Meneladani Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz
Akhlak pemimpin seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
sungguh jauh dari gaya perlente, berpakaian mahal, kendaraan mewah, apalagi
makanan yang lezat. Seharusnya pejabat
di negeri ini meneladani kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Tatkala Khalifah demi khalifah datang pergi silih berganti,
disebut-sebutlah nama Umar bin Abdul Azir untuk menjadi penggantinya. Lalu apa
kata Umar ketika namanya digadang-gadang menjadi calon khalifah yang baru.
“Jangan sebut-sebut nama saya, katakan bahwa saya tidak menyukainya. Dan jika
tidak ada yang menyebut namanya, maka katakan, jangan mengingatkan nama saya,”
ujar Umar bin Abdul Aziz.
Suatu ketika dibuatlah rekayasa, berupa surat wasiat,
seolah-olah khalifah sebelumnya menetapkan Umar sebagai penggantinya. Begitu
diumumkan di depan publik, seluruh hadirin pun serentak menyatakan
persetujuannya. Tapi tidak dengan Umar. Ia justru terkejut, seperti mendengar
petir di siang bolong. Bukan hanya
terkejut, Umar bin Abdul Aziz bahkan mengucapkan: Inna lillahi wa Inna ilaihi
raji’uun, dan bukannya Alhamdulillah seperti kebanyakan para pejabat di negeri
ini. Bagi Umar, tahta yang disodorkan
adalah musibah, bukan kenikmatan.
Sosok Umar bin Abdul Aziz bukanlah tipe manusia yang
berambisi untuk menjadi pemimpin, apalagi mengejarnya. “Demi Allah, ini sama
sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun
terang-terangan,” ujar Umar.
Di atas mimbar Umar berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya
aku telah dibebani dengan pekerjaan ini tanpa meminta pendapatku lebih dulu,
dan bukan pula atas permintaanku sendiri, juga tidak pula atas musyawarah kaum
muslimin. Dan sesungguhnya aku ini membebaskan saudara-saudara sekalian dari
baiat di atas pundak saudara-saudara, maka pilihlah siapa yang kamu sukai untuk
dirimu sekalian dengan bebas!”
Ketika semua hadirin telah memilihnya dan melantiknya
sebagai Khalifah, Umar berpidato dengan ucapan yang menggugah. “Taatlah kamu
kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, maka tak
ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku.”
Jika kebanyakan pejabat berpesta ria saat kenaikan pangkat
dan meraih kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz malah berpesta air mata, ia takut
pertanggungjawabanya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak tak mampu
dipikulnya.
Dan jika kebanyakan pejabat bermegah-megahan saat mendapat
kedudukan, Umar justru hidup dalam kesederhanaan, bahkan amat sederhana, dan
minim sekali. Zuhud dan wara sudah menjadi pribadi Umar sebelum ia menjadi
Khalifah. Ketika ia disodori kendaraan “dinas” yang supermewah berupa beberapa
ekor kuda tunggangan, lengkap dengan kusirnya, Umar menolak, dan malah menjual
semua kendaraan itu, lalu uang hasil penjualannya diserahkan ke Baitul Mal.
Termasuk semua tenda, permadani dan tempat alas kaki yang biasanya disediakan
untuk khalifah yang baru.
Kesederhaan Umar dibuktikan ketika ia melepas pakaiannya
yang mahal dan menggantinya dengan pakaian kasar – hanya delapan dirham. Semua pakaian, minyak wangi, juga tanah
perkebunan yang diwarisinya, juga dijual, lagi-lagi uangnya diserahkan ke
Baitul Mal.
Istri pejabat umumnya memanfaatkan kedudukan suaminya untuk
hidup mewah, tapi Umar justru menawarkan pilihan, antara hidup bersama dirinya
dengan melepas semua harta perhiasan yang dikenakan, termasuk permata, mutiara,
perabotan rumah tangga yang mahal harganya, atau berpisah. Akhinya, sang istri
memilih hidup bersahaja bersama suaminya yang bertahtakan khilafah.
Itulah akhlak pemimpin seorang Umar bin Abdul Aziz, jauh
dari gaya perlente, berpakaian mahal, kendaraan mewah, apalagi makanan yang
lezat. Seharusnya pejabat di negeri ini
meneladani kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. desastian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar