu bapa dari suami ibu susuan
5. Adik beradik dari ibu susuan
6. Adik beradik dari bapa susuan
7. Anak-anak dari ibu dan bapa susuan
8. Anak-anak dari ibu susuan
10. Anak-anak dari bapa susuan.
6) Saksi dalam penyusuan
Menurut Abu Hanifah, kesaksian orang
perempuan berkenaan denga hal susuan tidak diterima, kecuali disertai saksi
seorang lelaki. Menurtnya, sususan itu termasuk hak badan yang dapat dilihat
oleh orang laki-laki dan perempuan.
Fuqaha’ yamg membolehkan kesaksian
perempuan saja berselisih pendapat tentang bilangan saksi yang disyaratkan.
Menurut malik cukup dua orang saja. Sebab hal ini berkenaan dengan tersiarnya
suatu perkara. Oleh karena hal tersebut sudah diketahui oleh masyarakat dan
informasi dari masyarakat tidak jauh berbeda dengan keterangan dari satu ornag
dari perempuan. Menurut imam syafi’i kesaksian satu ornag perempuan itu tidak
cukup, apabila kurang dari empat orang. Sebab Allah telah menjadikan seorang
saksi laki-laki itu sebanding dengan dua orang perempuan. Menurut beberapa
fuqaha’, kesaksian tersebut tidak bolah kurang dari tiga orang. Pendapat ini
menurut ibnu rusyid tidak beralasan sama sekali.
Abu Hanifah memperbolehkan kesaksian orang
perempuan yang berkenaan dengan anggota badan yang terletak antara pusat, perut
dan lutut (maksudnya masalah yang tidak boleh diketahui laki-laki). Menurut
Ibnu Rusyd, golongan Zhahifi atau beberapa orang dari mereka tidak memperbolehkan kesaksian orang perempuan saja
tanpa orang lelaki dalam semua urusan. Sedang beberapa fuqaha Zhahiri ada yang
membolehkan kesaksian orang perempuan bersama saksi lelaki dalam semua urusan.
Pendapat ini menurut Ibnu Rusyd jelas. Keterangan di atas sesuai dengan
penjelasan Muhammad Salam Madkur bahwa diriwayatkan, Nabi Saw pernah menerima
kesaksian seorang perempuan tentang perkara radla'ah. Sebagaimana sabda Nabi
SAW, :
عن عقبة بن الحارث أنه تزوج أم يحيى
بنت أبي إهاب, فجأت امرأة فقالت: لقد أرضعتكما, فسأل النبي صلى الله عليه وسلم,
فقال: كيف وقد قيل ففارقها عقبة, فنكحت زوجاغيرهز(أخرجه البخاري)
Dari Uqbah bin Harits, bahwasanya dia mengawini Ummu Yahya
binti Abu Ilhab. lalu ada seorang perempuan datang dan berkata: Saya
betul-betul menyusui kamu berdua. lalu saya bertanya kepada Nabi SAW, beliau
menjawab: bagaimana lagi sudah ada orang berkata. Lalu Uqbah menceraikannya,
dan Ummu Yahya kawin dengan lelaki lain. (Riwayat Bukhari)
Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa,
saksi seorang wanita dalam perkara penyusuan itu sudah cukup. Sebab Rasulullah
sendiri tidak mempermasalahkan walau hanya saksi seorang wanita tanpa harus ada
laki-laki, dan hadits ini merupakan hadits shahih.
BABIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Didalam membentuk
keluarga yang damai, aman, bahagia, sejahtera. Diperlukan pengorbanan serta
tanggungjawab dari masing-masing pihak dalam menjalankan peran dalam keluarga.
Rasa cinta, hormat, setia, saling merhargai dan lain sebagainya merupakan hal
wajib yang perlu dibina baik suami maupun istri. Dengan mengetahui dan memahami
hak dan kewajiban suami isteri yang baik diharapkan dapat mempermudah kehidupan
keluarga berdasarkan ajaran agama dan hukum yang berlaku.
Bagi pengantin baru, bulan madu (honeymoon) dan ‘malam pertama’
merupakan saat terindah sekaligus menegangkan. Terindah karena akan menjadi
pengalaman pertama pasangan tersebut dalam meleburkan cinta, kasih dan sayang
mereka dalam keintiman, sementara disebut menegangkan karena kurangnya
pemahaman mengenai etika berhubungan organ-organ seks yang berperan dalam
aktivitas tersebut. Malam pertama
bukanlah sekedar pelampiasan nafsu birahi semata dengan keegoisan individu
tanpa memperhatikan kepentingan dan perasaan pasangan. Tetapi malam pertama
lebih menunjukkan ungkapan rasa cinta kedua mempelai yang telah diperbolehkan
(sah/halal) secara agama dan norma yang ada.
Khuluk atau gugat cerai dari seorang
istri pada suami hukumnya boleh dan sah dilakukan kapan saja baik dalam damai
atau karena konflik rumah tangga. Karena faktor kesalahan suami atau karena istri tidak lagi
mencintai suami. Dengan syarat adanya kerelaan suami. Dan dapat dilakukan di
depan pengadilan atau di luar pengadilan.
Gugat cerai di Pengadilan Agama yang
disebabkan oleh perilaku suami yang tidak bertanggungjawab dapat diluluskan
oleh hakim dengan sistem talak (bukan khuluk) tanpa perlu persetujuan suami.
Adapun gugat cerai yang murni karena istri tak lagi
mencintai suami, bukan karena kesalahan suami, maka suami disunnahkan untuk
menerima permintaan istri. Dalam konteks ini, maka ulama berbeda pendapat
apakah hakim berhak menceraikan mereka secara khuluk atau tidak.
Radha'ah adalah penyusuan/menyusui bayi yang dilakukan oleh
perempuan selain ibu kandung. Hal ini terjadi karena banyak faktor. Seperti ibu
asli bayi tidak keluar ASI atau tidak mau menyusui atau ibu asli bayi meninggal
dunia atau memiliki penyakit yang menular sehingga dikuatirkan menular ke
anaknya apabila memaksa menyusui bayinya, dan lain sebagainya.
Radha'ah memiliki akibat hukum dalam Islam. Yakni,
terjadinya hubungan mahram antara bayi (radhi') dan ibu yang menyusui (murdhi'ah) serta
anak-anaknya ibu yang menyusui. Mengenai saksi dalam penyusuan
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari Uqbah Bin Harits, Nabi SAW. Tidak
mempermasalahkan saksi walupun hanya seorang wanita tanpa harus ditemani oleh
seorang laki-laki. Diriwaytkan olah Bukahri.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Hukum
Islam-Ensiklopedi, Cetakan I, Jilid II. Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hoeve,
1997.
Ibnu katsir,
Abi Al-Fida’ Al-Dimasqy, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Juz I, Dar Al-Qutub
Al-Ilmiyah, Beirut, 1994.
Imam
Nawawi, Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab, XVII/13.
KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 114
KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 116.
Pasal
1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974
tentang Perkawinan
Pasal
73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama.
Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975.
Sayyid
Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, II/290.
Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285.
Majalah AL FURQON No. 120 (Edisi 6 TH ke-11,
al-Muharram 1433 H) dalam rubrik Fiqh Islam hal. 34-38.
Al-Mahalli,
Jalaluddin Muhammad dan Al-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman, Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Adhim, Cetakan I, Dar Al-Fikr, Beirut, 1991.
Al-Rozi,
Fahruddin, Tafsir Fhar Al-Rozi, Dar Al-Fikr, Beirut, 1985.
Al-Shobuny,
Muhammad Ali, Rowa’iul Bayan Fi Tafsiri Ayat Al-Ahkam, Jilid I, Dar
Al-Fikr, Beirut, 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar