MODEL KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
1. Model Kepemimpinan Rasulullah SAW
Model kepimimpinan Rasulullah SAW merupakan contoh sempurna
bagi setiap generasi umat yang punya keinginan untuk menjadi seorang pemimpin.
Tentunya perilaku Rasulullah SAW dengan sifatnya yang empat, yaitu shiddiq
(jujur), amanah (dipercaya/akunta ble), tabligh (menyampaikan/trasnparan), dan
Fathonah (cerdas).Pencitraan terhadap sifat Rasul SAW merupakan model ala
kepemimpin Rasulullah SAW. Tentunya semua kita dan masyarakat akan menginginkan
pemimpin yang amanah dan shiddiq, bisakah masyarakat wujudkan pemimpin yang
amanah itu ?
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mementingkan
kepentingan rakyat dan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan, idealnya
begitu!!!. Kita mungkin pernah mendengar sejarah kepimpinan khalifah Umar bin
Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, yang merakyat, yang
peduli kepada umat bagi mereka “masyarakat tidak butuh janji tapi tindakan yang
reel” sampai-sampai Khalifah Umar bin Khattab mikul sendiri gadum yang
diberikan kepada rakyatnya, karena melihat rakyat lagi kelaparan.
Model Kepemimpinan Rasulullah SAW dan realitas kepemimpinan
saat ini kepemimpinan merupakan sebuah modal yang harus dimiliki oleh para
pemimpin yang hendak menjadi pemimpin. Biasanya, masing-masing pemimpin
memiliki model mereka sendiri dalam memimpin sebuah organisasi baik formal
maupun non-formal atau organisasi yang sangat besar. Namun secara garis besar
model kepemimpinan dibagi menjadi 5 gaya kepemimpinan, yaitu : 1. Otokratis, 2.
Militeristis, 3. Paternalistis, 4. Kharismatik, dan 5. Demokratis. Dari kelima
model kepemimpinan di atas masing-masing ada penganutnya. Namun yang paling
berhasil dan paling fenomenal seorang pemimpin yang pernah ada di dunia ini
adalah Rasulullah SAW. Beliau berhasil karena mampu mengkombinasikan kelima
model kepemimpinan di atas sehingga model kepemimpinan yang dianut oleh beliau
menjadi sempurna.
Hampir tidak ada sejarah yang menceritakan kecacatan yang
Rasulullah lakukan selama beliau menjadi pemimpin. Hal ini dilakukan karena
dari model-model terdapat kelemahan dan juga kelebihan dari masing-masing model
kepemimpinan tersebut. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah pribadi
dari seorang pemimpin itu. Semua model itu tidak akan berarti apa-apa apabila
diaplikasikan oleh seorang yang memiliki kepribadian yang buruk. Ia senang
korupsi, menindas rakyat kecil atau mengambil hak orang lain. Hal ini secara
tidak langsung akan membuat masa kepemimpinannya tidak akan bertahan lama. Oleh
karena itu, Rasulullah SAW adalah contoh pemimpin sempurna yang pernah ada
selama ini. Karena beliau mengkombinasikan antara akhlakul karimah dengan model
kepemimpinan yang ada. Kekuatan akhlak yang Rasulullah miliki mampu menciptakan
kekuatan baru yang sangat luar biasa. Dengan kekuatan itu, Rasulullah menjadi
mampu menegakan dan menyebarkan ajarannya keseluruh penjuru dunia. Walaupun
begitu, karena kemuliaannya tadi, tidak ada rasa sombong, ujub atau membanggakan
diri sedikitpun yang timbul pada diri Rasulullah SAW. Inilah yang membedakan
Rasulullah dengan pemimpin-pemimpin yang ada saat ini. Mereka sangat haus
dengan kedudukan, harta, bahkan hal-hal yang menurut mereka dapat membuatnya
kaya di dunia ini, sehingga mereka dapat menjalankan segala keinginan mereka
sesuai nafsu yang mereka inginkan. Oleh karena itu, ketika ada pertanyaan model
kepemimpinan apa yang harus kita jalankan, maka jawaban yang harus timbul
adalah poin yang keenam yaitu model kepemimpinan Rasulullah SAW. Hal ini
dikarenakan Rasulullah SAW-lah seorang pemimpin yang sudah diakui oleh dunia
dalam berbagai hal, baik dari segi akhlak dan kemampuan-kemampuan yang lainnya.
Oleh karena itu, pemimpin yang relevan dengan keadaan saat ini adalah seorang pemimpin
yang paling mengenal siapa itu Nabi Muhammad SAW dan mengamalkan segala bentuk
ajaran/risalah yang beliau bawa. Selain itu pemimpin saat ini haruslah
benar-benar memusatkan perhatiannya terhadap amanah yang ia emban. Dan yang
tidak perlu dilupakan adalah keadilan yang harus ditegakan dalam kinerjanya
kelak.
Seorang pemimpin semetinya tidak membeda-bedakan suku,
agama, ras dan agama. Apalagi di Indonesia yang multi agama dan menyebarnya
faham-faham pluralisme, tentunya tak pantas kalau seorang pemimpin harus
membeda-bedakan agama, ras dan suku dalam ranah-ranah publik. Dan sepatutnya
pula pemimpin umat yang pro rakyat, yang meneladani sifat Rasulullah SAW, kalau
dalam bahasa yang mudah dipahami adalah pemimpin yang “muhammadanisme”, bukan
karena dari kalangan organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, PERSIS, dan
sebagainya).
2. Kepemimpinan Model Sholat Berjamaah
Ketika seseorang telah terpilih menjadi pemimipin dengan
kriteria model kemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana yang saya tulis diatas,
maka tahap selanjutnya adalah dalam kepemimpinannya harus pandai membuat
strategi-strategi dan job description yang jelas dan pro-umat. Para ulama
banyak mengomentasi tentang filsafat sholat berjamaah sebagai obyek dalam
mengaktulisasikan kinerja seorang pemimpin dengan berbagai macam interpretasi
dan penafsiran yang tentunya mengarah kepada seorang imam sholat berjamaah
dengan poin-poin sebagai berikut:
a. Seorang Imam Sholat harus fathonah
Imam sholat berjamaah harus cerdas. Artinya harus faseh
bacaan al-Qur’an dan faham maksudnya ayat yang dibacakan tadi. Hal ini
merupakan syarat mutlak seorang imam, karena jika ada imam sholat yang
bacaannya tidak sesuai dengan tajwid, maka para ulama menghukumi sholatnya itu
tidak sah. Jika aturan imam sholat pertama ini kita tarik pada ranah kepimpinan
dalam lembaga, organisasi, kepala negara, maka sejatinya seorang pemimpin itu
harus cerdas, pintar dan tentunya punya wibawa dan kharismatik di mata
masyarakat. Cerdas dalam melihat situasi dan kondisi, cerdas dalam mengambil keputusan,
cerdas dalam memecahkan problem masyarakat, cerdas dalam menafsirkan bergabagai
gejala sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat, dan yang terpenting
adalah seorang pemimpin harus cerdas dalam berbagai bidang. Karena misalnya
pemimpin Negara, tentunya dia tidak bisa hanya mampu dalam bidang-bidang
tertentu sementara bidang yang lain diabaikan, hal semacam ini akan membuat
roda pemerintahannya akan terlihat pincang tidak stabil. Seperti imam sholat
jika tidak menguasai kaidah makhraj huruf dalam bacaannya, maka tentunya akan
menjadi tidak sempurnanya sholat, dan itu semua akan berdampak kepada jamaah
sholat.
b. Seorang Imam Sholat harus sehat
Imam sholat wajib dan harus sehat jasmani dan tentunya pula
harus sehat rohani. Syarat ini merupakan mutlak bagi imam sholat, karena jika
imam sholat sakit (tidak sehat secara jasmani, apalagi rohani) maka akan
mempengaruhi terhadap kondisi dan tidak sempurnanya sholat. Penafsiran semacam
ini lebih pada interpretasi tidak sehat secara jasmani. Sementara sakit secara
rohani merupakan sifat yang abstrak (tidak nampak) dan sakit semacam ini bisa
mempengaruhi terhadap ketidak khususan imam dalam memimpin sholat berjamaah.
Misalnya, jika imam sholat ada masalah atau sifat dendam, dengki, hasut, dan
ruya’, maka sifat ini tentunya punya pengaruh besar terhadap ketidakeksistensi
dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an dan bahkan bisa tidak konsen dalam menghitung
jumlah rakaat sholat.
Jika kemudian problem imam sholat yang semacam ini, ditarik
dalam ranah kepemimpinan, maka seorang memimpin itu harus sehat secara jasmani
dan rohani. Misalnya, beberapa hari setelah dideklarisasinya enam kandidat
capres dan cawapres Indonesia, terlebih dahulu dia harus mengadakan pemeriksaan
kesehatan pada tim dokter yang sudah dipersiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum
sebagai penyenggara. Ini mengindikasikan bahwa seorang pemimpin secara fisik
harus sehat. Sehat secara jasmani tidak cukup untuk mempersiapkan seorang
pemimpin, tetapi dia juga harus sehat rohani. Masalah rohani, ini adalah wilayah-wilayah
abstarak, ranah-ranah yang sulit ditebak, dan sulit diintretasikan dalam ranah
public. Sakit secara rohani ini banyak orang menafsirkan adalah sakit jiwa yang
secara terperinci adalah dia mempunyai sifat sombong, riya’, dendam, iri hati,
dan sebagainya. Sifat-sifat semacam ini harus di buang jauh-jauh dari hati
seorang pemimpin karena akan mempengaruhi terhadap kinerja pemerintahan dan
cendrung memilih dan memilah, karena seorang pemimpin yang sejati tidak bisa
memilih dan memilah suku, agama, dan golongan dalam memberikan keputusan yang
menyangkut orang banyak.
c. Seorang Imam Sholat siap dikritik
Manusia adalah cendrung keliru dan salah, karena itu
merupakan sifat manusia, karena itu Islam mengajarkan harus saling menasehati
dalam kebenaran dan ketaqwaan. Dalam sholat umpanya sering kita jumpai seorang
imam lupa atau keliru dalam melafazdkan bacaan, maka para jamaah harus menegur
secara ma’ruf sesuai dengan aturan dalam kaifiat sholat yaitu jika imam sholat
keliru maka ucapan yang pantas diucapkan sebagai ungkapan kritikan adalah
”subahanallah”. Jika imam sholat mendengar ucapan itu, maka dia harus mengerti
dan faham bahwa dia keliru, salah dalam melafadzkan bacaan al-Qur’an. Dan
seorang imam juga tentunya menyadari dan segera memperbaiki bacaanya yang
keliru itu, dan tidak boleh egois dan angkuh dengan meneruskan bacaan yang
salah itu sampai selesainya sholat, hal ini akan mengurangi nilai-nilai
kehilahiyah dalam sholat itu sendiri.
Kalau masalah diatas ini kita tarik pada ranah-ranah
kepimpinan, maka seorang pemimpin itu tidak boleh egois apabila dikritik dalam
pemimpinannya, memang itulah salah satu tugas seorang pemimpin siap dikritik
selama kritikan yang konstruktif (membangun) yang membawa perubahan pada
perbaikan dalam kepimpinannya. Jika pemimpin itu tidak siap dikritik, maka
jangan jadi seorang pemimpin, karena tatkala pemimpin hanya mengandalkan dan
memperhatankan keegoisannya, maka akan mempengaruhi terhadap kinerja
kemipimpinannya.
Masyarakat yang dipimpin harus mengatahui aturan dan mekanisme
cara mengkritik yang sopan dan mekanisme mengkritik yang benar, jangan asal
mengkritik tapi tidak konstruktif karena itu akan menimbulkan masalah baru.
d. Seorang Imam Sholat harus tahu aturan
Imam sholat harus mengatahui kaifiah menjadi imam sholat.
Misalnya jika memang dia tidak mampu untuk menjadi imam lebih baik memberikan
kesempatan pada yang lain untuk menjadi imam, baik dari segi bacaan yang kurang
tajwid, dan sebagainya. Jika dipaksakan untuk menjadi imam, dikhawatirkan akan
membatalkan sholat. Begitu juga seorang pemimpin jika memang dia tidak mumpuni
untuk menjadi seorang pemimpin sebaiknya dia harus memberikan kesempatan pada
yang lain yang lebih mumpuni dalam memimpin, karena “jika suatu urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar