Arsip Blog

Entri yang Diunggulkan

HAKIKAT DAN KONSEP PERMAINAN SAINS PADA ANAK USIA DINI

Cari Blog Ini

Senin, 09 Juni 2014

Pengertian Guru Menurut Para ahli

Guru adalah
sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya  dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.
Pengertian guru menurut para ahli

 menurut Noor Jamaluddin (1978: 1)
Guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri.

menurut Peraturan Pemerintah
Guru adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.

menurut Keputusan Men.Pan
Guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah.

menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Pengertian Guru Menurut Para ahli
0
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan guru, yang mempunyai makna “Digugu dan ditiru” artinya mereka yang selalu dicontoh dan dipanuti.
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah seorang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam bahasa Arab disebut mu’allim dan dalam bahasa Inggris disebut Teacher. Itu semua memiliki arti yang sederhana yakni “A Person Occupation is Teaching Other” artinya guru ialah seorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.·
Menurut Ngalim Purwanto bahwa guru ialah orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian kepada seseorang atau sekelompok orang.·
Ahmad Tafsir mengemukakan pendapat bahwa guru ialah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik.·
Sedangkan menurut Hadari Nawawi bahwa pengertian guru dapat dilihat dari dua sisal. Pertama secara sempit, guru adalah ia yang berkewajiban mewujudkan program kelas, yakni orang yang kerjanya mengajar dan memberikan pelajaran di kelas. Sedangkan secara luas diartikan guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak dalam mencapai kedewasaan masing-masing.·
Pengertian-pengertian diatas menurut Muhibbin Syah masih bersifat umum, dan oleh karenanya dapat mengundang bermacam-macam interpretasi dan bahkan juga konotasi (arti lain). Pertama adalah kata “seorang (A Person) bisa mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya (profesinya) mengajar. Dalam hal ini berarti bukan hanya dia yang sehari-harinya mengajar disekolah yang dapat disebut guru, melainkan juga dia-dia yang lainnya yang berprofesi (berposisi) sebsagai Kyai di pesantren, pendeta di gereja, instruktur di balai pendidikan dan pelatihan, kedua adalah kata “mengajar” dapat pula ditafsirkan bermacam-macam misalnya
A.       Sosok Guru Profesional yang Ideal Menurut al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, guru dalam pengertian akademik ialah seseorang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau seseorang yang menyertai sesuatu institusi untuk menyampaikan ilmu pengatahuan kepada pelajarnya. Selain itu al-Ghazali mengartikan mendefinisikan guru sebagai seorang yang menyampaikan suatu baik, positif, kreatif atau membina kepada seseorang yang berkemauan tanpa umur walaupun terpaksa melalui pelbagai cara dan strategi dengan tanpa mengharapkan ganjaran (gaji). Al-Ghazali menjelaskan bahwasannya sosok guru professional yang ideal yaitu sebagai berikut :
1.      Guru professional yang ideal yaitu guru yang mempunyai akal cerdas, mempunyai akhlak yang sempurna, dan mempunyai fisik yang kuat. Guru harus mempunyai sifat ini karena dengan akal yang cerdas maka guru akan mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam. Dengan akhlak yang sempurna maka guru akan menjadi teladan yang baik terhadap peserta didiknya. Dan dengan mempunyai fisik yang kuat maka seorang guru akan dapat membimbing peserta didiknya dengan baik.
2.      Guru yang mempunyai tanggung jawab besar dalam mengajar, membimbing, dan mengarahkan peserta didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan membantu peserta didiknya menghadapi kehidupan di dunia dan akhirat.
3.      Guru yang dapat memahami perbedaan kejiwaan anak dan kemampuan intelektual anak. Guru harus memiliki kemampan ini karena peserta didik mempunyai perbedaan kemampuan intelektual setiap umurnya. Selain itu guru juga harus dapat memberikan materi kepada muridnya dengan cara sistematis. Jadi, murid harus memahami dahulu pelajaran sekarang baru melanjutkan pelajaran yang selanjutnya.
4.      Guru harus mempunyai rasa kasih sayang terhadap muridnya ketika proses belajar mengajar tidak boleh menggunakan cacian, makian, dan kekerasan lainnya, belas kasihan dan kasih sayang sangat dibutuhkan dalam mendidik guru pun harus menganggap seperti anaknya sendiri.
5.      Kewajiban menyampaikan ilmu pengetahuan merupakan kewajiban agama Islam, jadi guru pun harus mempunyai sifat ikhlas dalam menyampaikan ilmu pengetahuannya dan tidak boleh mengharapkan upah dari orang lain.
6.      Seorang guru professional ideal hendaknya guru yang bisa memahami perbedaan potensi pada setiap peserta didiknya, dan menerima kekurangan potensi peserta didik. Dengan memperlakukan sesuai dengan potensi peserta didiknya.
7.      Seorang guru yang baik menurut al-Ghazali yaitu guru yang tidak hanya memahami tingkat kecerdasan anak akan tetapi juga guru yang dapat memahami tabi‟at, bakat, dan juga kejiwaan muridnya. Guru harus bisa memperlakukan muridnya menurut kemampuannya.Al-Ghazali benar-benar memperhatikan professional guru dalam mendidik anak. Guru harus professional terhadap semua sisi pendidikan anak.
B.       Kriteria Guru menurut Al-Ghazali
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”. Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Menjelaskan kriteria guru yang baik dari kitab Ihyaa Ulumuddin yang merupakan karya monumental Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut
Pertama, Jika praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT,. Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan. Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
C.       Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al – Ghazali
Dalam “Ihya Ulumuddin”, Al – Ghazali melukiskan betapa penting kepribadian bagi seorang pendidik : “Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.”
Statement Al – Ghazali tersebut dapat disimak bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian sesesorang pendidik adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena kepribadian seorang pendidik akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi Al – Ghazali sangat menganjurkan agar seorang pendidik mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan pada anak didiknya. Oleh Al – Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang – bayangannya. Bagaimanakah bayang – bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.
Kemudian Al – Ghazali mengemukakan syarat – syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut:
1.      Sabar menerima masalah – masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2.      Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3.        Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya atau pamer.
4.      Tidak takabbur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5.         Bersikap tawadu’ dalam pertemuan – pertemuan.
6.      Sikap dan pembicaraannya tidak main – main.
7.       Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid – muridnya.
8.      Menyantuni serta tidak membentak – bentak orang – orang bodoh.
9.      Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik – baiknya.
10.  Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak di mengerti.
11.  Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ kepada kebenaran.

Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang pendidik meliputi berbagai aspek, yaitu:
1.        Tabiat dan prilaku pendidik.
2.        Minat dan perhatian terhadap proses belajar – mengajar.
3.        Kecakapan dan keterampilan mengajar.
4.        Sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran
Di samping itu, Al – Ghazali menganjurkan kepada para pendidik agar meningkatkan dan membina kepribadiannya dengan cara mendidik dirinya sendiri: “Dan ia (pendidik) berhati – hati pula mendidik dirinya sendiri dengan membiasakan sedikit makan sedikit berkata – kata dan sedikit tidur serta membanyakkan sembahyang (shalat, berdoa), sedekah dan puasa. Lagi pula dalam kehidupannya mengikuti seorang ahli itu, dijadikannya segala akhlak yang utama, sebagai sabar, syukur, tawakkal, yakni tak keluh kesah (rela dengan apa yang ada), berhati tenang, berlapang dada, rendah hati, tahu diri, berlaku benar, menepati janji, menjadikan pakaian hidupnya.”
D.  Profesi pendidik (pengajar, guru) menurut Al-Ghazali
1.    Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah. Dalam kitab “Ihya ‘Ulumuddin” ia mengatakan : “apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu. Jadi, mengajar dan mendidikadalah sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang lain. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan. Jika seorang pendidik dan anak didiknya mampu saling menghormati dan saling menghargai diantara mereka maka maka ilmu yang diberikan pendidik akan mudah merasuk kedalam otak anak didiknya. Dan nantinya anak didik akan menjadi manusia yang terhormat dan sekaligus dihormati. Disinilah letak kemuliaan seorang pengajar yang diungkapkan oleh al-Ghazali.

2.      Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum.
 Al-Ghazali dalam “Mizanul ‘Amal” mengatakan :
a.    mencari faedah dan guna ilmu,
b.    mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya-tanya,
c.       memberikan wawasan ilmu dan pengajarannya, dan inilah keadaan yang termulia baginya.
Dengan demikian pendapat al-Ghazali , sesuai dengan pandangan para sarjana pendidikan di Indonesia, antara lain Dr. Sutari Imam Barnadib mengatakan : “Mendidik adalah suatu tugas yang luhur. Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pendidik harus mempunyai kesenangan bekerja sama dengan orang lain atau untuk dengan kata lain harus mempunyai sifat-sifat social yang besar. Drs. Ali Saifuddin H.A mengatakan : “Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdian, yaitu memberikan pelayanan pada masyarakat dan kemanusiaan.

3.      Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan.
Al-Ghazali menyebutkan :
“Seorang guru adalah berurusan langsung denga hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia dimuka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar)tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan adalah guru bekerja menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”
Jadi kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di dartan bumi, ia meniddik jiwa, hati, akal dan roh manusia. Sedangkan jiwa manusia adalah unsure yang paling mulia pada bagian tubuh manusia dan manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk lainnya. Analisis yang deduktif dan induktif yang dikemkakan al-Ghazali tersebut adalah sangat benar dan tepat sekali, karena ia juga mendalami filsafat dan menguasai logika secara cermat dan akurat.

E.     Teknik mengajar dan adab sopan santun seorang guru menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah salah satu orang sangat menyetujui tentang pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak mengabaikan aspek amaliah meskipun belau tidak terlalu memusatkan perhatiannya pada aspek ini. Ia mengkehendaki agar pendidikan dilandasi dengan agama dan akhlak. Itulah sebabnya beliau memandang bahwa tekhnik mengajar merupakan pekerjaan yang paling utama yang harus diikuti setiap orang. Pandangandemikian didasarkan atas dalil naqli dan ‘aqli.

F.      Sifat-sifat yang harus dmiliki seorang guru menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menguraikan sejumlah sifat-sifat guru yang mencerminkan tugas yang harus dilaksanakan oleh mereka yaitu mendidik akal dan pikiran, jiwa dan roh, yaitu :
1.      Hendaknya guru mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri, dengan ucapan : “Orang tua adalah menjadi sebab wujudnya kehadiran anaknya dan kehidupan itu adalah bersifat fana, dan guru menjadi sebab kehidupan yang abadi”. Pengarahan kasih sayang kepada murid mengandung makna dan tujuan perbaikan hubungan pergaulan dengan anak-anak didiknya, dan mendorong mereka untuk mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa berlaku kasar terhadap mereka. Dengan dasar ini maka hubungan pergaulan antara guru dan murid menjadi baik dan intim yang didasari atas rasa kasih sayang dan cinta serta kehalusan budi.
2.      Guru jangan mencari bayaran dari pekerjaan mengajarkan demi mengikuti jejak Rasulullah s.a.w dengan alasan bahwa pekerjaan mengajar itu lebih tinggi harganya dari pada harta benda, cukuplah kiranya guru mendapatkan kebaikan (fathilah) dan pengakuan tentang kemampuannya menunjukkan orang kepada jalan kebenaran dan hak, kebaikan dan ilmu pengetahuan, dan yang lebih utama lagi ialah guru dengan menunjukkan jalan yang hak kepada orang lain. Sebenarnya al-Ghazali meyakini prinsip kewajiban mengajar untuk orang yang berilmu pengetahuan yang mampu, semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga pahalanya besar sekali.
3.       Guru hendaknya menasehati muridnya agar jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau mencari penghidupan, akan tetapi menuntut ilmu demi untuk ilmu dan hal ini merupakan dorongan ideal yang perlu diikuti. Sebenarnya al-Ghazali mengarahkan ilmu ketingkat yang tinggi untuk dipelajari karena ilmu dapat mengembangkan ilmu lainnya dan dapat diperdalam pembahasannya.
4.       Guru wajib memberi nasihat murud-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat tersebut (menurut beliau) ialah ilmu yang dapat membawa kepada kebahagiaan hidup akhirat, yaitu ilmu agama.
5.       Seorang guru idola (taladan) yang baik dan contoh yang utama yang harus ditiru oleh anak-anak (mereka menyerap kebiasaan yang baik yang dikembangkan oleh seorang guru idola). Mereka senang mencontoh sifat-sifat dan meniru segala tindak-tanduk guru yang diidolakan. Oleh sebab itu seorang guru wajib berjiwa lembut yang penuh dengan tasammuh (lapang dada) penuh keutamaan, dan terpuji. Sebaiknya guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak ia ajarkan, misalnya mengajar ilmu fiqih dengan mengacaukan dengan pengajaran lughah (bahasa), atau sebaliknya mengajarkan lughah dicampur-baurkan dengan fiqih. Jika hal itu dikerjakan , maka ia berbuat tercela, tidak sesuai dengan tugasnya yang terhormat.
6.      Memperhatikan bakat-kemampuan murid tingkat perkembangan akal dan pertumbuhan jasmaniahnya. Al-Ghazali menganjurkan agar supaya guru memperhatikan tahap-tahap peningkatan kemampuan anak dalam mempelajari ilmu dari satu jenjang ke jenjang lain yang lebih tinggi.
7.       Harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak (murid). Pandangan al-Ghazali, agar guru memahami tentang prinsip-prinsip tentang perbedaan individual di kalangan anak didik serta tahapan perkembangan akal pikirannya, sehingga dengan pemahaman itu, guru dapat mengerjakan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka, serta senantiasa sejalan dengan tingkat kemampuan berpikir tiap anak didiknya. Dengan mengenal perbedaan-perbedaan individual maka guru dapat membantu memperbaiki pandangan pendidikan dan pengajaran keterampilan.
8.      Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya. Al-Ghazali menegaskan kepada kita bahwa berpegang pada prinsip-prinsip dan berusaha merealisasikan prinsip tersebut merupakan watak seorang guru yang diidolakan (teladan), karena ucapan-ucapan yang sesuai dengan prilakunya. Jika ia berpaling dari prinsip, dan tidak sesuai antara ucapan dengan perbuatan maka menjadi sasaran penghinaan atau menjadi sumber kerendahan, yang menyebabkan ia tidak mampu memimpin mereka dan menjadi lemahnya daya bimbingan dan pandangannya. Al-Ghazali menghendaki agar guru menjadi contoh teladan yang baik bagi murid-muridnya. Jika kita amati kenyataan masa kini bahwa sistem pendidikan tidak akan mengalami kerusakan disekolah-sekolah kita, kecuali jika para guru tidak melakukan apa yang mereka katakan, sehingga murid-muridnya tidak mendapatkan seseorang guru pun di antara mereka tokoh teladan dan ikutan baik yang diteladani sebagai idola mereka.

G.    Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya : “Ihya “Ulumuddin” dan “Mizan Al Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut : 
1.      Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
“ Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya ‘alim (berilmu, intelektualen). Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW,itu”. Kemudian Al-Ghazali berpendapat : “ seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya”. Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata.
2.       Memberikan kasih sayang terhadap anak didik.
Al-Ghazali mengatakan : “Memberikan kasih sayang kepada murid-murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri”. Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran.
3.      Menjadi teladan terhadap anak didik .
Al-Ghazali mengatakan : “seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepal adalah lebih banyak”. Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern indonesia.
4.      Menghormati kode etik guru
Al-Ghazali mengatakan : “ seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek-jelekan mata pelajaran lainnyadihadapan muridnya”. Gagasan al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan pada dunia pendidikan (indonesia) dewasa ini yaitu penyelenggaraan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di perguruan tinggi khususnya., yang diberikan pada setiap mahasiswa dari jurusan dan program pendidikan apapun yang arahnya adalah adanya saling mengargai dan menghormati antar disiplin ilmu profesi.  Pandangan al-Ghazali tersebut dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang luas, misalnya hubungan guru dengan soal-soal kenegaraan, dan hubungan guru dengan jabatan.

H.    Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Qabisi bahwa seorang guru boleh menerima gaji (upah). Sedangkan menurut al-Ghazali : “ Al-Quran diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah”.Sesungguhnya, kesimpulan Al Ghazali dalam hal mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat, yaitu gaji yang tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam al ghazali itu adalah apabila Al Qur’an (ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.Dalam sebuah hadist Rasul saw bersabda : “ yang paling pantas kamu terima gaji karena ada kitab Allah (Al Qur’an). Tetapi rasul saw pada kesempatan lain juga bersabda : “ Bacalah Al Qur’an, jangan kamu cari makan dengan itu, jangan kamu mendegar-dengarnya”.

BAB III
KESIMPULAN

Menurut al-Ghazali, guru dalam pengertian akademik ialah seseorang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau seseorang yang menyertai sesuatu institusi untuk menyampaikan ilmu pengatahuan kepada pelajarnya. Selain itu al-Ghazali mengartikan mendefinisikan guru sebagai seorang yang menyampaikan suatu baik, positif, kreatif atau membina kepada seseorang yang berkemauan tanpa umur walaupun terpaksa melalui pelbagai cara dan strategi dengan tanpa mengharapkan ganjaran (gaji).
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”. Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.
Al-Ghazali adalah salah satu orang sangat menyetujui tentang pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak mengabaikan aspek amaliah meskipun belau tidak terlalu memusatkan perhatiannyapada aspek ini. Ia mengkehendaki agar pendidikan dilandasi dengan agama dan akhlak. Itulah sebabnya beliau memandang bahwa tekhnik mengajar merupakan pekerjaan yang paling utama yang harus diikuti setiap orang. Pandangandemikian didasarkan atas dalil naqli dan ‘aqli.
  1. A.  PENDAHULUAN
Guru memang semestinya dipilih dari sekian banyak orang yang mencalonkan diri, dan diambil yang memenuhi syarat. Inilah guru yang mulia dan pantas sebagai pewaris Nabi. Ditinjau dari tugasnya, seorang guru bukanlah sebatas penyampai mata pelajaran ke sana kemari, dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Semestinya kita harus jujur, jika bangsa Indonesia yang saat ini belum bangkit, dan bahkan justru bertambah bebannya adalah sebagai akibat dari mempercayakan guru kepada orang-orang yang bukan semestinya. Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Sebagai contoh sederhana, kita harus pahami bahwa jika siswa tidak pintar ilmu fiqih, bukan kemudian hanya menyalahkan para siswanya sulit diajari ilmu fiqih, atau referensi yang kurang lengkap, tetapi hal itu disebabkan, salah dalam memilih guru, karena dia bukan bidangnya[1].
Adapun kendala utama pada seorang guru dilapangan adalah mentalnya yang belum siap untuk dijadikan suri tauladan karena masih banyak guru yang korupsi, tidak hanya materil yang dikorupsi tetapi waktu juga menjadi korban korupsinya. Selain itu, problematika yang sekarang dihadapkan kepada guru yaitu masih banyak guru yang kurang profesional dan tentunya belum dapat dijadikan guru yang ideal karena tidak memenuhi syarat sebagai seorang guru yang diharapkan dan Syaikh Al Zarnuji adalah pengarang kitab Ta’lim Muta’allim, sebuah kitab yang berisi tentang etika mencari ilmu yang sangat populer dikalangan pondok pesantren terutama di pesantren tradisional dan juga sering dijadikan sebagai literatur. Selain membahas tentang etika, kitab Ta’lim Muta’allim juga membahas tentang konsep belajar mengajar yang tidak bisa dilepaskan dari interaksi antara peserta didik dengan seorang guru. Dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen merupakan pedoman bagi guru dan mengatur secara perinci tentang guru.
Mengenai rumusan masalah yang diteliti adalah bagaimana konsep guru ideal menurut Syaikh al Zarnuji dan bagaimana relevansi antara konsep guru ideal menurut Syaikh al Zarnuji dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Dan tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui konsep guru ideal menurut Syaikh al Zarnuji dan untuk mengetahui relevansi antara konsep guru ideal menurut Syaikh al Zarnuji dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan menggunakan jenis penelitian kepustakaan ( library research ). Jenis penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisis isi buku untuk menghasilkan suatu kesimpulan[2]. Menurut Sugiyono metode penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti obyek yang alamiah[3]. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, peneliti menelaah beberapa buku kepustakaan yang relevan dengan judul penelitian ini. Penulis juga menggunakan beberapa langkah dalam penelitian ini, yaitu: a). Penentuan jenis data, b). Penentuan sumber data, c). Mengumpulkan data, dan d). Menganalisis data.

  1. B.   KONSEP GURU IDEAL DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
    1. 1.    Pengertian Guru
Definisi guru secara etimologi ialah Pengajar[4]. Jika dilihat dari dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia tidak jauh berbeda mendefinisikan arti guru yaitu Pengajar pada sekolah-sekolah[5]. Akan tetapi kata guru sebenarnya bukan saja mengandung arti “pengajar”, melainkan juga “pendidik”. Selain itu, arti guru juga didefinisikan seperti yang sudah tidak asing lagi ditelinga yaitu guru sebagai seseorang yang digugu dan ditiru.
Sedangkan secara terminologi pengertian tentang guru sesuai yang telah ditetapkan dalam Undang-undang, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, seperti yang telah dipaparkan didalam  Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada bab 1 pasal 1 ayat 1[6].

  1. 2.    Pengertian Guru Menurut Islam
Dalam Islam sendiri, mengartikan guru merupakan profesi yang amat mulia, karena pendidikan adalah salah satu tema sentralnya, Nabi Muhammad sendiri sering disebut sebagai “pendidik kemanusiaan” (educator of mandkind).
Ditinjau dari leteratur kependidikan Islam, seorang guru atau pendidik biasa disebut sebagai berikut :
  1. Ustadz, yaitu julukan untuk orang yang mengajar di madrasah atau pondok pesantren, maksudnya seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesinya, ia selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zaman.
  2. Mu’allim, berasal dari kata “ ‘ilm ” yang berarti menangkap hakekat sesuatu, ini mengandung makna bahwa guru adalah orang yang dituntut untuk mampu menjelaskan hakekat dalam pengetahuan yang diajarkannya.
  3. Murabbiy, berasal dari kata “ rabb ”. Tuhan sebagai Rabb al-‘âlamin dan Rabb al-nâs yakni yang menciptakan, mengatur dan memelihara alam dan seisinya termasuk manusia. Dilihat dari pengertian ini maka guru adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
  4. Mursyid, yaitu seorang guru yang berusaha menularkan penghayatan (Transinternalisasi) akhlak dan atau kepribadian kepada peserta didiknya.
  5. Mudarris, berasal dari kata “ darasa – yudarusu – darsan wa durusan wadirasatun ” yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih dan mempelajari. Artinya seorang guru adalah yang berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih ketrampilan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya.
  6. Muaddib, berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika dan adab. Artinya seorang guru adalah yang beradab sekalugus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas dimasa depan[7].

  1. 3.    Konsep Guru Ideal Secara Umum
Konsep guru ideal adalah gambaran seorang guru yang diharapkan oleh peserta didik. Seorang guru harus bisa menjadi ideal bagi peserta didiknya dengan memenuhi beberapa kriteria sebagai seorang guru agar dapat dijadikan suri tauladan bagi peserta didik dan juga dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat dari guru ideal mereka. Untuk menjadi seorang guru yang ideal secara umum haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Syarat utama untuk menjadi seorang guru, yaitu :
  1. Guru harus berijazah,
  2. Guru harus sehat rohani dan jasmani,
  3. Guru harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik.
  4. Guru haruslah orang yang bertanggung jawab,
  5. Guru di Indonesia harus berjiwa nasional[8].

  1. 4.    Konsep Guru Ideal Menurut Islam
Guru memang sosok yang dimuliakan dalam Islam, tetapi kemulian itu akan luntur jika guru tidak mampu menerapkan prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh setiap guru. berikut pandangan tokoh-tokoh terkemuka dalam Islam tentang makna guru dengan segenap dimensinya, yaitu :

  1. 1.      Imam al Ghazâlî
Pendidik atau guru sejati (ideal) menurut Imam al Ghazali adalah guru yang Cerdas, Penuh Kasih Sayang, Diniatkan Sebagai Ibadah, Menyesuaikan dengan Kemampuan Murid, Penuh Simpati, Menjadi Teladan, Memahami Kemampuan Murid, dan Memiliki Komitmen Tinggi,

  1. 2.      Imam Ibnu Miskawaih
Pendidik atau guru sejati (ideal) menurut Ibnu Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia ideal karena beliau menyejajarkan posisi guru dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih kepada Allah menempati urutan pertama, barulah cinta kasih murid kepada gurunya. Jika tidak dapat mencapai derajat ini maka dinilai sama dengan teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab. Menurut beliau, guru haruslah Bisa Dipercaya, Pandai, Dicintai, Sejarah Hidupnya Jelas Tidak Tercemar di Masyarakat, Menjadi Cermin atau Panutan, dan Harus Lebih Mulia dari orang yang didiknya.

  1. 3.      Imam al Mawardi
Pendidik atau guru sejati (ideal) menurut Ibnu al Mawardi adalah orang yang Tawadhu’, Multi Peran, Ikhlas, secara harfiah, Mencintai Pekerjaan Sebagai Guru, Tidak Mengutamakan Ekonomi, Penuh Persiapan, Disiplin, Kreatif Memanfaatkan Waktu Luang, Kreatif, guru harus memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi.Sadar Diri, Lemah Lembut dan Penuh Kasih Sayang, dan Menjadi Motivator,

  1. 4.      Imam Ibnu Sînâ
Menurut beliau guru yang baik (ideal) adalah guru yang Berakal Cerdas, Beragama, Mengetahui Cara Mendidik Akhlak, Cakap Dalam Mendidik Anak, Berpenampilan Tenang, Jauh Dari Olok-Olok dan Main-Main Dihadapan Muridnya, Tidak Bermuka Musam, Sopan Santun, Bersih, dan Suci Murni.

  1. 5.      Imam Ibnu Jama’ah
Guru dalam pandangan beliau merupakan mikrokosmos manusia, dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik. Maka, derajat guru berada setingkat di bawah derajat para nabi. Secara garis besar, ada enam criteria untuk bisa menjadi seorang guru yang ideal dan dicintai oleh murid. Diantaranya adalah Mampu Menjaga Akhlak Selama Melaksanakan Tugas Pendidikan, Tidak Menjadikan Profesi Guru Sebagai Kegiatan Untuk Menutupi Kebutuhan Ekonomi, Mengetahui Situasi Sosial Kemasyarakatan Dengan Baik, Penuh Kasih Sayang dan Sabar, dan Bersedia Menolong Sesuai Dengan Kemampuan yang Dimiliki.

  1. 6.      Imam Ibnu Taimiyah
Guru dalam pandangan Ibnu Taimiyah hendaknya memiliki ciri kepribadian seperti Khulafa’, Misi perjuangan nabi dalam bidang pengajaran. Menjadi panutan, Tidak Main-Main, dan Sering Membaca Kitab Suci,
Demikianlah beberapa pandangan mengenai konsep guru ideal dari para tokoh Islam Klasik yang masih penting direnungkan saat ini dan seterusnya[9].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال الرسول صلى الله عليه وسلم
"مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع" رواه أبو داود
Artinya :
perintahkan anak-anakmu untuk mengerjakan sholat ketika berumur tujuh tahun kemudian pukullah mereka jika tidak mengerjakan sholat sedangkan mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkan antara mereka dalam satu ranjang.(HR. Abu Dawud)
Allah Ta'ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا (سورة طه: 132)
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (QS. Thaha: 132)
Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) meriwayatkan dari Amr bin Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (وصححه الألباني في "الإرواء"، رقم 247)
"Perintahkan anak kalian untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun. Bedakan mereka di tempat tidurnya." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwaul Ghalil, no. 247)
Syekh Bin Baz rahimahullah berkata, "
"Perhatikan keluarga, jangan lalai mendidik mereka wahai hamba Allah. Anda harus bersungguh-sungguh untuk memperbaiki mereka. Hendaklah anak-anak diperintahakan shalat jika sudah berusia tujuh tahun, dan pukullah (jika belum melaksanakan shalat) jika telah berusia sepuluh tahun dengan pukulan ringan yang mendorongnya untuk taat kepada Allah serta membiasakan mereka untuk menunaikan shalat pada waktunya, agar mereka istiqamah di jalan Allah serta mengenal yang haq. Sebagaimana hal tersebut diriwayatkan dalam sunah sahih." (Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)


Tidak ada komentar: